Siapa yang tak mengenal Antonio Gramsci, ia merupakan seorang pemikir neo-marxis dari Italia. Di lingkungan aktivis, ia sering dijadikan referensi dalam mengintrepretasikan dua konsep besar intelektualitas. Kita mengenalnya dengan intelektual tradisional dan intelektual organik.
Dua konsep besar ini memiliki kaitan erat antara masyarakat, negara, dan relasi kuasa, terutama relasi antara masyarakat dan penguasa. Ia juga dikenal sebagai penggagas konsep hegemoni budaya sebagai salah satu jalan keluar negara dalam genggaman sistem kapitalisme.
Intelektual Tradisional
Intelektual tradisional adalah mereka yang menjadi kepanjangan tangan dari penguasa dalam lembaga pemerintahan yang sedang berlangsung. Mereka memiliki tugas untuk membentuk prespektif masyarakat supaya sejalan dengan kehendak penguasa serta memanfaatkan pengetahuannya untuk mendukung penguasa. Beberapa dari mereka menjelma (misalnya) sebagai guru, dosen, pimpinan lembaga, ASN, militer di lingkungan penguasa pemerintahan yang memanfaatkan keilmuannya untuk mendukung menyebarkan propaganda pemerintahan kepada masyarakat.
Dalam buku “Penghianatan Kaum Intelektual” yang ditulis Julien Benda, banyak cerita tentang kisah para intelektual di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia. Sejak zaman pra-Socrates, kaum intelektual berkembang dengan pesat. Mereka mencari pengetahuan non-materialistis yang berorientasi dengan humanisme universal dan menjadi landasan masyarakat yang berkeadaban. Menurut Benda, semua berubah di awal abad ke-20, kaum intelektual mulai meninggalkan keterikatan mereka pada nilai-nilai yang filosofis dan ilmiah tradisional.
Intelektual tradisional ini sesungguhnya adalah akademisi yang membeo, memberikan legitimasi kepada kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak dan merugikan rakyat yang dilakukan oleh para penguasa dan oligarki yang memiliki kepentingan materil. Mereka diuntungkan dengan jabatan yang prestise, gaji yang tinggi, tunjangan, hibah proyek, dan keuntungan materil lainnya. Hanya sebagian kecil dari mereka yang tetap menjadi mitra kritis pemerintah karena telah terkooptasi dengan kekuasaan yang menjanjikan dan menyejahterakan.
Intelektual Organik
Kelompok intelektual selanjutnya adalah mereka para intelektual organik. Kelompok ini dengan penuh kesadaran dan keilmuan yang mereka miliki memilih jalan untuk melawan hegemoni pemerintahan yang menindas rakyat. Mereka memafaatkan keilmuan dan basis masanya untuk melakukan pencerahan dan mengentaskan masalah-masalah sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Mereka tidak membeo pada penguasa, tetapi mereka juga tidak anti terhadap kekuasaan negara, namun mereka secara konsisten mempertahankan idealisme dan sikap kritisnya untuk kepentingan masyrakat.
Dalam pandangan Antonio Gramsci, negara bukanlah satu-satunya aktor yang memiliki peran penting seperti yang diungkapkan dalam teori realisme. Pandangannya lebih fokus terhadap hegemoni. Hegemoni yang ia maksud merupakan ketaatan secara sadar atas kekuatan seseorang yang dilakukan tidak dengan pemaksaan atau tindak kekerasan, melainkan adanya suatu control.
Dengan prespektif ini Antonio Gramsci mengajak untuk mengubah konsep tatanan internasional. Lahir atas dasar penundukkan dan praktek persetujuan. Jika dalam suatu kelompok menghendaki sebuah kemenangan dalam persetujuan, maka kelompok itu harus melahirkan blok sejarah, yaitu sekumpulan kekuatan sosial yang memperjuangkan kepentingan bersama-sama agar diakui sebagai pandangan dunia baru yang bersifat universal.
Gramsci menganggap bahwa untuk menghegemoni suatu kelompok diperlukan basis ideologi yang materil dan mendapat dukungan dari seorang intelektual. Menurutnya, semua orang termasuk dalam kategori intelektual tetapi tidak semuanya memiliki fungsi atau peran dalam kehidupan bermasyarakat. Ia mengubah arti hegemoni dari strategi menjadi suatu konsep, sama halnya dengan konsep Marxis mengenai kekuatan, kelas, hubungan produksi, dan negara.
Dalam buku lainnya yang membincangkan tentang intelektual, datang dari seorang pemikir ahli linguistik Noam Chomsky, yang berjudul It is the Responbility of Intelectuals to Speak the Truth and Expoes the Lies. Buku ini menjelaskan dengan terang seharusnya posisi intelektual dalam berbagai keadaan dan tantangan.
Sesuai dengan judul yang ditulis Chomsky, bahwa tanggung jawab kaum intelektual adalah mengatakan hal yang benar dan mengungkap kebohongan meski dapat merugikan kepentingan nasional dan negara harusnya mengedepankan kepentingan kemanusiaan bagi rakyatnya.
***
Negara sebagai kekuatan yang besar dengan medianya, intelijennya, dan perangkat lainnya dengan sangat mudah membuat kebohongan dan mempropagandakannya. Karenanya, tugas kaum intelektual adalah mengungkap kebenaran kepada publik.
“Mengenai tanggung jawab intelektual, bagi saya tidak banyak yang bisa dikatakan selain beberapa kebenaran sederhana. Intelektual biasanya memiliki hak istimewa, hanya pengamatan tentang penggunaan istilah tersebut. Hak istimewa menghasilkan kesempatan, dan kesempatan menganugerahkan tanggung jawab. Seorang individu kemudian memiliki pilihan, ” ungkap Chomsky dalam bukunya.
Editor: Yahya FR