Perspektif

Bagaimana Al-Qur’an dan Filsafat Merespon Fenomena Bunuh Diri?

3 Mins read

Belakangan, banyak orang keliru dalam mengambil langkah untuk menyelesaikan masalah. Mereka memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, sebuah fenomena sosial yang dilakukan seseorang untuk menghilangkan nyawanya sendiri. Biasanya, memang orang-orang yang melakukan ini beranggapan bahwa masalah-masalah hidup yang sedang dialaminya dapat selesai dengan bunuh diri. Selain itu, mereka juga biasanya dilatar belakangi dengan kondisi mental health yang bermasalah.

Tulisan ini mencoba mendeskripsikan bagaimana perspektif al-Qur’an dan Filsafat dalam merespon fenomena bunuh diri yang belakangan marak terjadi. Tulisan ini tidak bertujuan untuk mendiskreditkan seseorang yang sedang mengalami gangguan mental health ataupun seseorang yang sedang mengalami masalah dan berkeinginan untuk melakukan bunuh diri. Sebaliknya, tulisan ini akan memetakan masalah yang terjadi dan memberikan solusi supaya membantu pembaca agar lebih tenang dalam menjalani hidup.

Pandangan al-Qur’an

Sebenarnya, tidak ada sama sekali agama yang membenarkan tindakan bunuh diri. Agama yang notabene merupakan sebuah ajaran yang baik terhadap manusia dan berorientasi vertikal, tentu kontradiktif dengan tindakan tersebut. Jika ada ajaran yang memperbolehkannya dengan dalih ritual keagamaan, maka sebenarnya ajaran tersebut telah melenceng dari garis agamanya. Karena tidak ada kaitannya sama sekali persembahan nyawa dengan Tuhan, begitu juga dalam Islam.

Al-Qur’an menjadi sumber hukum utama dalam Islam. Lihat at-Taubah ayat 6, bahwa kitab suci ini merupakan kalam Allah Swt. Sudah sepatutnya tindakan yang dilakukan Muslim selalu disandarkan kepada apa yang dianjurkan-Nya. Melakukan tindakan-tindakan yang kontradiktif dengan al-Qur’an, artinya melanggar kaidah-kaidah yang telah ditentukan Allah Swt. Lihat Ali Imran ayat 104, bahwa Allah menghendaki keberuntungan bagi orang-orang yang menyeru pada kebajikan, menyuruh berbuat yang ma’ruf, dan mencegah yang munkar.

Baca Juga  Syarat Menghadapi Sekularisme: Akal Sehat dan Ilmu Kokoh

Menanggapi polemik yang terjadi belakangan tentang fenomena bunuh diri yang marak terjadi, Allah tentu telah memberi nash-Nya dalam al-Qur’an. Lihat an-Nisa ayat 29, yang secara tekstual, dapat dipahami bahwa Allah melarang manusia membunuh dirinya sendiri karena Allah sangat menyayanginya. Nyawa manusia bahkan seluruh jiwa raganya adalah milik Allah yang diamanatkan kepada manusia. Tentu manusia tidak dapat memisahkan (nyawa) dari badannya kecuali atas izin-Nya (Shihab, 2004).

Pandangan Filsafat

Pendekatan filsafat memberikan gambaran mengenai fenomena bunuh diri. Teori-teori di dalamnya dapat digunakan dalam memandang kehidupan dan berbagai persoalan di dalamnya. Tentu saja pendekatan ini tidak bermaksud menyaingi al-Qur’an yang merupakan kalam Allah, namun sebagai rujukan, boleh-boleh saja digunakan muslim yang merepresentasikan Islam wasath dan tidak konservatif. Mari kita mulai menganalisa dengan pendekatan filosofis!.

Seorang filsuf kelahiran Danzig tahun 1788, Arthur Schopenhauer, memberikan pandangannya terhadap fenomena bunuh diri dengan teorinya tentang “Kehendak”. Menurutnya, hakikat manusia tidak terletak pada akal dan rasio, melainkan pada kehendaknya. Penderitaan-penderitaan yang terjadi dalam kehidupan manusia, berawal dari kehendak. Bahkan, kehendak tersebut telah menggerakkan dunia, mulai dari yang simple seperti berjalan dan diam, hingga yang paling kompleks adalah kehendak untuk hidup.

Kehendak yang paling kompleks inilah yang kemudian memunculkan berbagai macam persoalan. Singkatnya, kehendak ini merefleksikan keinginan yang tiada habisnya. Jika suatu keinginan terpenuhi, maka akan muncul keinginan lainnya. Sebaliknya, jika keinginan itu tidak terpenuhi maka seseorang akan mengalami penderitaan dan mengutuk dirinya dengan rasa kecewa dan frustasi. Maka bagi Schopenhauer, tidak ada yang bisa melenyapkan penderitaan tersebut selain kematian, di mana manusia tidak lagi memiliki kehendak.

Namun, bukan berarti Schopenhauer sepakat dengan bunuh diri sebagai solusi. Bunuh diri tentu saja salah secara filosofis. Kematian menurut Schopenhauer memang merupakan tujuan manusia hidup, tetapi caranya bukan dengan bunuh diri (Jaquette, 2000). Tindakan itu bukannya menyelesaikan masalah, namun justru akan menambah masalah. Keinginan bunuh diri justru akan mengantarkan manusia kepada penderitaan itu sendiri. Sehingga, dapat dipahami bahwa bunuh diri bukanlah solusi bagi penderitaan-penderitaan yang ada dalam diri manusia, melainkan justru menimbulkan penderitaan yang sebenarnya.

Baca Juga  Lebaran Itu (Bukan) Surplus Enjoyment

Kiat-kiat Agar Kamu Lebih Menghargai Hidup

Pemberian nilai berharga pada diri tentunya sangat penting, sebab perilaku tersebut akan mengantarkan manusia pada kebijaksanaan dalam bertindak, terutama terhadap diri sendiri. Berikut adalah hal-hal yang bisa kamu lakukan supaya kamu lebih menghargai hidup menurut Islam dan Filsafat:

1. Mendekatkan diri kepada Allah;

2. Merenung dan mengintropeksi diri;

3. Selalu bersyukur;

4. Meredam dan membatasi keinginan; dan

5. Memaklumi apabila keinginan dalah hidup tidak terpenuhi.

Pada hakikatnya, tidak ada hidup tanpa masalah, namun juga tidak ada masalah yang abadi. Segalanya bisa diselesaikan dengan kepala dingin. Namun sebaliknya, justru dengan pikiran yang panas, akan melahirkan masalah-masalah baru. Hargai hidup, maka Allah akan menghargai setiap usaha yang telah diperbuat sebagai ikhtiar kita dalam menyelesaikan segala persoalan yang ada.

Editor: Soleh

Fachrul Dedy Firmansyah
8 posts

About author
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds