Bangkai hewan ialah hewan yang mati tanpa disembelih, baik ia mati sendiri atau ia mati karena hewan lain atau perbuatan manusia yang bukan penyembelihan. Para fuqaha berpendapat bahwa bangkai hewan, kecuali bangkai hewan laut dan bangkai belalang, itu najis, berdasarkan firman Allah:
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيم
“Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. al-An’am (6): 145].
Di dalam ayat ini Allah menyatakan bahwa bangkai, darah yang mengalir, daging babi, dan binatang yang disembelih atas nama selain Allah itu adalah rijsun (kotor). Ini menunjukkan bahwa hal-hal yang disebut itu adalah najis.
Namun, dalam masalah bangkai hewan, najisnya bukan najis ‘aini yaitu najis pada zatnya, seperti babi, tetapi bangkai itu najis karena ada darah yang mengalir atau anggota tubuh yang basah. Sebagai bukti terhadap hewan yang bukan najis ‘aini, kita dibenarkan memanfaatkan kulit bangkai hewan dengan menyamaknya, sebagaimana dalam hadis berikut:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ [رواه مسلم]
Dari Abdullah bin Abbas [diriwayatkan] ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Jika kulit itu disamak maka ia suci [H.R. Muslim].
Dengan demikian, jika ada bangkai kucing umpamanya, jika ia kering dan tidak meninggalkan bekas di lantai maka lantai tersebut cukup disapu dan tidak wajib dipel.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
.
Sumber: Fatwa Tarjih Muhammadiyah No. 31 Tahun 2015