Al-Qur’an adalah kitab suci yang menduduki posisi sentral dalam ajaran agama Islam. Seiring cepatnya laju perkembangan zaman, maka cepat pula perkembangan ilmu-ilmu keislaman. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya orang yang menelisik bidang ilmu baru seperti ilmu Fikih, Kalam, Tasawuf, Bahasa, Filsafat, dan juga Sastra.
Semakin banyak lahirnya berbagai ilmu keislaman, semakin berkembang dan maju lah ajaran Islam. Salah satu di antaranya adalah ilmu Tafsir. Bentuk penafsiran seorang mufassir itu, didasari oleh background bidang ilmu yang dikuasainya. Kemudian, tidak sedikit ulama tafsir yang terpicu untuk membuat Tafsir Bil Isyari.
Pengertian Tafsir Bil Isyari
Tafsir isyari adalah kata majemuk yang terdiri dari dua kata. Kata “isyari” berfungsi sebagai keterangan sifat bagi kata “tafsir”. Secara etimologis, berasal dari asal kata (asyara-yusyiru-isyaratan) yang berarti memberi isyarat atau petunjuk. Kata isyarat mempunyai makna persamaan kata dengan kata “al-dalil”.
Sedangkan, tafsir isyari menurut istilah adalah mentakwilkan Al-Qur’an dengan makna yang bukan makna lahiriyahnya karena adanya isyarat samar yang diketahui oleh para penempuh jalan spiritual. Atau hanya diketahui oleh orang yang senantiasa mendekatkan diri pada Allah dan berkepribadian luhur. Atau, tafsir yang didasarkan pada isyarat-isyarat rahasia dengan caara memadukan makna yang dimaksud dengan makna yang tersurat.
Tafsir jenis ini juga disebut sebagai al-Tafsîr al-Ṣûfi. Tafsir dengan corak sufistik ini lahir dari kebiasaan para sufi yang melakukan interaksi dengan Al-Qur’an berdasarkan keyakinan mereka sebagaimana yang terdapat pada ajaran tasawuf, baik melalui pembacaan, ataupun perenungan dalam pengalaman spiritual mereka (Shihab, 2015)
Para sufi pada umumnya berpedoman pada hadis Rasulullah Saw:
لكل أية ظهر و بطن و لكل حرف حد ولكل حد مطلع
Artinya: “Setiap ayat itu mempunyai makna dhahir dan batin, dan setiap huruf itu mempunyai batasan dan setiap batasan ada tempat melihatnya.”
Hadis di atas merupakan dalil yang digunakan oleh para sufi untuk menjustifikasi tafsir mereka yang eksentrik. Menurut mereka, di balik makna zahir dalam redaksi teks Al-Qur’an, tersimpan makna yang hanya bisa diungkapkan secara batin.
Mereka menganggap penting makna tafsir Isyari. Mereka mengklaim bahwa penafsiran seperti itu bukanlah unsur asing (ghaib) melainkan sesuatu yang indera dengan Al-Qur’an. (Abidu, 2007:54).
***
Ada beberapa contoh ayat Al-Qur’an yang menggunakan corak tafsir bil Isyari, dan bahkan pernah terjadi pada zaman sahabat. Seperti contoh dalam Q.S Al-Maidah (5): 3 yang berbunyi
اَ لۡيَوۡمَ اَكۡمَلۡتُ لَـكُمۡ دِيۡنَكُمۡ وَاَ تۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِىۡ وَرَضِيۡتُ لَـكُمُ الۡاِسۡلَامَ دِيۡنًا
“Pada hari ini telah aku sempurnakan agamamu untukmu dan telah aku cukupkan ni’mat-Ku bagimu, dan telah aku ridhoi Islam sebagai agamamu”
Pada saat itu, semua sahabat Rasulullah sangat gembira menerima kabar dari ayat ini. Namun, tidak dengan Umar Ibn Khaththab. Dia malah menangis. Kemudian pada saat bersamaan, Rasulullah bertanya, “Wahai Umar, mengapa engkau menangis?”
Umar Ibn Khaththab menjawab, “Ayat itu membuatku menangis, karena kita mendapatkan agama kita telah sempurna. Namun, apabila kesempurnaan itu telah datang, maka kekurangan akan segera tiba. Umar saat itu merasakan ajal Rasulullah akan segera tiba.
Rasulullah, “Perkataanmu benar, wahai Umar. Di sini kita dapat melihat bahwa umar secara tidak sadar melakukan tafsir bil isyari karna ia tau makna zahir yang terpendam ayat tersebut.”
Pendapat Ulama Mengenai Tafsir Bi-Isyari’
Banyak ikhtilaf dikalangan ulama. Ada yang memperbolehkannya tetapi dengan syarat, dan sebagian lain ada yang menolaknya secara terang-terangan (Az-Zarqani:546).
Ulama yang Menerima Tafsir Isyari:
Pertama, Imam al-Alûsi dan al-Naisâbûri. Mereka menerima penafsiran berdasarkan isyarat, yang mana mereka dahulu hanya mencurahkan perhatiannya pada tafsir secara zahir. Namun, kemudian mereka beralih kepada tafsir isyari namun tetap dengan syarat-syarat yang jelas dan tidak melenceng.
Kedua, Imam Sahl al-Tustari. Mereka menerima tafsir isyari dan juga memfokuskan perhatiannya terhadap penafsiran dengan metode isyari. Namun kadang-kadang, ia juga memasukkan makna makna yang zhahir.
Ketiga, ‘Abdurrahman al-Sulami. Ia merupakan ulama yang bahkan bisa dibilang sangat fanatik dengan tafsir isyari, kenapa? Karena ia mencurahkan semua perhatiannya kepada tafsir tersebut dan bahkan, memalingkan perhatiannya kepada makna makna yang zahir.
Keempat, Imam Ibn al-‘Arabi. Bisa dibilang ia menerima tafsir isyari, namun ia juga menggabungkan tafsir isyari dengan tafsir nazhari falsafi.
***
Ulama yang menolak yaitu:
Pertama, Badruddin Muhammad Ibn Adbullah Az-Zarkasyi. Ia juga termasuk ulama yang tidak menerima tafsir bil isyari, bahkan beliau pernah mengatakan bahwa, “Kalaupun perkataan orang sufi yang menafsirkan Al-Qur’an itu bukanlah tafsir, melainkan hanya suatu makna penemuan yang belum pasti benar yang mereka peroleh ketika membaca”
Kedua, Imam Abû Su’ud, al-Baidhawi, dan al-Nasafi an-Nasafi. Mereka ini ulama yang sudah puas dan mencukupkan dirinya kepada tafsir zahir dan mereka tidak ada sedikitpun untuk mempelajari atau beralih kepada tafsir bil isyari.
Ketiga, “As-Suyuti” menolak karena menurutnya, “Al-Qur’an itu mengandung semua ilmu, baik yang lahir maupun batin. Kemukjizatan Al-Qur’an itu tidak akan pernah habis oleh apa pun. Dan puncak tujuannya itu tidak terjangkau oleh siapapun. Barangsiapa yang menyelami dengan penuh kelembutan, maka ia akan selamat. Namun, jika ia menyelami dengan cara pemikiran yang liar, maka ia akan pasti terjerumus”.
Kesimpulan
Tafsir bil isyari merupakan jenis tafsir dengan memberikan makna-makna ayat Al-Qur’an yang masih terlalu kental dengan takwil dan aspek-aspek isyarat yang terkandung dalam teks ayat Al-Qur’an. Namun, terlepas dari banyaknya ikhtilaf dari kalangan ulama, seperti ulama yang membolehkan dengan syarat, ada yang menolaknya secara mentah-mentah.
Bahkan ada ulama yang terlalu fanatik terhadap tafsir bil isyari. Yang jelas tafsir bil isyari ini merupakan bentuk hasil dari buah pemikiran para ulama dalam memperkaya dan memperbanyak opsi literatur tafsir yang sekaligus juga memperluas pemahaman tentang makna Al-Qur’an.
‘Ala kulli hal, tafsir bil isyari telah memberikan corak warna yang khas dalam perkembangan tafsir dari masa ke masa. Sebagaimana aliran tafsir lainnya yang berpaling untuk dikembangkan, tafsir isyari pun berkemungkinan bagi upaya pengembangannya untuk masa kini dan masa-masa selanjutnya.
Berbeda dengan tafsir bi al-ma’sur dan tafsir bi ar-ra’yi yang kebenaran (termasuk pengembangannya) relatif mudah untuk diukur. Berbeda dengan tafsir bil isyari yang kriteria kebenarannya cenderung lebih sulit.
Ini dikarenakan tafsir bil isyari lebih mengandalkan hati dan intuisi yang bisa dikatakan cukup sulit dibedakan dari berbagai macam kemungkinan terkontaminasinya dengan hawa nafsu yang menyesatkan.
Wallahu’alam