Gempa yang menghancurkan bumi Cianjur jadi duka kemanusiaan. Kejadian ini sontak menjadi perhatian seluruh bumi pertiwi. Belasungkawa dan bantuan tak hanya datang dari Pulau Jawa. Hampir setiap provinsi memberikan dukungan dan bantuan untuk meringankan beban korban. Situasi yang geologis ternyata mendorong kuatnya rasa kemanusiaan. Sebuah fenomena sosial yang luar biasa untuk solidaritas dan empati.
Gempa bumi menyisakan tangisan. Namun, ia mendorong empati sosial. Merasakan apa yang dirasakan korban yang masih hidup, mendorong manusia untuk menumpahkan kasih sayang antara sesama. Bahkan tanpa sekat keyakinan dan agama, mereka menolong umat manusia yang sedang kesulitan. Di balik tangisan, terdapat secercah harapan dari empati sosial sesamanya. Musibah mendorong sesama untuk empati.
Ada apa dengan Gempa?
Ilmuwan terus melakukan penelitian hingga saat ini terkait dengan fenomena gempa. Dengan ilmu yang dijadikan rujukannya, setiap pergeseran dan guncangan pada kerak bumi tak terhenti dari perhatiannya.
Piranti seismograf atau mungkin dengan alat yang lebih canggih, upaya deteksi gempa terus dilakukan. Begitupun yang dilakukan oleh BMKG dan badan penelitian lainnya. Fenomena ini dalam kacamata sains menjadi pendorong untuk memahami kekuasaan Tuhan dalam hukum alam yang diciptakannya.
Bumi punya pergerakan geologis dalam tanah dan itu sudah menjadi fenomena alamiah sejak bumi diciptakan. Ketika seseorang berada di atasnya atau di daerah gempa, sejatinya ia tidak bisa menawar diri untuk dilahirkan di sana. Ia tidak menawar diri untuk hidup di atas daerah yang rawan gempa. Seperti halnya, ia tidak bisa menawar pada orang tua yang mana yang akan melahirkannya.
Namun, berkat perkembangan ilmu, prediksi gempa bisa dideteksi meskipun tidak semuanya. Prediksi yang dapat mendorong perhatian orang untuk beradaptasi ketika terjadi gempa bumi. Seismologi memberikan penjelasan dan prediksi terhadap gempa pada daerah tertentu, dan mendorong manusia untuk bisa menyelamatkannya, meskipun tidak seluruhnya.
Informasi keagamaan pun turut memberikan penjelasan. Melalui kisah umat terdahulu, gempa bumi pernah terjadi pada zaman beberapa nabi. Yang paling terkenal terjadi ketika zaman Nabi Luth. Penafsiran tentang gempa ada yang dikaitkan dengan azab, teguran, bahkan ujian.
Penafsiran terhadap informasi keagamaan cukup memberikan informasi sisi lain dari fenomena alamiah ini. Di balik fenomena gempa, terdapat sesuatu yang dapat diperhatikan. Gempa bukan sekedar fenomena alam, di baliknya terdapat sebab yang mendatangkan gempa. Ini pun dari salah satu sudut pandang penafsiran.
Namun ketika gempa berdampak pada orang yang taat apakah ini layak disebut azab? Tak hanya itu, hampir setiap orang terdampak gempa. Korban kemanusiaan cukup banyak. Sepertinya, narasi keagamaan yang empatik adalah musibah. Sebab, ia berdampak pada setiap orang. Musibah mengenai setiap orang yang ada dalam pusaran pusat gempa.
Hanya Allah Yang Maha Tahu
Narasi yang mengarah pada azab sepertinya kurang mengena jika hampir setiap orang terkena dampaknya. Itu pun sah pada pendapatnya tentang azab berdasarkan apa yang dipahami pada teks keagamaan yang menjadi pegangannya. Namun, sepertinya ada sesuatu yang harus dipikirkan dengan matang supaya tidak meraba-raba apa maksud utama di balik gempa bumi ini menurut Allah, bukan sekedar menjustifikasi gempa menjadi azab bagi daerah tertentu.
Pertama, sebagai seseorang yang beriman, pasti sudah meyakini bahwa terdapat ketentuan yang telah ditetapkan oleh-Nya (qada dan qadar), sekaligus menjadi salah satu rukun keimanan. Apa yang akan terjadi, sejatinya manusia tidak tahu. Yang Maha Tahu hanya Allah Swt. Mengimani bahwa ketetapan Allah Swt itu terjadi menjadi ciri bahwa manusia tidak mengetahui apa yang akan terjadi. Dalam hal ini, gempa adalah ketetapan-Nya. Menerima akan takdir yang terjadi adalah simbol dari keimanan akan ketetapan-Nya. Gempa menjadi uji keimanan pada ketetapan-Nya.
Kedua, setiap manusia akan tertimpa sesuatu. Dia pun tidak tahu kapan dan di mana akan menimpanya. Apa yang dinyatakan oleh ilmuan hanya prediksi ilmu merujuk pada keajegan teori yang dijadikan landasan. Prediksi itu terkadang tepat pada kejadian yang diprediksikan atau terkadang tidak tepat. Apa yang menimpa sering dikaitkan dengan musibah dengan makna pada kejadian yang tidak disenangi atau dikehendaki manusia. Musibah apapun berada dalam ruang kejadian yang tidak diinginkan. Kejadiannya berada di luar jangkauan manusia. Yang terdampaknya tidak menyekat status orang dan dimensi ketundukan pada-Nya.
***
Ketiga, Al-Qur’an mengungkapkan pasti munculnya ujian berupa ketakutan, kelaparan, dan kekurangan pada hilangnya nyawa, harta, dan hasil bumi. Salah satunya disebutkan dalam QS. Al-Baqarah 155-156: Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah (wahai Nabi Muhammad) kabar gembira kepada orang-orang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn” (sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami akan kembali) (Kemenag, 2019).
Gempa bumi, sebuah, contoh yang kejadiannya berdampak pada psikologis ketakutan atau trauma, terkadang menimbulkan kelaparan ketika bantuan belum datang, hilangnya nyawa, robohnya rumah, lenyapnya harta, dan rusaknya tatanan pertanian. Kejadian gempa memberikan dampak yang luar biasa baik pada psikis, fisik, kealaman, dan nyawa.
Kedua ayat di atas menjadi substansi bahwa gempa bumi atau kejadian yang merusak lainnya menjadi musibah bagi orang yang diuji. Sikap yang diuji adalah kesabaran dan sikap mental yang kuat untuk bangkit kembali dalam pemulihan kondisi yang telah terjadi. Kekuatan sabar menjadi pesan kuat agar ketika terjadi musibah, ketahanan mental dan spirit untuk bangkit menjadi fondasi kuat untuk menghilangkan traumatik akan dampak musibah.
Orang yang sabar disebutkan oleh Al-Qur’an adalah yang mengucapkan dan menyadari bahwa semuanya adalah milik Allah Swt dan akan kembali kepada-Nya. Bila ucapan dan keyakinan ini menjadi pegangan, berarti yang Maha Tahu tentang terjadinya musibah bukan dirinya, melainkan Yang Maha Menciptakan.
Kalimat sesungguhnya kami ini milik Allah dan kami akan kembali kepada-Nya, menunjukkan kepasrahan diri terhadap seluruh ketetapan-Nya. Manusia tidak mengetahui kapan ketetapan-Nya akan terjadi dalam lingkup kemanusiaan. Berarti, yang berhak menjustifikasi sebab terjadinya hanya Allah Swt. Wallahu A’lam.
Editor: Yahya