Oleh: Muhammad Bukhari Muslim*
Amien Rais
Kini Amien Rais banyak dicitrakan sebagai tokoh Islam yang konservatif. Pasalnya ketika Pilpres 2019 kemarin, ia banyak bergandengan dan cukup dekat dengan kelompok-kelompok Islam kanan. Sebut saja FPI, dan HTI. Karena ini banyak yang kemudian menganggapnya mendukung ide tentang negara khilafah yang diinginkan dan diperjuangkan oleh kawan-kawan HTI.
Jelas ini sangat fatal. Ketidakpahaman tentang sejarah dan riwayat lengkap pemikiran Amien Rais adalah penyebabnya. Mereka yang mengikuti pemikiran Bapak Reformasi ini sejak awal tentu akan mengetahui bahwa pada tahun 80-an ia pernah membuat suatu tulisan yang isinya adalah menggkritik negara Islam, dan secara tidak langsung pula mengkritik negara khilafah.
Lontaran kritik Amien Rais tentang negara Islam itu dimulai pada tahun 1982. Ditandai dengan terbitnya tulisannya yang berjudul: Tidak Ada Negara Islam. Lewat tulisan ini, ia menyatakan keberatannya atas ide negara Islam.
Amien Rais adalah salah satu di antara cendekiawan Muslim yang menolak dan anti terhadap sistem baku pemerintahan Islam. Dengan begitu, anggapan bahwa Amien Rais konservatif jelas terbantahkan. Amien Rais adalah pemikir Islam yang progresif.
Kritik Terhadap Negara Islam
Ide negara Islam, menurut Amien Rais dan juga sebagaimana cendekiawan Muslim yang lain, sama sekali tidak memiliki dasar, baik dari Quran atau hadis Nabi. Sepanjang penelurusannya, ia tidak menemukan satu pun ayat dalam Quran atau pun hadis Nabi yang memerintahkan umat Islam mendirikan suatu pemerintahan dengan menggunakan sistem tertentu. Tidak ada!
Sebab Islam, kata Amien Rais, adalah agama dengan ajaran yang universal. Ajaran-ajarannya diproyeksikan agar selalu relevan dengan zaman di mana pun dan kapan pun. Bukan tugas Islam menjelaskan sesuatu secara terperinci (seperti sistem pemerintahan).
Islam hanya meletakkan nilai-nilai dasar yang menjadi pedoman umat Islam setiap zaman. Dalam kasus ini, Islam hanya memberikan nilai dasar yang harus dijadikan pedoman oleh umat Islam dalam membangun suatu sistem pemerintahan.
Tulisan Amien Rais tersebut, oleh para pengamat dianggap sebagai tulisan yang berani. Sebab di tahun itu, ide tentang negara Islam masih segar dan benar-benar menggema di seantero Indonesia. Terutama di kalangan umat Islam.
Ide ini benar-benar melahirkan keyakinan dalam diri umat bahwa mereka harus berjuang menerapkan Islam (baca: syariat) di bumi Indonesia. Semua itu berkat propaganda yang dibangun oleh kawan-kawan masyumi. Sehingga kehadiran tulisan ini benar-benar menggemparkan jagat Indonesia, mengagetkan umat Islam, serta membuat tokoh-tokoh Masyumi gerah.
Amien Rais sebagai cendekiawan yang kerap kali disebut selalu berjuang bersama umat, dianggap telah khianat dan telah membangkang, dan ‘durhaka’ terhadap ‘orang tua’nya. Sebab saat itu hubungan antara Amien Rais dengan tokoh-tokoh Masyumi begitu dekat.
Apalagi Amien sering digadang-gadang sebagai ‘anak’ ideologis dari Muhammad Natsir, yang notabenenya memperjuangkan berdirinya negara Islam. Maka, tulisan Amien Rais di atas benar-benar membuat mereka kecewa.
Namun seakan tanpa ragu dan tak menghiraukan respon kekecewaan umat dan tokoh Masyumi, Amien terus maju dan tetap konsisten untuk memperjuangkan pikirannya. Beban moralnya sebagai intelektual sekaligus akademikus, menuntutnya dan mengharuskannya menyampaikan kebenaran. Sekalipun nantinya akan bertentangan dengan keyakinan umum.
Adalah Muhammad Roem dan Nurcholis Madjid yang menyambut hangat tulisan Amien Rais tersebut dan membelanya. Namun khusus Mohammad Roem, orang-orang saat itu merasa sedikit heran ketika mendengarnya menyetujui tulisan Amien Rais.
Mengingat partai tempat ia bekerja (baca: Masyumi) adalah partai yang ketika sidang BPUPKI/PPKI dan sidang Badan Konstituante selalu memperjuangkan Islam sebagai dasar negara Indonesia.
Mohammad Roem yang menjadi pengurus Masyumi, ternyata diam-diam menolak setuju terhadap gagasan yang diperjuangkan oleh partainya. Ia memilih merdeka dan tetap pada pandangannya sendiri. Ini bisa kita lihat dalam tulisannya dengan judul yang sama seperti Amien Rais, yakni: Tidak Ada Negara Islam, di Majalah Panji Masyarakat.
Dalam tulisannya itu, Roem dengan tegas mengatakan seraya membenarkan Amien Rais, bahwa memang benar tidak negara Islam atau Islamic State. Lebih lanjut, menurutnya, negara Indonesia yang mengambil sistem republik adalah lebih dekat dengan sunnah Nabi ketimbang kerajaan. Sehingga Islam di Indonesia tidak perlu melakukan accurate copy dari Islam Arab atau Islam mana pun.
Kriteria Negara Islami
Amien Rais, dalam bukunya Cakrawala Islam, pernah menyebutkan bahwa dalam sistem negara, kerajaan Inggris masih jauh lebih islami ketimbang Arab Saudi. Parameter islaminya adalah terletak pada sejauh mana sebuah negara menerapakan prinsip musyawarah atau yang dalam bahasa Quran disebut dengan istilah syura.
Nah, dalam konteks ini menurut Amien Rais, Inggris masih lebih islami ketimbang Arab Saudi. Pasalnya dalam prosesi pemilihan pemimpin negara, Arab Saudi menggunakan cara pewarisan kuasa secara turun-keturunan. Artinya kekuasaan penuh berpusat pada raja Arab. Adapun Inggris, meskipun menggunakan sistem kerajaan, tetap menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada rakyat.
Selain musyawarah atau syura, ada beberapa ciri yang membuat sistem suatu negara disebut islami. Meskipun yang mempraktekkan ciri-ciri adalah negara Barat. Dan konsekuensi lainnya ialah ketika tidak ciri-ciri itu tidak ada pada suatu negara, maka ia tidak disebut disebut Islami meskipun negara itu adalah negara dengan mayoritas umat Islam.
Ciri itu, seperti dijabarkan Amien Rais dalam bukunya Cakrawala Islam, antara lain ialah keadilan (‘adalah) dan egaliter (al-musawa). Sebuah negara akan disebut islami jika di dalamnya keadilan selalu dijunjung tinggi.
Tidak boleh ada ketimpangan hukum. Dalam negara islami, hukum tidak boleh seperti pisau; tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Mereka yang bersalah harus diberikan sanksi. Padanya hukum harus ditegakkan. Meski yang bersalah itu adalah penguasa dan orang berpunya. Hukum tak boleh gentar. Keadilan harus senantiasa dijunjung.
Kemudian adalah egaliter. Negara yang islami tidak mengenal sekat-sekat kelas. Tidak ada yang lebih di atas dan tidak ada pula yang lebih di bawah. Semuanya sama di hadapan negara, tak terkecuali pmimpin negara. Tidak ada yang berhak diistimewakan dan diperlakukan secara spesial. Itulah negara yang islami.
Jika perangkat-perangkat di atas seperti syura (musyawarah), ‘adalah (keadilan), dan al-musawa (egaliter) tidak ada pada suatu negara, maka ia tidak termasuk kategori negara islami, meskipun penduduknya mayoritas atau bahkan seluruhnya beragama Islam. Karena islami bukan persoalan simbol, tapi merujuk pada esensi dan subtansi.