Falsafah

Andrew Rippin, Orientalis yang Menilai Nabi Muhammad Secara Objektif

3 Mins read

Tidak seluruh kaum orientalisme memikirkan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah manusia yang tidak pantas untuk menerima apa yang disebut dengan atribut Tuhan atau Al-Qur’an.

Berbeda dengan Andrew Rippin salah satu kaum orientalis yang memandang bahwa Nabi Muhammad adalah manusia yang ideal untuk menerima perintah dari Tuhan secara langsung.

Nabi Muhammad ini adalah seorang yang sudah mumpuni, manusia yang sungguh sempurna untuk menerima wahyu dari Allah Swt Sehingga pantas jika Nabi Muhammad ini adalah rahmat bagi seluruh alam.

Sekilas tentang Andrew Rippin

Andrew Rippin orientalis asal kota London, Inggris terlahir pada tanggal 16 Mei 1950. Andrew Rippin terkenal sebagai seorang ilmuan dari Kanada karena menyelesaikan studi Ph.D di kota Kanada.

Beliau ini adalah seorang Dekan di Fakultas Ilmu Humaniora di Universitas Victoria juga menjadi seorang guru besar disana. Beliau meninggal pada tanggaln 29 Nopember 2016 di Victoria, British Colimbia pada usia yang ke-66 tahun (Murdhatillah, 2016, hal. 210).

Pandangan Andrew Rippin terhadap Nabi Muhammad Saw

Andrew Rippin ini memuji atau menyetujui bahwa Nabi Muhammad adalah sosok yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Nabi Muhammad dalam Islam sudah pantas sekali untuk menjadi pemimpin dan penunjuk jalan umat Islam.

Dan itu tidak ada yang salah, justru Andrew Rippin ini malah kawatir dengan pemalsuan sejarah yang telah dilakukan oleh beberapa oknum penulis data sejarah biografi Nabi Muhammad Saw.

Bagi Andrew Rippin, Nabi Muhammad merupakan tokoh utama dalam agama Islam. Yang mana, Muhammad adalah seorang yang merupakan manusia ideal yang memiliki wujud sempurna untuk menerima wahyu dari Tuhan. Dan itu juga sudah atas pilihan Tuhan itu sendiri.

Baca Juga  Al-Farabi: Negara Ideal sebagai Jalan Menuju Kebahagiaan Hakiki

Tetapi ada memang yang salah dari orang yang menulis sejarah biografi Muhammad itu sendiri. Karena dalam hal tersebut masih banyak yang menjadi perdebatan terutama pada pengenalan diri Nabi Muhammad itu sendiri. Di sana masih ada banyak kesalahan data yang ditulis oleh para penulis biografi Nabi Muhammad. Dan juga akan adanya kesulitan dalam masalah validasi data biografi dari Nabi Muhammad itu sendiri (Rippin, 2005, hal. 44-47).

Selain itu ada juga tentang faktor yang menjadi pembatasan dalam jumlah kepercayaan yang telah ditempatkan dalam kisah-kisah kehidupan Nabi Muhammad Saw. Bahkan dalam hal kepercayaan terhadap Nabi Muhammad Saw, ada beberapa hal yang telah diabaikan keberadaannya. Terutama mengenai detail-detail terkecil dalam kehidupan Nabi Muhammad Saw.

Dalam biografi kehidupan Nabi Muhammad, yang detail-detai itu, rupanya telah dikalahkan oleh kepentingan religius yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. Yang pada akhirnya,  hal religius itu disebut sebagai fakta dalam sejarah. Padahal kereligiusan itu bukanlah suatu yang seharusnya menyingkirkan fakta yang ada tentang Muhammad (Rippin, 2005, hal. 49).

Pandangan Andrew Rippin terhadap Al-Qur’an

Sementara Andrew Rippin mengungkap Al-Qur’an adalah sebuah buku. Al-Qur’an terdiri dari 114 bab, yang disebut surah, disusun secara kasar dalam urutan panjang dari yang terpanjang (sekitar dua puluh dua halaman teks Arab untuk surah 2) hingga yang terpendek (hanya satu baris untuk surah 108).

Pengecualian utama untuk prinsip pemesanan ini adalah bab pertama, yang disebut “Pembukaan,” Al-Fatihah, yang pada dasarnya adalah doa dan digunakan seperti itu dalam ritual Muslim.

Setiap bab dibagi menjadi syair, yas, jumlah total berkisar antara 6204 dan 6236, berbeda menurut berbagai skema penghitungan.

Baca Juga  Hakikat Islam: Humanis Berketuhanan, Bukan Anarkis Pembeda Golongan

Pembagian syair ini tidak selalu sesuai dengan makna teks tetapi umumnya terkait dengan struktur rima dari masing-masing surah. Dua puluh sembilan bab didahului dengan huruf-huruf alfabet Arab yang terputus, beberapa huruf tunggal (QS. Qaf: 50; QS. Nun: 68) atau hingga lima huruf bersama-sama.

***

Arti penting dari apa yang disebut surat-surat misterius ini telah luput dari perhatian para ilmuwan Muslim tradisional dan modern. Juga yang mengawali setiap bab, kecuali surah 9, adalah basmalah. “Dengan menyebut nama Allah, Yang Maha Pengasih lagi Penyayang” (pernyataan yang juga muncul di awal surat yang dikutip dalam Al-Qur’an 27/30).

Teks seperti biasanya ditemukan hari ini menunjukkan konsonan dan vokal Arab menurut sistem notasi standar, bersama dengan berbagai tanda lain yang terkait dengan praktik pembacaan dan pembagian ayat.

Namun, manuskrip awal Al-Qur’an yang berasal dari abad kedelapan dan kesembilan hanya memberikan bentuk konsonan bahasa Arab (Rippin, 2005, hal. 22-23).

Membaca Al-Qur’an mengungkapkan keasyikan tematik dengan tiga topik utama: hukum, para nabi sebelumnya, dan penghakiman terakhir. Ketiganya bergabung untuk menciptakan apa yang disebut oleh beberapa “campuran penasaran” dari asumsi pengetahuan alkitabiah di pihak pembaca dengan elemen lain, yang tampaknya menjadi semacam tradisi asli Arab. (Rippin, 2005, hal. 22-23).

Umat Islam Berpaling dari Metode Analisa

Andrew Rippin hanya berfokus pada kaum Muslim yang kurang kritis dalam memberikan refleksi ilmu pengetahuan. Dan ini dikhususkan dalam ajaran atau sejarah Islam yang seharusnya bisa dikritisi secara lebih oleh kaum Muslim itu sendiri.

Andrew Rippin memandang bahwa umat Islam itu lebih kepada berpaling dari metode analisa secara ilmiah dan tetap berlaku secara islami. Bisa dikatakan mencari jalan aman dari para netizen yang masih awam pengetahuan dalam hal metode analisis ilmiah.

Baca Juga  Jelang Iduladha, Muhammadiyah Anjurkan Shalat 'Id Dilaksanakan di Rumah

Karena internal atau para muslim sendiri jika ada sesuatu yang kelihatan menyimpang sedikit sudah disebut anti Islam. Maka dari itu Andrew Rippin menyatakan bahwa masih mini untuk para Muslim itu melakukan metode atau pengkajian analisa secara ilmiah dalam sejarah Islam.

Padahal perlu adanya suatu pengkajian ilmuah agar bisa diketahui kelayakan suatu teks dalam konteks sejarah Islam yang sesungguhnya. Dan tentu meminimalisir sejarah dari pandangan yang masih bersifat subjektif menjadi lebih objektif.

Dan dengan analisa ilmiah pula juga dapat meminimalisir kepalsuan fakta yang telah ditulis oleh para sejarawan musliam yang dirasa kurang kritis tadi. Hingga akhirnya banyak penyimpangan fakta dalam sejarah Islam.

Editor: Rozy

Anugerah Ilma Dinilillahi
2 posts

About author
Mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds