IBTimes.ID – Pusat Studi Islam, Perempuan, dan Pembangunan (PSIPP) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Jakarta bekerjasama dengan The Asia Foundation menyelenggarakan serial diskusi daring “Dari Kita untuk Mereka”. Pada hari Jumat (18/9), serial diskusi ketiga digelar dengan tema “Peran dan Strategi Catur Dharma PTM dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan”.
Pembicara dalam webinar daring ini adalah Hilman Latief, Wakil Rektor IV Universitas Muhammadiyah Yogyakarta; Yayat Sujatna, Wakil Rektor II ITB Ahmad Dahlan Jakarta; Marzuki Wahid, Pimpinan Pesantren Ma’had Aly, Dosen ISIF Cirebon; Abdul Rohim Ghazali, Direktur Maarif Institute; dan Melly Puspita Sari, Silver Trainer NFNLP.
Webinar Dari Kita untuk Mereka sebelumnya telah diselenggarakan pada Senin (7/9) dengan tema “Pandangan Ulama Tarjih Muhammadiyah tentang Kekerasan terhadap Perempuan/Kekerasan Seksual” dan Senin (14/9) dengan tema “Peran Organisasi Otonom Muhammadiyah: Sikap dan Kebijakan Internal dalam Penghapusan Kekerasan Seksual.”
Menurut Yulianti Muthmainnah, Ketua PSIPP ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Islam memiliki konsep hifz an-nafs (menjaga jiwa) sebagai salah satu aspek dalam maqasid syariah. Namun faktanya angka kematian ibu hamil tinggi. Implementasi hifz al-‘aql (menjaga akal) juga dirasa kurang maksimal karena masih banyak perempuan yang tidak mendapatkan hak kebebasan berpikir.
Di sisi lain, ada kekosongan hukum yang sangat lebar. Ia memberikan contoh bahwa secara hukum, pemerkosaan berarti harus bertemunya dua alat kelamin. Padahal, banyak sekali kasus pemerkosaan yang tidak mengandung pertemuan dua alat kelamin sehingga korban tidak dapat mendapatkan keadilan hukum.
Ia juga mencontohkan bahwa secara hukum, perdagangan manusia harus mengandung aspek pemindahan secara fisik. Padahal, banyak kasus perdagangan manusia dilakukan di dalam rumah. “Dalam KDRT, pelaku dan korban harus memiliki buku nikah. Padahal banyak sekali yang tidak mencatatkan pernikahan karena alasan kemiskinan,” ujarnya.
Sementara itu, Hilman Latief menyebut bahwa kekerasan seksual adalah hasil dari problem-problem lain yang ada di sekitarnya. “Problem sosiologis, keluarga, narkoba, ekonomi, dan lain-lain. Kita juga bisa membaca bahwa kekerasan seksual muncul oleh orang yang memang sudah bermasalah. Kalau mencermati pengalaman yang ada, banyak PR besar kita. Banyak kampus yang terkena kasus-kasus ini,” jelasnya.
Menurutnya, kesadaran tidak hanya harus dibangun oleh mahasiswa. Namun juga dibangun oleh seluruh sivitas yang ada di kampus termasuk dosen, staff, dan karyawan. Karena hal ini adalah isu bersama seluruh pihak yang ada di dalam kampus.
Berbeda dengan Hilman, Yayat Sujatna berbicara tentang kekerasan terhadap perempuan di dalam kampus beserta pencegahannya. Menurut Yayat, Indonesia adalah negara yang memiliki konsen terhadap pendidikan cukup tinggi. Dan ini adalah salah satu upaya untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik.
Kampus inklusif tidak hanya kampus yang tidak ada kekerasan seksual. Namun, ia menggarisbawahi bahwa kampus yang inklusif juga harus ramah terhadap disabilitas. Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk menuju kampus inklusif adalah manajemen kemahasiswaan, manajemen kurikulum, dan sarana prasarana.
Manajemen kemahasiswaan berarti bagaimana input siswa disabilitas yang ada di sekitar kampus dapat terserap dengan baik. Sementara manajemen kurikulum berarti penyiapan kurikulum yang bersahabat dengan disabilitas.
“Sarana-prasarana juga harus mendukung. Misalnya, apakah ada tangga khusus pengguna kursi roda, dan lain sebagainya. Ini perlu keseriusan pemerintah pusat, pemerintah daerah, kampus, dan masyarakat untuk bisa mewujudkan kampus inklusif,” ujarnya.
Marzuki Wahid menyampaikan bahwa ia merasa bahwa mahasiswa di Ma’had Aly dan ISIF harus menggunakan 4 perspektif. Yaitu perspektif kebhinekaan, keadilan dan kesetaraan gender, kebudayaan, dan kearifan lokal.
“Hampir semua risalah akhir mahasantri di Ma’had Aly berbicara tentang relasi gender. Saya harus memastikan mereka menggunakan perspektif keadilan dan maqasid syariah,” lanjutnya.
Ia berharap karya-karya mahasiswa ini dapat menyumbangkan temuan-temuan yang bermanfaat. Ia juga bercerita bahwa banyak temuan-temuan dalam skripsi mahasiswa ISIF yang menarik. Misalnya, ada yang meneliti tentang makna “kafir” di dalam Alquran.
Reporter: Yusuf