Report

Anjuran Shalat Iduladha di Rumah, Berikut Argumen Muhammadiyah

3 Mins read

IBTimes.ID – Situasi terkini pandemi Covid-19 di Indonesia, berdasarkan data Pemerintah melalui website covid19.go.id, terjadi peningkatan penambahan kasus per hari yang sangat tinggi sejak bulan Maret 2020. Pada tanggal 1 Juli 2021, angka masyarakat terkonfirmasi covid-19 mencapai 24.836 kasus Covid-19 dalam sehari yang tersebar pada 33 provinsi.

Sehingga total pasien yang terjangkit virus corona di Indonesia kini mencapai 2.203.108 orang, terhitung sejak kasus pertama diumumkan pada 2 Maret tahun lalu. Tercatat, ada lima provinsi dengan penambahan kasus baru Covid-19 tertinggi.

Kelima provinsi itu yakni DKI Jakarta (7.541 kasus baru), Jawa Barat (6.179 kasus baru), Jawa Tengah (2.624 kasus baru), Jawa Timur (1.397 kasus baru), dan DIY (895 kasus baru). Angka positif rate juga mengalami peningkatan tajam menjadi 25% di Indonesia.

Menyikapi hal tersebut, PP Muhammadiyah menganjurkan masyarakat agar melaksanakan Shalat Iduladha di rumah masing-masing. Shalat Iduladha di lapangan dan takbir keliling dianjurkan untuk ditiadakan. Hal ini disampaikan melalui Surat Edaran PP Muhammadiyah nomor 05/EDR/I.0/E/2021 tentang Imbauan Perhatian, Kewaspadaan, dan Penanganan Covid-19, Serta Persiapan Menghadapi Iduladha 1442 H/2021 M.

Menurut PP Muhammadiyah, nilai dasar ajaran Islam tentang perwujudan maslahat mengharuskan pelaksanaan perlindungan lima kepentingan pokok. Di antaranya adalah perlindungan jiwa (ḥifẓ an-nafs). Dalam mewujudkan ḥifẓ an-nafs itu, pelaksanaan Shalat Iduladha dalam kondisi Covid-19 sekarang ini harus dilakukan di rumah masing-masing.

Asas pelaksaan ajaran Islam juga tidak boleh menimbulkan mudarat. Maka, dalam pelaksanaannya, diberi kemudahan sebagaimana ditegaskan dalam beberapa kaidah fikih. Berdasarkan kaidah tersebut, untuk menghindari mudarat penularan Covid-19, maka shalat di lapangan yang melibatkan kumpulan banyak orang harus dihindari. Sehingga Shalat Iduladha dikerjakan di rumah. Kaidah dimaksud adalah:

  1. Laa dzarara, wa laa dziraara. (Tidak ada kemudaratan dan pemudaratan) [As-Sadlān, al-Qawāʻid al-Fiqhiyyah al-Kubrā, h. 493; kaidah ini berasal dari HR Ahmad dan Malik].
  2. Adz-Dzaruru yuzaalu. (Kemudaratan harus dihilangkan) [Al-Asybāh wa an-Naẓā’ir, as-Suyūṭī, I: 3, al-Subki, I: 47, Ibnu Nujaim, I: 72].
  3. Dar’ul mafasid aula min jalbil masalih. (Mencegah mudarat lebih diutamakan daripada mendatangkan maslahat) [Al-Asybāh wa an-Nazā’ir oleh as Sayūṭī, I: 105, 455].
  4. Al-amru idza dzaqa ittasa’a, wa idza ittasa’a dzaqa. (Segala sesuatu, jika sempit maka menjadi luas, dan jika (kembali) luas maka menjadi sempit [Al-Asybāh wa an-Naẓā’ir, Ibnu Nujaim, I: 72].
  5. Al-masyaqqatu tajlibut taisiir. (Kesukaran dapat mendatangkan kemudahan) [Al-Asybāh wa an-Naẓā’ir, as-Suyūṭī, I: 76, al-Subki, I: 44].
Baca Juga  I Gusti Ngurah Sudiana: Potret Kerukunan Beragama di Bali

Dalam sebuah hadis, Nabi saw bersabda:

“Ini adalah hari raya kita, pemeluk agama Islam.”

Sebagaimana disebutkan oleh al-Bukhārī. Meskipun sabab al-wurūd hadis ini adalah masalah menyanyi di hari raya, namun al-Bukhārī memegangi keumuman hadis ini. Bahwa hari Id itu adalah hari raya umat Islam yang dirayakan dengan salat Id. Sehingga orang yang tidak dapat mengerjakannya sebagai mana mestinya, yaitu di lapangan, dapat mengerjakannya di rumahnya.

Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhārī dengan lafal sedikit berbeda pada dua tempat lain, yaitu hadis nomor 909 dan 3716 dalam Ṣaḥīḥ-nya. Al-Bukhārī menyebutkan bahwa Sahabat Anas Ibn Mālik mempraktikkan seperti ini di mana ia memerintahkan keluarganya untuk ikut bersamanya salat Id di rumah mereka di az-Zāwiyah (kampung jauh di luar kota).

Ibn Hajar dalam kitab syarahnya terhadap al-Bukhārī, yaitu Fatḥ al-Bārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, menyatakan bahwa salat Id di rumah itu dianut oleh para ulama terkemuka seperti Ibrāhīm an-Nakhaʻī (w. 96/715), Mujāhid (w.102/721), ‘Ikrimah (w. 107/725), al-Ḥasan al-Baṣrī (w. 110/728), Ibn Sīrīn (w. 110/729), ‘Aṭā’ (w. 114/732), Abū Ḥanīfah (w. 150/767), al-Auzaʻī (w. 157/774), al-Laiṣ (w. 175/791), Mālik (w. 179/795), asy-Syāfiʻī (w. 204/820), dan Imam Aḥmad (w. 241/855) [Ibn Rajab, Fatḥ al-Bārī Syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, IX: 75, bab 25].

Menurut Muhammadiyah, suatu pertimbangan bahwa tidak pernahnya Nabi saw mengerjakan salat Id (baik Idulfitri maupun Iduladha) di rumah bukanlah sunah tarkiah karena memang tidak ada keperluannya untuk mengerjakannya di rumah pada zaman Nabi saw. Sebab tidak ada musibah yang menghalangi pengerjaannya di lapangan. Karena tidak pernahnya Nabi saw mengerjakan salat Id di rumah bukan sunah tarkiah, maka dibolehkan mengerjakannya di rumah.

Baca Juga  Begini Cara Bertahan Menghadapi ‘a New Normal’

Muhammadiyah juga berpendapat bahwa pelaksanaan salat Iduladha di rumah tidak membuat suatu jenis ibadah baru. Salat Iduladha ditetapkan oleh Nabi saw melalui sunahnya. Salat Iduladha yang dikerjakan di rumah adalah seperti salat yang ditetapkan dalam sunah Nabi saw. Hanya tempatnya dialihkan ke rumah karena pelaksanaan di tempat yang semestinya, yaitu di lapangan yang melibatkan konsentrasi orang banyak, tidak dapat dilakukan.

Juga tidak dialihkan ke masjid karena halangannya adalah ketidakmungkinan berkumpulnya orang banyak di suatu tempat. Oleh karena terhalang di tempat yang semestinya, yakni di lapangan, maka dialihkan ke tempat di mana mungkin dilakukan, yakni di rumah.

Meniadakan Shalat Iduladha di lapangan maupun di masjid karena adanya ancaman Covid-19 tidaklah berarti mengurang-ngurangi agama. Karena dituntut oleh keadaan di satu sisi, dan di sisi lain dalam rangka mengamalkan bagian lain dari petunjuk agama itu sendiri, yaitu agar selalu memperhatikan riʻāyat al-maṣāliḥ, perwujudan kemaslahatan manusia. Berupa perlindungan diri, agama, akal, keluarga, dan harta benda dan menjaga agar tidak menimbulkan mudarat kepada diri dan orang lain.

Bahkan sebaliknya, tidak ada ancaman agama atas orang yang tidak melaksanakannya. Karena Shalat Id adalah ibadah sunah. Dalam pandangan Islam, perlidungan diri (jiwa dan raga) sangat penting sebagaimana Allah menegaskan dalam Al-Qur’an, yang artinya “Barangsiapa mempertahankan hidup satu manusia, seolah ia memberi hidup kepada semua manusia” [QS al-Māidah (5): 32].

Menghindari berkumpul dalam jumlah banyak adalah upaya untuk memutus rantai pandemi Covid-19 dan berarti pula upaya menghindarkan orang banyak dari paparan virus korona yang sangat mengancam jiwa.

Reporter : Yusuf

Avatar
1457 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Report

Hamim Ilyas: Islam Merupakan Agama yang Fungsional

1 Mins read
IBTimes.ID – Hamim Ilyas, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyebut, Islam merupakan agama yang fungsional. Islam tidak terbatas pada…
Report

Haedar Nashir: Lazismu Harus menjadi Leading Sector Sinergi Kebajikan dan Inovasi Sosial

1 Mins read
IBTimes.ID – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir memberikan amanah sekaligus membuka agenda Rapat Kerja Nasional Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan…
Report

Hilman Latief: Lazismu Tetap Konsisten dengan Misi SDGs

1 Mins read
IBTimes.ID – Bendahara Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Hilman Latief mengatakan bahwa Lazismu sudah sejak lama dan bertahun-tahun terus konsisten dengan Sustainable Development…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds