Falsafah

Agama dan Budaya Tak Dapat Dipisahkan!

2 Mins read

Indonesia, negara dengan mayoritas rakyatnya yang menganut ajaran agama Islam. Memiliki lebih dari 300 etnis dan suku dengan beraneka ragam adat dan budaya. Semuanya melengkapi indahnya bangsa ini sebagai negara kesatuan. Lalu, bagaimanakah hubungan agama dan budaya?

Agama dan Budaya

Sebelum ajaran agama Islam masuk, masyarakat pribumi nusantara telah banyak memiliki struktur kehidupan yang kompleks. Termasuk mengenai spiritualitas. Beragam kebiasaan dan kepercayaan telah membangun kebudayaan mereka.

Bukan perkara yang mudah dalam berdakwah, bahkan di era sekarang pun. Sulit untuk sekedar saling mengingatkan atau sharing perkara agama Islam. Karena sering terbentur dengan kultur atau kebudayaan masing-masing kelompok.

Untuk membuat mereka mau mengamalkan ajaran dalam Islam, tidak bisa dilakukan secara saklek. jika tidak ingin apa yang kita upayakan hanya berakhir dengan kegagalan, atau bahkan untuk diri kita sendiri. Karena budaya adalah suatu yang melekat, seperti cinta, membutuhkan waktu untuk transisi.

Kemampuan untuk memisahkan antara syariat dengan budaya menjadi suatu langkah positif untuk memahami. Kemampuan tersebut akan mengasah otak kita untuk berfilsafat dalam menyeimbangi pemahaman antara agama dan budaya. Keseimbangan ini bisa didapatkan dari keinginan kita untuk berfikir secara mendalam. Dengan ini maka akan mempermudah proses kita untuk menentukan strategi yang tepat dalam mengimplementasikan ajaran Islam kepada diri kita sendiri dan orang lain.

Sebagai contoh, Nabi Muhammad SAW memerintahkan untuk mengenakan pakaian bagus ketika melaksanakan salat dengan batasan aurat tertentu, dan lelaki disunahkan untuk mengenakan penutup kepala. Syariat tersebut pasti memiliki maksud dan hikmah yang dapat kita pelajari melalui ilmu fikih.

Tetapi bukan berarti dalam memahami syariat tersebut kita hanya terpaku kepada stigma seperti yang banyak kita temui. Misalnya stigma bahwa syariat tersebut harus dilaksanakan persis seperti orang Arab yakni mengenakan jubah dan sorban.

Baca Juga  Kritisisme Immanuel Kant: Sintesa dari Rasionalisme dan Empirisme

Ya, disana adalah kiblat bagi umat Islam, tetapi mirisnya banyak dari kita yang membuta dan menerapkan stigma tersebut secara universal dalam segala hal dan saklek. Tak jarang memicu konfrontasi bahkan diantara umat Islam sendiri.

Padahal, syariat tersebut tidak menetapkan bentuk dan jenis pakaian yang harus dikenakan. Maka, asalkan batasan aurat terpenuhi dan maksud dari syariat tersebut difahami, tak salah bukan jika kita mengenakan pakaian yang kita anggap bagus seperti mukena batik atau blangkon sebagai penutup kepala?

Tak dipungkiri lagi, banyak contoh kasus serupa yang dapat dengan mudah kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, bukankah di era sekarang ilmu dapat dengan mudah kita dapatkan?

Berfikirlah!

Tidak ada yang salah dengan budaya selama tidak terbentur dengan syariat. Bukan berarti pula budaya yang tidak ada dalam syariat itu pasti berbenturan. Semua dapat dipelajari dan difahami selama kita mau berfikir dan mengkaji dengan ilmu.

Allah SWT telah menganugerahkan akal kepada manusia dan menekankan kepada kita untuk senantiasa memanfaatkannya dengan berfikir. Seperti pada firman-Nya QS. Al-Hasyr ayat 2 “Maka berpikirlah, wahai orang-orang yang berakal budi”.

Ketika kita mampu berfikir mendalam sebagai suatu bentuk falsafah, maka dalam memahami sesuatu kita dapat lebih terbuka yang mana akan mempengaruhi bagaimana sudut pandang kita dalam menyimpulkan suatu hal.

Belajar dari Walisongo

Sebenarnya hal tersebut telah dilakukan oleh walisongo dalam menyebarkan Islam di nusantara. Islam yang notabene pada saat itu masih sangat kental akan kepercayaan animisme dan dinamisme dengan kulturnya masing-masing.

Dengan menggunakan akal yang dianugerahi Allah SWT, walisongo berhasil menaklukkan mereka menggunakan strateginya masing-masing. Bayangkan saja jika pada saat itu walisongo menerapkan faham Islam dengan keras, mungkin saja Islam tidak berkembang pesat di bumi nusantara seperti sejarah yang ada.

Baca Juga  Bung Karno, Islam, dan Polemik dari Bengkulu

Akidah menjadi poin utama yang harus ditekankan dan memadukan kebudayaan masyarakat dalam persoalan fikihnya. Hal tersebut sah saja dilakukan asalkan dengan suatu tujuan yang manfaatnya lebih besar dengan meminimalkan dan atau tidak membenturkannya dengan syariat yang dapat menyebabkan suatu dosa.

Hal ini juga berlaku dalam kehidupan beragama kita. Jangan gunakan stigma liar yang seringkali muncul dalam fikiran. Gunakanlah akal yang telah dianugerahi Allah SWT untuk dapat mengkaji lebih dalam setiap hal yang akan kita fahami sehingga bisa lebih terbuka terhadap suatu hal.

Jika untuk diri kita sendiri saja gagal untuk memahami, lantas bagaimana kita menyampaikannya kepada orang lain?

Editor: Sri/Nabhan

1 posts

About author
Mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam - Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Salatiga.
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds