Sebagaimana menangis, tawa juga merupakan fitrah bagi manusia. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Najm [53]: 43 mengenai kehendak-Nya menjadikan seseorang tertawa – dan menangis. Dalam ayat tersebut, digunakan fi’l dengan wazn af’ala. Sesuai dengan salah satu fungsinya, yaitu li wujud ma isytuqqa minhu al-fi’l fi al-fa’il atau mewujudkan hasil dari pelaku.
Jika tawa manusia adalah fitrah, lalu bagaimana dengan Allah? Bagaimana jika Allah sebagai fa’il yang disandingkan dengan fi’l dhahika? Apakah itu artinya Allah tertawa sebagaimana manusia yang akan melibatkan beberapa komponen, seperti otak depan, sistem limbik, otot-otot wajah, dan saraf pelepas endorfin? Akan tetapi, hal tersebut tentu akan bertentangan dengan salah satu sifat-Nya, mukhalafat li al-hawadits.
Maka, untuk memahami kalimat dhahika allah, diperlukan takwil. Hal tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani ketika menjelaskan hadis dhahika allah dalam kitab syarh Shahih Bukhari-nya yang berjudul Fath al-Bari.
Apa itu Takwil?
Secara etimologi, takwil diartikan ke dalam beberapa kata, yaitu al-ruju’, al-sharf, dan al-siyasah. Al-ruju’ berarti mengembalikan makna pada bagian yang sesungguhnya. Sedangkan al-sharf berarti memalingkan makna lahir suatu lafaz yang memiliki sifat khusus ke makna batinnya karena terdapat keserasian dengan makna yang dituju. Sementara itu, al-siyasah berarti siasat yang diperlukan untuk menemukan maksud lafaz atau kalimat tertentu yang memiliki sifat khusus dengan tepat.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa takwil adalah pengalihan lafaz atau kalimat dari makna lahir ke makna lainnya, sehingga pengertian yang diperoleh sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa takwil hanya dapat dilakukan oleh para ulama ahli tafsir atas petunjuk dari Allah. Tentunya, hal tersebut dilakukan agar terhindar dari takwil yang fasid.
Allah Tertawa, Allah Ridha
Salah satu lafaz yang memerlukan takwil adalah lafaz dhahika yang disandingkan dengan lafaz allah sebagai fa’il-nya.
Kalimat dhahika allah terdapat dalam dua hadis sahih. Seluruhnya dapat ditemukan dalam kitab Shahih Bukhari. Hadis pertama, yakni hadis nomor 2826 menggunakan fi’l mudhari’, sedangkan pada hadis kedua, yakni hadis nomor 3798 digunakan bentuk fi’l madhi dalam penyebutannya.
Sebagai berikut terjemahan hadisnya:
Bahwasannya Rasulullah saw. bersabda: Allah tertawa karena perihal dua orang, yang satu membunuh yang kedua, tapi kedua-duanya masuk surga. Yang pertama berperang di jalan Allah hingga gugur. Selanjutnya Allah menerima tobat pembunuh hingga ia masuk Islam kemudian mati syahid. (HR. Bukhari No. 2826)
Melalui hadis tersebut, dapat diketahui penyebab Allah SWT tertawa adalah seorang laki-laki yang membunuh laki-laki lain, tetapi keduanya, baik pembunuh dan yang dibunuh, sama-sama masuk surga.
Dalam menjelaskan hadis ini, Ibnu Hajar al-Asqalani merujuk pada beberapa pendapat ulama. Salah satunya adalah al-Khaththabi. Ia mengatakan bahwa maksud Allah tertawa tidak dapat disamakan dengan manusia yang tertawa. Tawa Allah hendaknya dimaknai dengan keridhaan-Nya. Dia meridhai dan menerima perbuatan kedua laki-laki tersebut serta membalasnya dengan surga, meskipun keadaan keduanya berbeda.
Dikutip pula pendapat Bukhari yang mengatakan bahwa al-dhahku dapat dimaknai dengan al-rahmah dan al-ridha. Menurutnya, di antara dua kata tersebut, al-ridha lebih dekat maknanya dengan al-dhahku.
***
Sementara itu, mengenai hadis kedua, yakni hadis nomor 3798, merupakan sabab al-nuzul dari QS. al-Hasyr [59]: 9. Sebagai berikut terjemahan hadisnya:
Telah bercerita kepada kami [Musaddad] telah bercerita kepada kami [‘Abdullah bin Daud] dari [Fudhail bin Ghazwan] dari [Abu Hazim] dari [Abu Hurairah ra.] bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. lalu beliau datangi istri-istri beliau. Para istri beliau berkata; “Kami tidak punya apa-apa selain air”. Maka kemudian Rasulullah saw. berkata kepada orang banyak: “Siapakah yang mau mengajak atau menjamu orang ini?”. Maka seorang laki-laki dari Anshar berkata; “Aku”. Sahabat Anshar itu pulang bersama laki-laki tadi menemui istrinya lalu berkata; “Muliakanlah tamu Rasulullah saw. ini”. Istrinya berkata; “Kita tidak memiliki apa-apa kecuali sepotong roti untuk anakku”. Sahabat Anshar itu berkata; Suguhkanlah makanan kamu itu lalu matikanlah lampu dan tidurkanlah anakmu”. Ketika mereka hendak menikmati makan malam, maka istrinya menyuguhkan makanan itu lalu mematikan lampu dan menidurkan anaknya kemudian dia berdiri seakan hendak memperbaiki lampunya, lalu dimatikannya kembali. Suami-istri hanya menggerak-gerakkan mulutnya (seperti mengunyah sesuatu) seolah keduanya ikut menikmati hidangan. Kemudian keduanya tidur dalam keadaan lapar karena tidak makan malam. Ketika pagi harinya, pasangan suami istri itu menemui Rasulullah saw. Maka beliau berkata: “Malam ini Allah tertawa atau terkagum-kagum karena perbuatan kalian berdua”. Maka kemudian Allah menurunkan firman-Nya dalam QS al-Hasyr ayat 9 yang artinya: (“Dan mereka lebih mengutamakan orang lain (Muhajirin) dari pada diri mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”). (Hadis Bukhari No. 3587).
***
Ayat kesembilan dari surah al-Hasyr berisi tentang pujian Allah Swt. terhadap kaum Anshar. Kala itu sedang terjadi peristiwa hijrah Nabi Muhammad saw. bersama para pengikutnya dari Makkah ke Madinah. Kaum Anshar sebagai penduduk Madinah menyambut dengan hangat kedatangan para kaum Muhajirin. Bahkan, sebagaimana disebutkan dalam hadis bahwa kesulitan yang menimpa diri mereka tidak menghalangi untuk berbagi makanan demi menjamu kaum Muhajirin yang membutuhkan.
Oleh sebab itu, Allah tertawa karena perbuatan mereka, sehingga Ia mewahyukan firman-Nya, “…wa yu`tsirun ‘ala anfusihim walau kana bihim khashashah…” Dalam hadis tersebut, kata dhahika yang bersanding dengan ‘ajaba, dimaknai dengan al-ridha bi shani’ihima (ridha terhadap perbuatan keduanya).Serupa dengan takwil dhahika pada hadis sebelumnya.
Allah, Mukhalafat li al-Hawadits
Takwil terhadap kata dhahika menghasilkan pemahaman bahwa Allah SWT, sesuai dengan sifat-Nya yang wajib diimani, berbeda dengan makhluk-Nya. Tentu saja Allah SWT memiliki zat, sifat, dan perbuatan yang berbeda dengan makhluk-Nya.
Wujud Allah SWT berbeda dengan manusia, jin, malaikat, dan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Termasuk ketika disebut dalam Al-Qur’an yad allah. Maka kalimatnya tidak dapat dimaknai dengan tangan Allah SWT, melainkan kekuasaan Allah SWT. Sebab Allah SWT tidak memiliki organ tubuh seperti makhluk-Nya.
Melalui sifat mukhalafat li al-hawadits, dapat diambil faedah untuk tidak membenarkan ataupun mengafirmasi pikiran dan pendapat mengenai zat Allah SWT Tidak ada satu pun yang mengetahui hakikat Allah SWT, melainkan diri-Nya sendiri.
Editor Soleh
MasyaAllah sangat bermanfaat kak