Dua Mazhab Penetapan Awal Ramadhan
Ramadhan tidak lama lagi akan tiba. Selain harga sembako, yang selalu menjadi tren pemberitaan menjelang Ramadhan adalah sidang isbat (penetapan) masuk Ramadhan yang diselenggarakan Kementrian Agama RI.
Sidang isbat ini menyita perhatian tidak lain karena perbedaan awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah. Meskipun beberapa tahun terakhir tidak terjadi, namun muslimin Indonesia sudah terlanjur akrab. Hal ini pula yang menjadikan topik penetapan awal ketiga bulan tersebut selalu aktual dan tak lekang oleh masa. Meskipun sebenarnya, persoalan ini ada di setiap awal bulan hijriah.
Di Indonesia sendiri terdapat dua mazhab besar penetapan awal bulan hijriah, yakni hisab hakiki wujud al-hilal dan rukyat al-hilal (umumnya terlalu disederhanakan dengan sebutan hisab dan rukyat saja). Yang mana, masing-masing digawangi oleh ormas Islam terbesar yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Secara sederhana, dapat dipahami bahwa penetapan awal bulan pada mazhab hisab cukup dilakukan dengan hisab hakiki wujud al-hilal. Hilal dikatakan sudah ada (wujud) manakala piringan (sisi) bulan bagian timur (atas) sudah berada di atas ufuk ketika Matahari terbenam. Yaitu dengan syarat:
(1) telah terjadi ijtimak (konjungsi).
(2) ijtimak terjadi sebelum Matahari terbenam (Pedoman Hisab Muhammadiyah 2009 Halaman 78).
Sementara mazhab rukyat, hilal dikatakan ada ketika terlihat jelas. Dengan kata lain, mazhab hisab cukup menghitug tanpa harus melihat. Sebaliknya mazhab rukyat harus melihat.
Perbedaan dalam Pendefinisian Hilal Awal Ramadhan
Pada dasarnya, tidak terdapat perbedaan dalam metode hisab kedua mazhab di atas. Perbedaan itu hanya terletak pada cara kedua mazhab mendefinisikan hilal awal Ramadhan. Tetapi, perbedaan definisi ini memiliki konsekuensi yang tidak lagi sederhana.
Bagi mazhab rukyat, keberadaan bulan di atas ufuk bukan berarti hilal dapat dilihat. Oleh karena itu, harus dipastikan dengan mengamatinya. Uniknya, rukyat akan tetap dilaksanakan meskipun bulan berada pada posisi yang tidak mungkin terlihat.
Di sisi lain, istikmal akan tetap diberlakukan jika rukyat tidak berhasil mengamati hilal meskipun berada pada posisi yang pasti dapat dilihat. Hal ini semata-mata untuk memenuhi syarat istikmal dan azas ta’abbudiy (Ahmad Ghazalie Masroeri, Pedoman Rukyat NU, falakiyah.nu.or.id).
Belakangan, mazhab rukyat melunak dengan mengakomodir kriteria imkan al-rukyat (bulan mungkin untuk dilihat), walaupun tidak sepenuhnya. Kriteria ini diterima untuk mengantisipasi (menganulir) laporan palsu, karena bulan pada posisi yang tidak mungkin dilihat (berada di bawah ufuk misalnya).
Dengan demikian bagi mazhab rukyat, hisab tidak lagi sekedar alat bantu, melainkan juga standar kualitas (mampu menguji dapat diterima atau ditolaknya) sebuah rukyat. Meskipun demikian, keberadaan kriteria imkan al-rukyat tetap tidak bisa menjamin sepenuhnya keberhasilan rukyat sehingga memaksa untuk memberlakukan istikmal.
Misalnya, secara ekstrem seluruh permukaan Bumi diselimuti mendung tebal pada saat semestinya dilakukan rukyat, yang jika saja mendung itu hilang maka hilal terlihat jelas karena jauh memenuhi kriteria imkan al-rukyat.
Perbedaan Seputar Imkan al-Rukyat Hilal Awal Ramadhan
Pada saat ini, Kemenag RI menganut kriteria imkan al-rukyat MABIMS (Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) yakni 2 derajat di atas ufuk.
Dengan demikian, jika tidak ada aral melintang (seperti contoh ekstrem di atas), awal puasa, Hari Raya Fitri dan Kurban akan dilaksanakan pada hari yang sama.
Tidak lain karena menurut hisab, posisi hilal di atas 3 derajat (lihat Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 01/MLM/I.0/E/2021). Meskipun demikian, kriteria imkan al-rukyat belum tergolong mapan dan masih terdapat banyak kriteria selain yang digunakan MABIMS (Thomas Djamaluddin, 2011, halaman 13-21).
Banyaknya perbedaan dan perdebatan di seputar imkan al-rukyat, menjadikan salah satu alasan mazhab hisab belum bisa menerima dan tetap berpengang teguh pada wujud al-hilal. Karena pada dasarnya bagi mazhab hisab, mengakomodir imkan al-rukyat – yang memang ditujukan sebagai jalan tangah antara hisab dan rukyat. Sama halnya dengan pindah mazhab.
Usulan Membentuk Kalender Islam Internasional (KII)
Perbedaan metode penetapan awal bulan hijriah sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, bahkan bisa dikatakan di seluruh dunia Islam.
Hal ini pula yang menyebabkan munculnya beragam kalender hijriah. Jika diteliti lebih luas – tidak terbatas pada dua mazhab yang diulas di atas – maka akan ditemukan perbedaan pelaksanaan hari raya yang lebih mencolok, tidak hanya selisih satu atau dua hari.
Misalnnya pada tahun 1427 H/2006 M di mana di seluruh dunia tercatat merayakan Hari Raya Fitri selama empat hari berturut-turut sejak 22 – 25 Oktober (Muhammad Arifin Jahari, Al-Marsyad, vol.1 no.1, 2015, hal. 3). Salah satu yang ditawarkan sebagai solusi megatasi perbedaan ini adalah menyatukan kelender Islam dengan membentuk Kalender Islam Internasional (KII).
Usaha mewujudkan KII relatif masih baru, belum mencapai setengah abad, dan hingga saat ini masih terus berlanjut. Meskipun berbagai kemajuan telah dicapai, jalannya tampak masih panjang.
Satu dari kemajuan yang dicapai adalah penerimaan bangsa-bangsa terhadap sistem kalender tunggal. Di mana jauh sebelumnya tidak kurang dari delapan sistem KII yang ditawarkan.
***
Kemajuan ini tidak terlepas dari peran aktif OKI (Organisasi Kerjasama Islam) melalui konferesi, baik tingkat tinggi maupun menteri, juga persidangan kalender Islam yang secara khusus dilakukan.
Namun demikian, bukan berarti tidak ada yang kontra terhadap penyatuan kalender Islam. Misalnya Liga Muslim Dunia (Muslim World League) yang menyatakan tidak perlu adanya penyatuan kalender Islam, karena tidak menjamin persatuan umat Islam. Paparan lebih lengkap mengenai penyatuan kalender Islam dapat dibaca di Hamdun (2017), Jurnal Bimas Islam, vol. 10, no. 3.
Bagi yang resah bahkan anti perbedaan tentu sepakat dengan adanya penyatuan – meski lebih tepat disebut penyeragaman – kalender Islam. Tetapi, bagi yang menganggap perbedaan adalah hal yang lumrah bahkan niscaya tentu akan menganggap penyeragaman itu hal yang tidak mendesak.
Seperti semboyan negara kita Bhineka Tunggal Ika. Bersatu tidak mesti seragam atau karena beragam itu justru menimbulkan persatuan. Di sisi lain, semangat penyeragaman kalender Islam juga kental dengan nuansa politis (lihat M. Iqbal, Jurnal Ilmiah Syari’ah, vol.15, no.2, 2016).
Syarat Mewujudkan Kalender Islam yang Mapan
Djamaluddin (2011) menyarankan untuk tidak berpikir telalu jauh, dan sebaiknya memulai penyatuan kalender Islam dari Indonesia dengan menyepakati kriteria hisab rukyat.
Menurutnya diperlukan tiga syarat terwujudnya kalender yang mapan, yakni otoritas tunggal, kriteria tunggal, dan batasan wilayah.
Dari ketiga syarat ini, hanya batas wilayah yang sudah clear. Syarat pertama, meskipun sudah terpenuhi, hingga saat ini dirasa belum begitu berarti. Sementara, syarat kedua kita telah mendiskusikannya di awal tulisan ini.
Akar masalah yang paling mendasar justru bertumpu pada perbedaan penafsiran ayat Al-Qur’an dan hadits (lihat Muhammad Arifin Jahari, Al-Marsyad, vol.1 no.1, 2015 dan Buku Saku Hisab Rukyat Kemenag RI hal. 93 – 100).
Konsekuensi logisnya adalah produk hukum (fiqh) yang berbeda. Semoga kredibilitas ilmu hisab yang ditopang kemajuan sains dan teknologi mampu menjembatani masalah ini di kemudian hari. Wallahu ‘alam.