Perspektif

Apakah Ajaran Stoikisme Bertentangan dengan Islam?

2 Mins read

Kalangan milenial saat ini seringkali overthinking atas apa yang sedang menimpanya. Mulai dari nasib masa depan yang kian menantang sampai persoalan asmara yang tak kunjung datang. Begitu beratnya tuntutan hidup di era sekarang membuat banyak anak muda yang depresi bahkan seringkali sampai bunuh diri.

Apa yang terjadi pada mereka sebenarnya bisa diatasi lewat kekuatan dirinya sendiri atau faktor internal. Ada salah satu ajaran dalam filsafat yang berfokus pada pengendalian diri, yang sering disebut dengan Stoikisme. Stoikisme merupakan cabang filsafat yang lahir jauh sebelum masehi, yaitu pada tahun 301 SM yang diciptakan pertama kali oleh Zeno sebagai guru dan menurun ke murid-muridnya; Epictetus, Seneca dan Marcus Aurelius.

Mengenal Ajaran Stoikisme

Banyak hal yang dibahas dalam stoikisme, seperti logika, retorika, dialektika, politik, fisika dan teologi. Namun banyak orang yang lebih cenderung mengambil ajaran etika dan olah kontrol diri manusia.

Stoikisme mengajarkan bahwa perlunya untuk memilah dengan akal sehat mana yang sekiranya pantas masuk dalam pikiran kita atau sebaliknya. Seperti yang dikatakan oleh Marcus Aurelius:

“Kamu memiliki kekuatan atas pikiranmu sendiri, bukan sesuatu hal yang ada di luar”

Kekuatan terbesar manusia memang terletak di akal pikiran mereka, tapi jika digunakan secara berlebihan maka yang akan timbul adalah ekpetasi yang salah sehingga justru membuat hancur diri sendiri. Dalam stoikisme, diajarkan untuk mengendalikan hal yang hanya ada di dalam diri (faktor internal) saja, bukan hal di luar  diri (faktor eksternal). Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan Epictetus berikut ini:

“Manusia terganggu bukan oleh sesuatu apapun, melainkan karena pandangan yang dia ambil”

Dengan demikian ekspetasi seorang atas dirinya tidak perlu melangit, dia harus sadar akan kemampuan yang ada dalam diri dan berfokus berkembang daripada melihat posisi orang lain yang jauh berada di atas. Posisi atas yang dicapai oleh orang lain tidak bisa kita kendalikan, karena itu hak mereka dan kita tidak bisa merampasnya begitu saja. Sedangkan kondisi yang terjadi pada diri kita itu adalah satu-satunya hal yang bisa kita kendalikan sesuka hati. Oleh karena itu, fokuslah pada diri sendiri untuk berkembang, dan juga atur pikiran kita agar selalu memandang positif.

Baca Juga  Yusuf Al-Qaradawi: Ijtihad Harus Memberikan Solusi untuk Masalah Umat

Nuansa Stoik dalam Islam

Jika melihat kelahirannya, stoikisme jelas lebih dulu ada jauh sebelum Islam ada. Namun sejatinya ajaran stoik ini juga beririsan dengan ajaran Islam. Anjuran untuk selalu mengendalikan pikiran agar stay positif itu sama saja dengan hadis qudsi yang berbunyi:

أَناَ عِندَ ظَنِّ عَبْدِي بِي

Artinya: “Aku (Allah) sesuai dengan prasanka hamba-Ku”.

Dengan melihat hadis qudsi ini bisa diambil kesimpulan bahwa treatment Tuhan kepada kita itu tergantung pikiran kita akan-Nya. Oleh karenanya sangat jelas terlihat pentingnya selalu berfikir positif, bedanya jika di dalam Islam selain berfikir positif dalam hal apapun juga selalu berfikir positif tentang Tuhan. Meskipun hadis qudsi ini kontennya berbicara tentang Tuhan namun bisa juga dimaksudkan secara umum.

ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ

Artinya: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram” (Q.S. al-Ra’d: 28).

Salah satu solusi yang ditawarkan oleh al-Qur’an untuk menenangkan diri adalah dengan berzikir mengingat Allah. Ketika seorang hamba dilanda overthinking yang sangat mendalam maka berzikirlah mengingat Tuhan, maka ketenangan akan segera menyelimutinya. Efek tenang ini bukanlah isapan jempol belaka, hal itu benar-benar terjadi asalkan penzikir itu harus menghadirkan hatinya, bukan zikir yang lalai (ghafl).

Perbedaannya cukup jelas, selain sumber ajarannya; stoikisme berasal dari tokoh-tokoh filsufnya seperti Zeno, Epictetus, Seneca dan Marcus Aurelius. Sedangkan Islam berasal dari al-Qur’an dan hadis. Jika stoikisme selama ini hanya terpaku menggunakan kekuatan yang ada dalam diri manusia, yaitu akal. Sedangkan Islam melengkapinnya lagi dengan menghadirkan Tuhan atau menyandingkan dimensi teologis di dalam ajaran-ajaran tersebut.

Baca Juga  Statemen Penghapusan 300 Ayat Al-Qur’an: Evaluasi untuk Umat Islam

Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh Islam tentu lebih kuat jika dibandingkan dengan stoikisme. Sebab, di dalam Islam sendiri menggunakan dua aspek; akal dan Tuhan. Namun yang menjadi poin penting di sini adalah bukan siapa yang lebih kuat atau lebih ampuh dalam meredam kegalauan, melainkan ini semua menunjukkan bahwa stoikisme tidak bertentangan dengan Islam. Keduanya bisa berjalan beriringan serta saling melengkapi.

Editor: Soleh

Avatar
3 posts

About author
Muhamad Firdaus tinggal di Jl. WIjaya Kusuma RT.04 RW.02 Kabunan Dukuhwaru Kab. Tegal. Sekarang ia menempuh pendidikan s2 di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan konsentrasi Tafsir.
Articles
Related posts
Perspektif

Fenomena Over Branding Institusi Pendidikan, Muhammadiyah Perlu Hati-hati!

4 Mins read
Seiring dengan perkembangan zaman, institusi pendidikan di Indonesia terus bertransformasi. Arus globalisasi tentu memainkan peran penting dalam menentukan kebutuhan pendidikan di era…
Perspektif

Hakim, Undang-Undang, dan Hukum Progresif

3 Mins read
Putusan hakim idealnya mengandung aspek kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam implementasinya tidak mudah untuk mensinergikan ketiga aspek tersebut, terutama antara aspek kepastian…
Perspektif

11 Kategori Pengkritik Jurnal Terindeks Scopus, Kamu yang Mana?

2 Mins read
Dalam amatan penulis, ada beberapa kategori pengkritik jurnal terindeks scopus. Dalam tulisan ini, setidaknya ada 11 kategori yang saya temui. Berikut ulasan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *