Tenaga Pengajar di lembaga PAUD seharusnya tidak menuntut peserta didiknya untuk mampu menguasai kemampuan baca, tulis, serta berhitung (Calistung). Karena selama ini, guru pendidik anak usia dini selalu tergesa-gesa agar mereka dianggap hebat. Dianggap mampu mengajarkan anak agar bisa membaca, menulis, serta berhitung. Demikian juga tuntutan dari orangtua sang murid yang ingin anaknya mampu dalam melakukan hal tersebut.
Mendidik anak itu ibarat kita menanam pohon. Jika terlalu banyak diberi pupuk dan air, maka tidak baik untuk pertumbuhan pohon tersebut. Mengingat dunia anak adalah dunia bermain dan anak belajar melalui bermain. Bukan melalui paksaan, yakni anak dipaksa agar tamat dari PAUD langsung dapat membaca dan menulis plus berhitung.
Teori Mendidik Anak Usia Dini
Saya pernah membaca bahwa Piaget mengatakan tahap perkembangan kognitif atau kecerdasan seorang anak dibagi beberapa periode: pertama, tahap sensori-motor dari umur 0-2 tahun. Kedua, tahap pra-operasional dari umur 2-7 tahun. Ketiga, tahap operasional konkret dari umur 7-11 tahun. Keempat, tahap operasional formal yakni usia 11 tahun hingga dewasa.
Selain itu, menurut saya, lembaga PAUD tidak boleh mengajarkan atau terlalu memaksakan anak untuk bisa membaca, menulis, serta berhitung. Dan juga pada penerimaan anak kelas 1 SD jangan didasarkan pada hasil test kemampuan baca tulis serta test yang lain.
Pemerintah juga sudah mengeluarkan peraturan bahwa syarat diterimanya anak kelas 1 SD harus sudah berumur 7 tahun. Sebab, untuk memahami calistung, anak memerlukan cara berpikir yang terstruktur. Jika dilihat dari beberapa tahap perkembangan menurut Piaget, bahwa seharusnya pelajaran baca tulis dan hitung diberikan pada saat tahap operasional konkret, yakni di usia anak menginjak umur 7 tahun.
Jangan Renggut Golden Age
Jika calistung diajarkan pada anak usia di bawah tujuh tahun, maka yang dikhawatirkan adalah anak akan kehilangan periode golden age. Dikhawatirkan anak akan kehilangan semangat belajar dan kadang malas sekolah karena anak dipaksa melakukan hal yang tidak mereka sukai dan tidak mereka inginkan. Mereka dipaksa menghadapi sesuatu yang yang tak seharusnya mereka hadapi pada usia mereka. Oleh karena itu, semestinya konsep pembelajaran anak usia dini tidak hanya berpusat pada satu aspek perkembangan saja.
Perkembangan pada anak usia dini bukan hanya perkembangan kognitif saja, melainkan ada beberapa lagi yang perlu kita ketahui. Yakni, perkembangan sosial emosional, perkembangan seni, kecakapan bahasa, moral dan agama, serta fisik motorik. Perkembangan tersebut sudah mencakup nilai akademik dan non-akademik.
Karena itu, sangat penting untuk menstimulasi semua aspek perkembangannya. Alasan yang lain, yakni kenyatannya setiap anak dilahirkan memiliki perkembangan yang berbeda-beda. Jadi, tenaga pengajar juga harus mampu memahami hal tersebut. Bukan sekedar memfokuskan peserta didik untuk mengembangkan nilai kademik (calistung). Orang tua juga diharapkan dapat membantu mengajari anak di rumah untuk mengembangkan potensi yang dimiliki anaknya. Itu semua agar tidak terjadi ketidakseimbang antara enam aspek dalam perkembangan anak didik.
Editor: Arif