Bekerja dalam perspektif agama Islam adalah hal prinsip yang wajib dilaksanakan oleh setiap individu yang memiliki keyakinan terhadap Islam itu sendiri. Pasalnya, terdapat banyak nash yang berbentuk ayat Al-Qur’an maupun hadis yang memberikan panduan agar umat Islam meingkatkan produktivitasnya melalui ragam pekerjaan atau profesi yang mereka jalani.
Oleh karena Rasulullah Saw sangat menghargai setiap tetesan keringat yang dikeluarkan oleh pekerja keras dibandingkan dengan orang yang hanya mengandalkan pemberian orang lain, dan ini disampaikan melalui sebuah hadis, “Sungguh seorang dari kalian yang memanggul kayu bakar dengan punggungnya lebih baik baginya daripada dia meminta-minta kepada seseorang, baik orang itu memberinya atau menolaknya” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Secara fitrah, Allah menghendaki terjadinya stabilitas kehidupan. Ada waktu siang yang dapat dimanfaatkan untuk berusaha memperoleh penghidupan yang telah Allah siapkan porsi rizkinya, begitu juga waktu malam yang Allah siapkan sebagai waktu yang tepat untuk istirahat dari kesibukan pada siang harinya.
Rentang usaha yang dijalankan oleh masing-masing individu tentu harus mengacu kepada aturan-aturan yang telah ditetapkan menurut panduan syariah, tidak bertentangan dengan nilai ke-Islam-an yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw.
***
Betapa umat Islam harus berbangga hati terhadap Rasul saw yang dapat dijadikan role model sebagai sosok yang produktif dan profesional dalam bekerja. Profesinya sebagai entrepreneur tidak lantas meninggalkan tugas berat kenabiannya yang harus tetap disampaikan kepada semua pihak, sekalipun terhadap pihak yang dianggap sangat menentang dakwah beliau. Kedua profesi itu dijalankannya secara profesional.
Stabilitas kehidupan yang Allah kehendaki adanya proporsi waktu yang seimbang antara tugas pengabdian sebagai hamba-Nya, dan tugas pekerjaan yang harus ditunaikan demi memenuhi kewajiban duniawi. Kaitan dengan ini disampaikan dalam sebuah ayat “dan Kami jadikan malam sebagai pakaian. Dan Kami jadikan siang untuk penghidupan” (QS An-Naba: 10-11).
Optimalisasi potensi yang ada pada setiap individu sangat diperlukan guna menunjang apa yang telah Allah persiapkan dalam bentuk rizki. Sebab ukuran rizki tidak selamanya dalam bentuk nominal rupiah yang dihasilkan, akan tetapi semua yang melekat pada diri seseorang dan dapat dinikmati dengan penuh kesadaran bahwa itu merupakan karunia dari Allah, itulah rizki.
Maka rizki itu harus diusahakan, dipaksa untuk datang menghampiri. Jangan sampai lalai dan tidak mengusahakan apapun untuk kedatangannya, maka bekerja adalah salah satu cara agar rizki itu datang dan memenuhi ruang waktu kehidupan setiap individu. Allah swt memberikan informasi menarik dalam firman-Nya “maka carilah rezeki di sisi Allah, kemudian beribadah dan bersyukurlah kepada Allah. Hanya kepada Allah kamu akan dikembalikan”(QS al-Ankabut:17).
Tiga keyword yang disampaikan pada ayat tersebut adalah: Bekerja, Ibadah, dan Bersyukur. Ketiganya memiliki korelasi yang sangat kuat, dan jika terus dioptimasi maka hasilnya akan mendatangkan rizki lain yang tidak pernah diprediksi kedatangannya (wa yarzuqhu min haitsu laa yahtasib).
Menjemput Rizki dengan Bekerja Keras
Adakalanya hukum kausalitas berlaku dalam kehidupan. Siapa yang menanam, maka dia yang akan memetik hasilnya. Siapa yang bekerja keras, maka dia jualah yang akan memperoleh hasil dari pekerjaannya. Hal ini umum terjadi, sebab salah satu isyarat ayat Al-Qur’an menyatakan demikian.
“Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyaknya supaya kamu beruntung” (QS Al-Jumu’ah: 10).
Keberuntungan yang akan didapatkan setidaknya mensyaratkan dua pekerjaan, yaitu tunaikan shalat dan bertebaran (bekerja), hal ini akan sangat sulit untuk dibantah sekalipun oleh orang yang tidak sepenuh hati beriman kepada Allah.
Menunaikan ibadah shalat adalah salah satu prasyarat agar Allah menjamin keberlangsungan rizki mengalir dengan deras. Sebab shalat merupakan salah satu cara untuk ber-taqarrub, mengajukan permohonan kepada dzat yang Maha Kaya untuk melimpahkan rizkinya.
Setelah kewajiban shalat dipenuhi, maka selanjutnya kewajiban kedua adalah bertebaran di muka bumi untuk bekerja dan berusaha agar mampu memenuhi kebutuhan fisiknya. Inilah keseimbangan hidup, sebab Islam telah menjabarkan dengan sangat jelas.
Dan harus digarisbawahi dan ditebalkan dalam paradigma ini adalah bahwa shalat merupakan salah satu indikator yang dapat menghantarkan keberhasilan seseorang. Sukses atau tidaknya seseorang maka dapat diukur oleh shalat yang dia kerjakan.
4 Prinsip Bekerja ala Rasulullah Saw
Terdapat empat prinsip bekerja yang dilakukan oleh Rasullah saw, hal ini disampaikan dalam hadits riwayat Baihaqi. Apa saja keempat prinsip tersebut?
Pertama, Bekerja dengan Cara yang Halal
Pekerjaan yang dilakukan oleh seorang muslim tentu harus dilakukan dengan cara-cara yang dibenarkan menurut aturan syariat. Seperti harus dipastikannya pekerjaan tersebut dilakukan dengan cara yang halal. Aspek halal menjadi salah satu aspek yang wajib terpenuhi, sebab Allah swt telah mengingatkan bahwa hanya komoditas halal yang wajib dikonsumsi (QS. Al-Baqarah: 168) dan itu hanya dapat dipenuhi melalui proses yang halal juga.
Karena untuk mendapatkan hasil yang baik, harus melalui proses yang baik. Namun, beberapa fenomena yang terjadi belakangan ini memperlihatkan masih banyak orang yang bekerja dan mendapatkan penghasilan melalui cara yang salah, motifnya “yang penting cuan”.
Hal ini telah diprediksi oleh Rasul saw dalam sebuah hadits: “Bakal datang kepada manusia suatu masa, di mana orang tiada peduli akan apa yang diambilnya; apakah dari yang halal ataukah dari yang haram” (HR Bukhari Muslim dari Abu Hurairah RA).
Kedua, Bekerja Demi Menjaga Diri Supaya Tidak Menjadi Beban Hidup Orang Lain
Saat Rasul Saw ditanya tentang pekerjaan terbaik, maka salah satu jawabannya adalah setiap pekerjaan dikerjakan oleh tangannya sendiri (HR. Al-Bazzar). Maka sebenarnya, ini menjadi jawaban bahwa betapa Islam sangat menganjurkan umatnya untuk meningkatkan etos kerja, tidak berpangku tangan menunggu bantuan dari orang lain.
Jangan sampai karena keterbatasan yang dimiliki justru dimanfaatkan untuk meminta belas kasihan orang lain, bahkan dijadikan modal utama untuk mendapatkan penghasilan dengan cara meminta-minta. Ini jelas salah dan tidak dibenarkan, dan justru menjatuhkan harga dirinya sebagai seorang muslim.
Pola pikir yang harus dibangun oleh setiap individu untuk terus meningkatkan kompetensi dan keterampilan agar mampu berdiri diatas kaki sendiri, dan tidak menjadi beban hidup bagi orang lain. Bukankah tangan diatas (memberi) lebih baik daripada tangan dibawah (meminta-minta)?
Ketiga, Bekerja Demi Mencukupi Kebutuhan Keluarga
Salah aspek pada maqashid syariah adalah hifdzu an-nasl (menjaga keturunan). Keturunan yang dimaksud tentu harus include dengan semua anggota keluarga yang menjadi tanggungjawabnya. Hal ini harus menjadi indikator penting dalam bekerja, sebab keluarga menjadi tanggung jawab setiap individu untuk menjaganya.
Terlebih bagi seorang kepala rumah tangga, menjaga agar kebutuhan rumah tangga selalu tercukupi harus menjadi tugas pokok yang wajib untuk ditunaikan. Maka bekerja menjadi salah satu jalan untuk mencukupi kebutuhan keluarga.
Rasul saw bersabda: “Harta yang dikeluarkan sebagai makanan untukmu dinilai sebagai sedekah untukmu. Begitu pula makanan yang engkau beri pada anakmu, itu pun dinilai sedekah. Begitu juga makanan yang engkau beri pada istrimu, itu pun bernilai sedekah untukmu. Juga makanan yang engkau beri pada pembantumu, itu juga termasuk sedekah” (HR. Ahmad).
Keempat, Bekerja untuk Meringankan Beban Hidup Tetangga
Tetangga adalah orang terdekat setelah keluarga. Oleh karena orang terdekat dalam lingkungan tempat tinggal, maka kewajiban setiap orang untuk menjaga keharmonisan dalam bertetangga.
Dalam sebuah hadits yang populer, Rasul saw bersabda: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya.” (HR Bukhari-Muslim), “Dan berbuat baiklah kepada tetanggamu, niscaya engkau menjadi seorang Muslim.” (HR Ibnu Majah).
Pekerjaan yang dilakukan tentu tidak hanya memiliki dampak bagi keluarga saja, namun harus memiliki impact luas terhadap orang yang di sekitar (tetangga). Tetangga yang baik adalah yang mampu memberikan bantuan disaat tetangganya membutuhkan bantuan, baik diminta ataupun tidak diminta. Sebab manusia terbaik menurut Rasul saw adalah manusia yang memberikan kebermanfaatan orang lain.
Keempat prinsip bekerja ini setidaknya harus menjadi modal dasar bagi setiap invidu dalam bekerja, sebab melakukan pekerjaan tidak hanya dimotivasi untuk mendapatkan rupiah saja namun jua harus memiliki dimensi sosial seperti yang dicontohkan oleh Rasul saw. Wallahu A’lamu.
Editor: Yahya FR