Sudah bukan rahasia lagi, Indonesia menjadi “pelanggan setia” sebagai salah satu negara dengan kualitas pendidikan yang tertinggal dibanding negara serumpun Asia Tenggara, yakni Singapura (21), Malaysia (38) dan Thailand (46). Padahal alokasi dana APBN/ APBD sebanyak 20% untuk sektor pendidikan. Tentu angka tersebut sangat besar sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pertanyaan besarnya, faktor apa yang sebenarnya menghambat kemajuan pendidikan di Indonesia? Dengan alokasi 20% dari APBN/ APBD sudah efektifkah dalam memajukan kualitas pendidikan atau berkutat pada birokrasi dan administrasi ketimbang substansi? Sebuah pertanyaan yang tak mudah untuk dijawab.
Tacit Knowledge
Salah satu faktor mengapa pendidikan Indonesia tak kunjung maju adalah karena ia sudah berkembang menjadi apa yang oleh Edward Shils disebut “pengetahuan diam-diam” (tacit knowledge) yang mengerangkai dan menggerakkan hampir seluruh kesadaran kolektif bangsa ini. Disebut diam-diam karena orang enggan menyebut-nyebut keruwetan birokrasi dan administrasi guru dan dosen (termasuk akreditasi yang tambal-sulam), tetapi ia menerimanya sebagai “sesuatu yang lumrah” (meski nuraninya berontak).
Di satu sisi orang menyadari, beban administrasi dan jalan berliku birokrasi yang overload harus ia tempuh dan tuntaskan bagi para pendidik, siswa, dan lembaga pendidikan, tetapi di sisi lain ia tidak bisa – untuk enggan mengatakan tidak berdaya – mengubah sistem pendidikan yang sudah sedemikian established. Bahkan, orang yang tidak menjalankannya dianggap tidak “pro” terhadap sistem tersebut dan oleh sebab itu, lambat laun ia akan terpental atau disingkirkan oleh mereka yang berkepentingan.
Di samping itu semua, guru cenderung kurang diberdayakan, baik aspek sosiologis, filosofis maupun kebutuhan materialis. Kita bisa bandingkan gaji guru dan dosen di Indonesia dengan negara tetangga semisal Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam yang bagaikan langit dan bumi. Karena itu, dalam pandangan Azyumardi Azra, upaya peningkatan kualitas SDM (baca: guru) berikut pengentasan kemiskinannya harus dilakukan dalam satu tarikan nafas demi memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia ke depan.
Misi Profetis Pendidikan
Dalam bukunya, Pendidikan Islam: Transisi dan Modernisasi di Tengah Milenium III, Azyumardi Azra menegaskan tidak ada keraguan lagi bahwa salah satu misi sentral Nabi Muhammad saw adalah peningkatan kualitas SDM secara holistik. Peningkatan kualitas SDM ini dilaksanakan dalam keselarasan dengan tujuan misi profetis Nabi Saw, yakni mendidik manusia, membimbing mereka ke jalan Allah, mengeluarkannya dari kegelapan pemikiran (baca: kebodohan) menuju kecerahan peradaban, membentuk masyarakat yang madani, adil, sehat, harmonis, dan sejahtera baik secara material, intelektual, sosial maupun spiritual.
Misi profetik nabi yang paling utama – dalam amatan Masdar Hilmy – adalah misi pembebasan. Misi yang dimaksudkan untuk membebaskan umat Islam dari segala keterbelengguan dan ketertindasan. Sebuah misi mulia untuk membawa umat menuju kemajuan peradaban yang memanusiakan manusia. Dengan begitu, Nabi saw merupakan seorang pembebas bagi umatnya.
Tidak bisa dimungkiri, kehadiran Nabi Saw di tengah umat yang amat jahiliyah kala itu merupakan “skenario” Tuhan guna meningkatkan kualitas SDM dengan peradaban akhlak. Jika diterjemahkan dalam konteks pendidikan, fakta sejarah membuktikan bahwa Nabi Saw lebih banyak meruangkan moda pembelajaran kritis (critical thinking) yang pada gilirannya menggoyang status quo. Tanpa pemaksaan, Nabi Saw lambat laun ”berhasil” mengislamkan penduduk Makkah dan sekitarnya yang didominasi oleh kaum kafir Quraisy.
Tidak hanya itu, Nabi Saw mengajarkan kepada kita akan sebuah sistem pendidikan yang mengedepankan truth exchange (pertukaran kebenaran) dibanding truth claim (klaim kebenaran). Materi yang diajarkan dalam berbagai halaqahnya, senantiasa merangsang kesadaran kritis dan menguji kebenaran yang selama ini embedded di kalangan kafir Quraisy. Akan tetapi, sekarang sebagian – untuk tidak mengatakan mayoritas – lembaga pendidikan (sekolah misalnya) hanya membenarkan apa yang diyakini benar, cenderung tekstual dan menghakimi apa yang diyakini salah tanpa mengujinya terlebih dahulu. Tentu, hal ini bertolak belakang dengan teladan Nabi itu sendiri.
Dekonstruksi Pendidikan
Guru Besar Sosiologi Pendidikan, Masdar Hilmy, mengemukakan anak didik kurang diberi ruang yang cukup untuk menguji dan mempertukarkan kebenaran lainnya. Materi pendidikan yang bersifat perbandingan atau pengayaan perspektif minim dilakukan oleh sebagian guru, sehingga tak heran outputnya (baca: anak didik) tidak jauh berbeda dengan gurunya. Apalagi guru, dalam hal ini, tidak bisa dilepaskan dari bias-bias pribadi/ subjektivisme.
Oleh karena itu, dekonstruksi terhadap pendidikan mulai sistem, birokrasi, administrasi, kelembagaan, SDM, alokasi dana, dan segala yang terkait dengannya harus dilakukan. Dalam hal ini, lagi-lagi keterlibatan stakeholders sangat dibutuhkan dalam mewujudkan pendidikan yang berkualitas, pendidikan yang mampu mencerdaskan bangsa, dan pendidikan yang mampu mendidik dirinya sendiri.
Bahwa pendidikan, dalam arti khusus dan terbatas, lanjut Azra, merupakan salah satu aspek terpenting dari misi kenabian. Hal ini terlihat dari kebijakan Nabi Saw. membebaskan para tawanan kafir Quraisy pasca mereka mengajar anak-anak muslim membaca dan menulis. Melalui kebijaksanaan seperti itu, Nabi Muhammad Saw memberikan uswah hasanah (teladan terbaik atau useful policy), bahwa segala potensi yang terdapat pada lingkungan kaum muslimin – sekalipun potensi itu dipunyai non-muslim – menurut Azra, dapat didayagunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) muslim. Saya kira tidak ada salahnya jika pendidikan dikategorikan sebagai misi profetis kenabian yang harus dijalankan dengan sebaik-baiknya.
Editor: Soleh