Perspektif

Asap dan Kabut Pekat Ijon Politik

3 Mins read
Oleh: Danang Maulana Arif Saputra*

 

Asap dan kabut pekat ijon politik di Indonesia tampaknya masih terus menggelayut. Kejadian-kejadian sepanjang tahun ini menjadi bukti nyata.

***

Di bidang lingkungan hidup, kita ingin kebakaran hutan, lahan gambut tak terjadi lagi. Sudah kita atasi, dalam 3 tahun tak terjadi kebakaran hutan, lahan gambut, dan itu kerja keras kita semua,” kata Jokowi saat debat Capres terkait tema Infrastruktur, Sumber Daya Alam, Energi, Lingkungan Hidup, dan Pangan, pada Minggu (17/2/2019).

Menurut Jokowi, dalam kurun waktu tersebut dampak dari kebakaran hutan dan lahan tidak sebesar tahun-tahun sebelumnya. Ia mencontohkan kejadian kebakaran ini tidak sampai mengganggu jadwal penerbangan dan protes asap dari negara-negara tetangga.

Kabut asap terjadi karena kebakaran hutan dan lahan (karhutla) disertai El Nino pada tahun 2015. Menjadi tragedi berskala nasional yang disebabkan oleh tingkah laku manusia. Balita, anak-anak, dan orang dewasa menjadi korban asap.

Kerusakan lingkungan, kerugian ekonomi, gangguan kesehatan, merosotnya pariwisata, dan terbengkalainya pendidikan karena kabut asap melanda. Sumatra, Kalimantan dan Papua menjadi tumbal. Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah adalah lima provinsi yang terdampak paling parah. Singapura dan Malaysia terkena dampaknya, bahkan Thailand dan Filipina tak ketinggalan.

 

2015 Parah, 2019 Sama Saja

Peristiwa yang terjadi pada medio 2015 silam ternyata tidak mampu membuat para stakeholder untuk berbenah. Nampaknya bangsa ini memang sulit untuk belajar dari masa lalu, termasuk dalam kasus karhutla. Jumlah titik-titik panas (fire spots atau hotspots) di Sumatra dan Kalimantan terlihat pada citra satelit sampai dengan Oktober 2015 sejumlah 545  titik. Sedangkan pada kasus yang sama ditahun 2019 jumlah hotspots yang terpantau oleh Satelit Terra Aqua, SNPP, dan NOAA20 hingga 17 September 2019 sejumlah 404 titik. Mayoritas tersebar di Pulau Kalimantan dan Sumatera.

Baca Juga  Guru Madrasah Harus Linuwih

Tragedi nasional berupa karhutla yang terjadi saat ini nampaknya memiliki karakteristik dan pola yang sama dengan kasus 2015 lalu. Titik kebakaran seperti yang ditampilkan oleh Citra Satelit MODIS menunjukan lokasi daerah yang pada tahun 2020 nanti akan melaksanakan hajat politik berupa Pilkada serentak.

Bahkan, Herry Purnomo dalam makalah ”Kabut Asap, Penggunaan Lahan dan Politik Lokal” (2015) menegaskan ada keterkaitan erat antara pilkada di suatu wilayah dan peningkatan jumlah titik panas kebakaran lahan. Hal ini menunjukkan pilkada erat kaitannya dengan ”bagi-bagi” konsesi perizinan yang menyebabkan perubahan peruntukan lahan secara masif.

 

Asap dan Kabut Pekat Ijon Politik

Bukan rahasia lagi jika sesorang ingin menjadi kepala daerah membutuhkan ongkos politik yang tidak sedikit. Laporan Litbang KPK berjudul Studi Potensi Benturan Kepentingan Dalam Pendanaan Pilkada 2015 memaparkan bahwa biaya yang dibutuhkan untuk menjadi wali kota/bupati mencapai Rp20–30 miliar. Sedangkan untuk gubernur bisa mencapai Rp20–100 miliar. Artinya, untuk biaya pada hajat Pilkada serentak 2020 esok bisa saja lebih mahal. Mengingat partisipasi publik cukup besar dari segi elektoral.

Para kandidat yang tidak mampu menutupi besaran biaya tersebut tentu harus giat dalam mencari sponsor. Para pebisnis melihat hal ini sebagai celah untuk mendapatkan jaminan kenyamanan dan keberlangsungan investasi mereka. Satu pendekatan yang menjadi rahasia umum adalah menunggangi dan mengendalikan kandidat. Hal ini dilakukan melalui pembiayaan pencalonan dan kampanye sebagai praktik ijon politik.

Maka, investasi berbasis lahan skala besar adalah bentuk hubungan saling menguntungkan antara pelaku bisnis dan politisi. Modal finansial untuk kebutuhan politik pilkada ditebus dengan jaminan politik untuk pemberian ataupun pengamanan konsesi perizinan. Dengan cara seperti itu, maka yang terjadi adalah melanggengkan krisis krisis ekologi dan konflik agraria.

Baca Juga  Muhammadiyah Organisasi Islam Terkaya di Dunia

Kepala daerah terpilih tentunya meminta restu atau melibatkan sang sponsor dalam penentuan kebijakan. Dengan kata lain, sang kepala daerah akan tersandera kepentingan.

 

Kerugian yang Mencengangkan

Praktik bagi-bagi konsesi ini tentu tidak menyelesaikan berbagi persoalan lingkungan hidup yang makin hari justru semakin parah. Kejahatan korupsi di lingkungan hidup sebenarnya bisa berdampak lebih buruk daripada kejahatan korupsi di sektor lainnya.

Menurut Chandra Hamzah, kerugian dalam kejahatan korupsi biasa hanya dihitung berdasarkan kerugian yang ada di APBN. Sedangkan pada kejahatan korupsi lingkungan hidup, kerugian yang diderita tidak sebatas kerugian negara di dalam perhitungan APBN. Terdapat pula kerugian secara ekologis.

Hasil dari interpretasi citra satelit pun menguatkan bukti kerusakan itu. Laju perusakan hutan alam tahun 1985-1997 tercatat 1,6 juta ha per tahun. Tahun 1997-2000 tercatat 2,8 juta ha per tahun. Pada tahun 2000-2003 laju kerusakan semakin tidak terkendali (Purnama, 2003). Akibat hilangnya hutan alam seluas 50 juta ha, Indonesia diperkirakan sudah mengalami kerugian sebesar Rp30.000 Triliun. Bahkan pada tahun 2008 lalu saja diperkirakan kawasan lahan negara yang terdegradasi bertambah luas sebesar 77,8 juta ha3.

***

Hajat elektoral serentak di tahun 2020 menjadi pencapaian tersendiri bagi demokrasi negeri ini. Namun tidak bagi persoalan lingkungan hidup yang saban hari makin terpuruk. Momen politik elektoral hanya menjadi ajang perebutan jabatan dan menangguk kekayaan bagi segelintir elit politik dan bisnis.

Pada akhirnya asap dan kabut pekan ijon politik membuat demokrasi ini gagal dalam menjamin serta memenuhi harapan dan hak-hak rakyat. Gagal menyelesaikan masalah tak berkesudahan dalam demokrasi maupun lingkungan.

 

*) Mahasiswa Fakultas Geografi UM Surakarta. Presiden Mahasiswa BEM UMS 2019.

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds