Muhammadiyah mengklaim dirinya sebagai organisasi Islam modernis terbesar di Indonesia. Benarkah Muhammadiyah memiliki kualifikasi sehingga disebut modernis?
Herman L. Beck (2018) yang penasaran mengenai mengapa Muhammadiyah disebut gerakan keagamaan modernis, menjawab bahwa, watak adaptabilitas dan keberanian menghadapi masalah-masalah baru adalah yang menjadikan Muhammadiyah modernis.
Memang secara historis, KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dianggap sebagai pendobrak tradisi. Ia menginisasi modernisasi pendidikan Islam. Sekolah agama, baginya, harus dilengkapi dengan matapelajaran umum. Di samping itu, model sekolah kolonial yang bercelana necis dengan kemeja berdasi, diadopsi sebagai gaya dalam memperkenalkan Kweekschool het de Koran (sekolah berbasis al-Qur’an).
Dalam bidang tafsir al-Qur’an, KH Dahlan juga dikenal sebagai pembaharu. Ia menekankan pentingnya pemikiran reformistik dan emansipatoris dalam memahami kitab suci. Ketika menafsirkan surat al-Ma’un, ia menegaskan bahwa seorang Muslim yang baik, harus mampu memberikan kemanfaatan yang besar bagi masyarakat.
Melalui doktrin kemanfaatan ini, ia hendak menolong kaum papa dan marginal melalui pembangunan berbagai klinik pengobatan, panti asuhan dan lembaga amil zakat. Gerakan yang ia upayakan, bertujuan semata-mata untuk menolong kesengsaraan umum. Bahkan, gerakan sosial emansipatoris yang dilakukannya melalui lembaga-lembaga tersebut, bernama “Penolong Kesengsaraan Oemoem” (disingkat PKO).
Gerakan PKO ini berjalan di bawah kepemimpinan Dahlan sejak 1912-1923.
Pada tahun 1923-1934, Muhammadiyah dipimpin oleh KH Ibrahim. Sementara itu, 1934-1937, dipimpin oleh KH Hisyam. Di tangan dua kiai kharismatik ini, Muhammadiyah secara konsisten mengembangkan gerakan PKO yang teguh dalam memperjuangkan pemerdekaan sosial di tengah-tengah situasi kolonialisme Belanda.
Gaya perjuangan Muhammadiyah berubah pada periode 1937-1942, di bawah tampuk kepemimpinan KH Mas Mansur. Baginya, gerakan PKO memang penting. Tetapi yang lebih penting adalah memurnikan akidah umat yang belakangan sudah tercemar dengan berbagai paham yang dianggap keliru.
Pada periode KH Mas Mansur pula, Muhammadiyah mendirikan Majelis Tarjih yang berfungsi sebagai lembaga perumusan hukum fikih dan ijtihad. Melalui majelis ini, Muhammadiyah menerbitkan berbagai produk fikih yang dianggap lebih murni dan bercorak skripturalistik. Dalam perkara ibadah mahdhah (ibadah pokok), misalnya, Muhammadiyah tidak lagi mengikuti mazhab Syafi’i, tetapi mengelaborasi empat mazhab fikih Sunni yang ada, sepanjang dianggap tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits.
Periode pasca KH Mas Mansur, 1942-1953, gerakan skripturalistik ini dipimpin oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo. Muhammadiyah mengarungi situasi awal mula kemerdekaan Indonesia. Ki Bagoes menjadi bagian penting dalam proses perumusan dasar-dasar negara (philosophische grondslag).
Kendati pemikiran keagamaan Muhammadiyah skripturalistik dan cenderung konservatif, dalam dunia politik dan kenegaraan, Muhammadiyah cenderung moderat, substansialis dan mengedepankan pentingnya kebhinekaan. Bersama-sama Soekarno, Moh. Hatta, Kasman Singodimejo, KH Wachid Hasjim, dan para tokoh lainnya, Ki Bagoes berhasil memberikan sumbangsih yang besar bagi bangsa Indonesia melalui terumuskannya kelima sila Pancasila.
Masih di dalam situasi kemerdekaan, pada 1953-1959, Muhammadiyah dipimpin oleh Buya AR Sutan Mansur. Setelah itu, 1959-1962, oleh KH M Yunus Anis. Kedua pemimpin ini, memiliki karakter patriotisme kebangsaan yang kuat. Muhammadiyah, dalam konteks ini, berwajah nasionalis-Islam yang totok. Hal ini tampak jelas dari perlawanannya terhadap ideologi dan gerakan komunisme yang saat itu sedang naik daun.
Pada periode kepemimpinan KH Ahmad Badawi (1962-1968) dan KH Faqih Usman (1968), Muhammadiyah menghadapi transisi kepemimpinan nasional, dari Orde Lama menuju Orde Baru. Sebagaimana halnya yang telah disinggung sebelumnya, watak adaptibilitas Muhammadiyah, membuatnya cepat menyesuaikan diri dengan orientasi politik Presiden Soeharto.
Pada 1968-1990, di bawah tangan brilian nan bijaksana KH AR Fachruddin, Muhammadiyah semakin dekat dengan Pak Harto. Pak Harto sendiri menyebut dirinya “kader” Muhammadiyah. Tidak keliru jika sebagian kalangan menyebut bahwa, Muhammadiyah memiliki hubungan khusus dengan kekuasaan. Karenanya, banyak warga Muhammadiyah menempati berbagai posisi penting dalam birokrasi kenegaraan.
KH Azhar Basyir yang memimpin di tahun 1990-1995 dianggap menikmati panen atas apa yang selama ini diperjuangkan oleh KH AR Fachruddin. Muhammadiyah, seperti halnya yang disampaikan oleh Abdul Munir Mulkhan, mengalami modernitas: masa pencerahan di mana nilai-nilai kebajikan utama dipraktikkan secara leluasa tanpa halangan yang berarti. Kemerdekaan berpikir, berpendapat, dan bereskpresi mendapat tempat terbaiknya.
Ketika kekuasaan Pak Harto semakin mengeras, sementara korupsi, kolusi dan nepotisme di lingkaran orang-orang terdekatnya semakin membabi-buta, gelombang protes dari rakyat muncul ke permukaan. Di saat yang sama, krisis moneter global menunjukkan gejala-gejalanya.
Kehidupan rakyat di bawah tekanan politik yang kuat dan kesejahteraan yang semakin sukar dijangkau, membuat gelombang protes rakyat semakin membesar. Saat itu, tuntutan akan perubahan sosial, merebak di mana-mana. Muhammadiyah yang dipimpin oleh Amien Rais (1995-1998) tentu mengutamakan kepentingan rakyat tersebut.
Pada periode ini, Amien Rais memimpin gerakan sosial dan politik yang “revolusioner” dengan tujuan utama, menggulingkan rezim otoriter Soeharto. Dalam konteks ini, ia dihitung sebagai salah seorang motor penggerak lahirnya Reformasi 1998. Sejak saat itu, zaman berubah menjadi semakin demokratis.
Di era transisi yang begitu berat, Ahmad Syafi’i Ma’arif memimpin Muhammadiyah (1998-2005). Ia berpikir, pendidikan dan dengan demikian, kesadaran kritis umat, adalah modal yang paling penting dalam membangun kembali demokrasi bangsa, keadilan, dan kesejahteraan.
Dalam situasi yang demikian, Islam baginya harus menjadi inspirasi pembangunan peradaban bangsa dan kemanusiaan. Karena itu, kesadaran kritis harus ditempa dan intelektualisme mesti diasah. Pemikiran Islam, pendek kata, harus bergandeng-tangan dengan jiwa keindonesiaan dan kemanusiaan.
Di era pasca reformasi ini, di mana iklim politik semakin terbuka, semangat intelektualisme Islam yang digelorakan Muhammadiyah harus berhadapan dengan tumbuhnya spirit konservatisme Islam yang bersifat transnasional (ada di berbagai belahan dunia). Di hadapan kedua “kubu Islam” yang bertarung, Din Syamsuddin sebagai pemimpin baru (2005-2015) berperan sebagai penengah.
Kampanye mengenai moderatisme Islam (washathiyyah), menjadi tema pokok yang digarapnya. Kaum Muslim, menurut hematnya, harus bersatu dan maju bersama-sama. Di samping itu, kaum Muslim diharapkan secara aktif terlibat di dalam proses pembangunan bangsa dan negara. Dalam rangka mewujudkan hal ini, Muhammadiyah merumuskan konsep “Islam Berkemajuan”. Islam yang demikian, diorientasikan dalam rangka membangun peradaban Indonesia yang berkemajuan.
Saat ini, sejak 2015, Muhammadiyah dipimpin oleh Haedar Nashir. Tantangan yang dihadapi gerakan sosial keagamaan ini semakin kompleks. Di antara kompleksitas yang ada, yang menjadi perhatian Muhammadiyah antara lain adalah lahirnya generasi milenial, datangnya era pasca kebenaran (post truth), merebaknya ekstremisme keagamaan yang disertai kekerasan, terorisme, perang dagang global, dan lain sebagainya.
Menurut Mitsuo Nakamura, ketika Muhammadiyah semakin maju dan besar, maka masalah utama yang harus dihadapinya adalah dirinya sendiri (masalah organisasi). Hal ini memang benar. Tetapi masalah eksternal yang ada, tentu tidak dapat diabaikan begitu saja.
Ketika Muhammadiyah ditantang oleh kelompok Islamis ekstrem, misalnya, yang mencoba mengancam disintegrasi bangsa melalui doktrin Islamisasi negara, maka persoalan ini berupaya diselesaikan dengan cara yang baik dan bijaksana. Kelompok Islamis secara terang-terangan menyebut Indonesia adalah negara kafir (dar al-kufr), karena itu patut diperangi (dar al-harb). Dengan memeranginya, tujuannya adalah menjadikannya negara Islam (dar al-Islam).
Muhammadiyah mengajukan wacana tandingan yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara Pancasila. Negara Pancasila adalah negara kesepakatan (dar al-ahd) yang mengakomodir semua agama, suku bangsa, ras, etnis dan kebudayaan Nusantara. Di samping itu, Indonesia adalah negara persaksian (dar al-syahadah), tempat perjuangan (dan persaksian) kaum Muslim dalam membangun peradaban bangsa.
Menurut perspektif kewarganegaraan, melalui doktrin dar al-ahd wa al-syahadah ini, Muhammadiyah bukanlah sekedar bagian dari Indonesia. Jadi, Muhammadiyah adalah Indonesia itu sendiri.
Pada bulan November 2019, tepat pada tanggal 18, Muhammadiyah berusia 108 tahun. Pada tahun 2020 ini, Muhammadiyah akan menggelar Muktamar yang ke-48 di Solo (meskipun ditunda karena menghadapi wabah pandemik Covid-19). Di usianya yang tidak muda ini, tampaknya Muhammadiyah masih layak disebut sebagai gerakan modernis. Muhammadiyah masih pandai beradaptasi dan bersemangat menantang zaman.
Namun, apakah Muhammadiyah di masa mendatang akan tetap layak menyandang predikat modernis? Jawabannya tentu bergantung kepada para aktivis Muhammadiyah. Apakah mereka tetap progresif, atau malah sebaliknya?
Editor: Arif