Oleh: Hendra Hari Wahyudi*
Di era digital saat ini, teknologi seakan kebutuhan manusia. Bukan hanya kalangan milenial, tapi juga manula hingga balita. Persepsi masyarakat pun dikelola oleh otak yang bereferensi sosial media. Informasi mudah didapat dengan melalu gawai dan bisa dinikmati kapan saja, tentu saja kalau punya kuota. Mungkin ini lazim bagi orang dewasa, namun tak jarang juga dinikmati oleh balita. Pernah membaca kalimat di media sosial yang berkata “dilahirkan oleh bunda, diasuh oleh smartphone” rasanya memang begitu adanya.
Zaman sekarang, tak jarang anak-anak usia dini banyak kita jumpai asyik menikmati gadget. Youtube, salah satu yang sering mereka lihat dengan tayangan berbagai macam, mulai dari lagu anak, hingga kartun animasi berisi edukasi. Namun, apakah lazim anak seusia mereka sudah mengenal ponsel? Pastinya orangtua punya andil dalam memperkenalkannya.
Smartphone Menjauhkan yang Dekat
Pastinya banyak alasan kenapa sebagian orangtua memfasilitasi buah hatinya dengan tayangan yang muncul secara audiovisual melalui smartphone tersebut. Ada yang beralasan anaknya bisa tenang ketika diberi handphone, ada yang juga yang beralasan sarana edukasi. Namun, pastinya ada dampak negatif dari itu semua, selain sisi manfaatnya.
Sebagai orangtua, pastinya kita selalu ingin membahagiakan putra-putri kita dengan cara yang bijak. Tak sedikit pula anak usia dini yang sudah kecanduan gawai, bahkan anak usia SD/MI banyak yang sudah kesana kemari bermain dengan membawa ponsel pintar. Sehingga kemungkinan besar anak itu akan kehilangan atau lupa dimana mereka menaruh gawainya.
Menjadi orangtua, memang susah-susah gampang dalam menyikapi hal ini. Jika kita (orangtua) tidak memberikan mereka gawai, mungkin anak kita akan menangis, bahkan jadi bahan bullying teman hingga tetangga. Namun jika kita menuruti, dampak yang ditimbulkannya pun tidak mudah. Lalu, bagaimana kita sebagai orangtua dalam bersikap?
Banyak sekali cara kita dalam menjaga anak kita dari pengaruh negatif smartphone, mulai dari membatasi mereka dalam bermain, hingga mendampingi mereka saat menonton atau menggunakan ponsel. Tapi, terkadang orangtua lalai atau kurang ada waktu dengan anaknya. Bahkan kadang, waktu bersama pun kita dengan anak malah asyik pula bermain gawai masing-masing sehingga komunikasipun terasa kurang hangat. Hingga terasa ponsel menjadi mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat.
Sejatinya, internet dan gadget banyak manfaatnya bagi anak kita, karena anak kita bisa mencari informasi bahkan solusi dari pelajaran mereka di sekolah. Tapi, permainan yang ngehits di tahun 90-an rasanya sudah asing bagi anak zaman now, mereka lebih menyukai game online yang juga membutuhkan biaya (pulsa). halodoc.com pernah melansir sebuah artikel tentang pengaruh gadget pada perkembangan anak, diantaranya saat seorang profesor psikologi dari Iowa State University, bermain video game bisa meningkatkan kemungkinan depresi pada anak.
Ia melakukan riset untuk mengetahui tentang hubungan antara dan videogame dengan kasus-kasus depresi pada anak dan remaja. Menurutnya, ketika anak punya masalah, pelarian termudah dengan bermain video game. Selain efek candu, hal tersebut juga membuat anak terisolasi dari pergaulan dunia nyata. Dan tak ketinggalan, anak akan jadi malas belajar, jika orangtua kurang memberikan perhatian.
Dampak Gawai pada Anak
Kebutuhan keluarga sandang, pangan, papan pun kini ditambah kuota. Apapun status sosialnya, pekerjaannya, hampir semua memiliki gawai. Anak usia dini kisaran balita, SD, dan SMP pun sekarang mempunyai akun media sosial. Yang mengkhawatirkan adalah sikap orang dewasa yang kadang tidak terkontrol sehingga menuliskan kalimat hingga foto yang tidak pantas yang mungkin bisa saja dibaca atau dilihat oleh anak kecil tadi.
Rasanya kita sebagai orang dewasa pun patutnya menjaga dan menggunakan sosial media dengan bijak dan santun. Sehingga postingan kita tidak menjadi dosa orang lain, dan menambah dosa kita. Sebagai orangtua, anak adalah aset kehidupan kita di dunia dan akhirat kelak.
Mereka bagaikan kertas putih yang dimana kita dan kehidupannya-lah yang akan menulis bagaimana ia. Mulai dari kepribadian, hingga sikapnya tergantung dari orangtua dan pengalaman mereka. Mereka yang akan menjadi penolong kita dari api neraka. Juga kita sebagai orangtua harus pula menjaga keluarga kita dari api neraka tersebut. Sesuai firman Allah yang artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Qs. At-Tahrim [66]:6).
Pada dunia di dalam gawai, banyak sekali hal negatif yang berseliweran sebagaimana yang sudah saya sebutkan diatas. Jika hal itu dikonsumsi mata anak kita, mungkin akan menjadi dosa kita. Dalam sebuah wawancara yang dimuat di Tenplay, Bill Gates menegaskan bahwa anak seharusnya tidan dibolehkan memiliki ponsel pintar atau gadget sebelum usianya 14 tahun.
Menjadi Orangtua yang Bijak
Pakar parenting dan ahli teknologi mengamini ucapan Bill Gates. Karena penelitian juga telah membuktikan bahwa membiarkan anak menyentuh teknologi terlalu dini bisa berdampak buruk pada anak, terutama psikisnya. Namun, biar bagaimanapun juga, kalimat dilahirkan ibu diasuh smartphone amatlah kurang tepat meski faktanya sekilas benar. Karena sejatinya, sosok orangtua terutama ibu penjadi pengasuh anak sepanjang hayat. Mengingat lagu anak yang ngehits tahun 90an dengan bait “kasih ibu, kepada beta, tak terhingga sepanjang masa”.
Meski pada gadget semua serba ada, namun akhlak, teladan, dan kasih sayanglah yang tak kan mereka dapatkan dari gawai, hanya orangtua dan guru. Pepatah mengatakan, “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Artinya anak akan berperilaku sebagaimana teladan yang ditampilkan oleh kedua orangtuanya.
Begitu pula peribahasa “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Anak akan meniru dan mencontoh dari apa yang ia lihat, dengar, dan rasakan. Jangan sampai peran orangtua, dan guru tergantikan oleh mesin yang bernama smartphone.
Mari kita sebagai orangtua menjaga, mengawasi, dan membimbing anak kita atas apa yang mereka lakukan, terutama saat bermain dengan gawainya. Supaya anak kita tetap menjadi pribadi yang ber-akhlakul karimah. Karena untuk menghindar dari globalisasi dan kemajuan teknologi nampaknya sulit. Maka mari menjadi bijak sebagai orangtua dalam membimbing dan menghadapi anak.
*) Guru di MI Muhammadiyah 06 Tebluru, Solokuro, Lamongan
Editor: Nabhan