“Kekerasan dan kebencian yang mengatasnamakan Tuhan adalah suatu tindakan yang sama sekali tidak bisa dibenarkan.” (Paus Fransiskus, Kompas, 27/11/2015).
Pernyataan di atas dikemukakan oleh Paus ketika berkunjung ke benua Afrika dalam rangka mencari solusi penyelesaian konflik antara Muslim-Kristen di benua tersebut.
Karena seperti kita ketahui, bahwasannya konflik-konflik atas nama ummat beragama kerap terjadi di benua yang tingkat kemiskinannya cukup tinggi tersebut.
Sifat claim truth yang terkadang ditunjukkan oleh setiap Agama atau kelompok Agama tak ayal sangat rentan menimbulkan pergesekan atau bahkan sampai konflik di antara ummat beragama.
Hingga pada sampai titik kulminasinya kita sering melihat adanya orang meributkan dengan keras ketika seseorang atau kelompok tidak berbuat seperti dikehendaki oleh pihak lain yang berbeda, sehingga seolah-olah otoritas Tuhan berpindah tangan kepada kelompok tersebut.
Jika kita mengacu pada mereka yang bersifat keras dalam beragama/konservatif, maka yang muncul biasanya dalam bentuk tindakan ialah radikalisme. Fenomena yang masih menjadi sebuah masalah serius bagi sebagian kalangan, khususnya di Indonesia.
Walaupun dalam Agama sendiri makna radikalisme itu memiliki dua makna, positif dan negatifnya. Maka dalam kacamata Agama ia ibaratkan pisau bermata dua.
Di satu sisi memiliki makna sebuah spirit menuju perubahan ke arah yang lebih baik, yang dalam Muhammadiyah dikenal dengan tajdid (pembaharuan). Dan disisi lain akan menjadi bahaya dan juga ancaman ketika sampai pada tataran melewati batas, jika bersifat memaksa kepada pemeluk Agama lain. Yang kemudian dari kedua makna tersebut masyarakat kita lebih cenderung mengartikan kata radikalisme itu ke hal yang sifatnya negatif.
Terlepas dari itu, radikalisme Agama (dalam makna negatif) yang penyebarannya cenderung tak terendus ini sampai kapan pun akan menjadi sebuah masalah, baik bagi Agama itu sendiri maupun negara.
Dan lagi-lagi nantinya Islamlah yang mendapat tudingan sebagai biang pencetus segala aksi kekerasan di berbagai belahan dunia. Maka sebelum jauh kita berbicara perihal efek dan dampaknya, patutlah kita sadari juga akan pergerakan serta sasaran doktrin-doktrinnya.
Bidikkan Doktrin Terhadap Anak Muda
Fenomena radikalisme kaum muda adalah fenomena penting dan menarik yang bercorak lintas-bangsa, lintas-budaya, dan lintas-sejarah. Jika kita berkaca pada sejarah, kaum muda selalu senantiasa berada sebagai garda terdepan dalam upaya perlawanan terhadap rezim-rezim otoriter yang cenderung mengangkangi rakyatnya sendiri
Terlepas dari itu, pemuda-pemudi yang identik dengan semangatnya yang masih menggebu-gebu, rasa ingin tahu yang tinggi, tubuh yang masih prima, wajar jika itu membuatnya jadi harapan bangsa.
Suatu bangsa bahkan seluruh negara pun sepakat pasti jika mereka yang muda merupakan mereka yang kelak menjadi penyambung dan penerus apa-apa yang telah dilakukan oleh pendahulunya. Baik dalam aspek teknologi, pendidikan, sampai Agama sekali pun takkan bisa menafikkan bahwa yang mudalah kelak penyambung estafet peradaban.
Namun di samping itu, ternyata ada saja beberapa pihak atau golongan yang justru memanfaatkan anak muda demi kepentingan kelompoknya yang cenderung mengarah pada sesuatu yang berakibat buruk tuk kedepannya.
Dalam hal tersebut, ideologi lah yang menjadi sasaran utama. Itu bisa terlihat dalam kacamata realitas sehari-hari, banyak remaja Muslim yang kian kering akan pemahaman keagamaannya tergerus oleh pengaruh globalisasi dan budaya-budaya barat yang merusak pemikirannya.
Kalangan muda sebagai agensi memiliki kecenderungan lebih kuat dan kemungkinan lebih besar untuk terlibat dalam gerakan sosial radikal dibandingkan dengan orang dewasa, yang disebabkan adanya fase transisi dalam pertumbuhan usia yang menyebabkan rawan krisis identitas.
Krisis inilah yang kemudian memungkinkan terjadinya pembukaan kognitif sehingga mereka mampu menerima gagasan baru yang bersifat radikal.
Hal itupun rupanya kemudian menjadi celah yang dimasuki pula oleh mereka yang menganut paham radikalisme. Bahkan radikalismenya pun condong kepada tindakan terorisme.
Sebagaimana dikutip dari Maarif Institute dalam jurnal yang bejudul Menghalau Radikalisasi Kaum Muda: Gagasan dan Aksi, contoh seperti bom gagal yang terjadi di Serpong pada 2011 silam dengan terendusnya jaringan NII (Negara Islam Indonesia) mengkonfirmasi bahwa gerakan radikal banyak menyusupkan pahamnya dan memperluas jangkauan jaringannya melalui kampus dan sekolah.
Para siswa, pelajar, mahasiswa, yang sedang dalam proses ingin belajar banyak hal baru itupun menjadi sasaran empuk untuk mempekuat gerakan radikalisme keagamaan ini. Dalih jihad pun menjadi doktrin yang kemudian memasuki pemikiran kaum muda mudi.
Dari Radikalisme ke Terorisme
Kajian mengenai radikalisme pastinya tak akan jauh dengan terorisme yang juga jadi pembahasannya, begitupun sebaliknya. Fenomena bom ataupun teror di sana sini yang pernah terjadi lantas biasa dilabelkan sebagai tindakan terorisme yang berangkat dari paham radikalisme. Yang tak lama dari itu biasanya Islam menjadi bahan perbincangan hangat karena dianggap sebagai dalang dibalik tindakan tersebut.
Mungkin kita selaku muslim geram, kesal, melihat Agama kita sebegitu instannya dicap sebagai aktor utama dibalik aksi terorisme tersebut. Namun jika kita telusuri lebih dalam, kita bisa tahu bahwa memang ada orang-orang yang mendedikasikan hidupnya untuk menjadi teroris, menggembleng para calon teroris, mengajarkan ilmu teror, dan meyakinkan orang-orang untuk mengikuti pemahaman Islam ala teroris.
Maraknya aksi terorisme dengan menggunakan kekerasan, seperti halnya bunuh diri (suicide bombing), menjadikan jihad sebagai alasan pembenaran yang didasari dengan landasan teologis.
Pengertian jihad yang disalah artikan menjadi satu doktrin yang memicu tindakan-tindakan ekstrem tersebut. Dan jika digali lebih dasar lagi perihal faktor penyebabnya, maka masalah pemahaman/ideologilah salah satu akar penyebabnya.
Radikalisme memang tidak persis sama dan tidak bisa disamakan dengan terorisme. Namun sejatinya radikalisme merupakan satu step awal sebelum bergerak ke ranah terorisme.
Karena umumnya berawal dari sifat ekslusif dan konservatif, yang kemudian beranjak menjadi perbuatan destruktif. Dan itu tampak ketika banyak para teroris melegitimasi tindakannya dengan paham keagamaan radikal yang mereka anut.
Lantas jika paham ini sudah sampai pada tahapan kekerasan, kebrutalan, sikap keras dan ekstrimis, itu akan menjadi sebuah ancaman bagi suatu negara. Tak hanya itu, Islam pun sebagai Agama yang seharusnya menebar kasih sayang akan ternodai, dan tak menutup kemungkinan nantinya akan lebih dikenal sebagai Agama penebar ancaman bukan kasih sayang.
Referensi:
Emna Laisa, (2014). Islam dan Radikalisme. Jurnal Islamuna, 1(1), 1-18
Ahmad Baedowi, dkk, (2013). Menghalau Radikalisme Kaum Muda: Gagasan dan Aksi. Jurnal Maarif, 8(1).
Editor: Yahya FR