Disintegrasi umat kian terjadi di tengah masyarakat. Berbagai hoax tersebar bebas dan dicerna tanpa tabayyun oleh masyarakat awam. Perbedaan pendapat ulama’ yang diperdebatkan (tanpa ilmu) di berbagai tempat menjadikan suasana semakin panas, sehingga potensi disintegrasi dan intoleransi sesama umat semakin mengkhawatirkan. Padahal, aneka macam perbedaan tersebut memiliki hikmah atau tujuan untuk mengayomi umat agar senantiasa makmur dan rukun. Dalam tulisan ini, penulis akan fokus membahas bagaimana sikap Al-Qur’an menanggapi hal demikian.
Perbedaan ra’y (pendapat) antar ulama’ adalah hal yang lumrah dalam ajaran Islam. Bagaimana tidak? Tahapan penetapan dan istinbath hukum melewati sekian kaidah atau aturan yang berbeda antar mujtahid, ditambah dengan dalil atau petunjuk mengenai hukum (yang dikaji) memiliki sekian riwayat yang berbeda bahkan bertentangan. Meskipun memiliki sumber ajaran yang sama (Nabi Muhammad Saw), perbedaan pendapat sangat sulit dihindari. Toh walapun memakai dalil yang serupa, tapi hasil interpretasi sangat berpotensi berbeda.
Peluang terjadi perbedaan ra’y antar ulama’ maupun mazhab memang perlu. Hal demikian menjadi kebutuhan umat yang memiliki latar belakang bermacam-macam, baik dalam konteks fiqih, aqidah, syari’at, dan lain-lain. Bahkan, potensi perbedaan itu telah diisyarakatkan Allah SWT melalui beberapa ayat Al-Qur’an (Al-Hujurat:13). Nabi menanggapi hal demikian sekaligus memberikan aba-aba dalam hadisnya bahwa “Perbedaan di antara umatku adalah (bentuk) rahmat” (HR. Muslim).
Isyarat dan Potensi Perbedaan dalam Al-Hujurat Ayat 13
Peristiwa nabi Adam diturunkan dari surga karena mencicipi khuldi (sejenis makanan) (Al-A’raf:22) kemudian diciptakan Hawa (pasangan Nabi Adam) menunjukkan bahwa paling tidak terdapat dua jenis manusia yang berbeda, yaitu laki-laki dan perempuan. Tabiat dan sifat laki-laki yang mempengaruhi mindset-nya tentu saja berbeda dengan perempuan. Apabila keduanya dihadapkan dengan masalah yang serupa, maka hasil interpretasi sangat berpotensi berbeda. Hal demikian dijelaskan dalam firman-Nya surah Al- Hujurat:23:
یَاٰۤأَیُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَاكُم مِّن ذَكَرࣲ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَاكُمۡ شُعُوبࣰا وَقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوۤا۟ۚ
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal…”.
Term شُعُوبࣰا وَقَبَاۤىِٕلَ “berbangsa-bangsa dan bersuku-suku” menunjukkan ciri khas, tabiat, intelektual, dan gaya yang berbeda-beda. Mufassir Fakhruddin al Razi dalam tafsirnya Mafatih al Ghaib memberi analogi seperti sekumpulan orang asing yang tidak mengetahui siapa penyeru mereka agar berkumpul, (seperti) sekumpulan orang Arab dan Bani Isra’il. Dari sekian perbedaan tersebut, mereka memiliki tujuan yang serupa, yaitu “agar saling mengenal”.
Beliau menambahkan, perbedaan tersebut berpotensi menjadikan mereka ujub dan merasa paling mulia, maka maksud “agar saling mengenal” ditujukan untuk mengenal Allah Swt sehingga ketakwaan mereka dijadikan sebagai tolok ukur akan siapa kabilah atau kumpulan yang mulia.
Hikmah Beragam Mazhab dalam Al-Ma’idah Ayat 48
Perbedaan mazhab dalam agama Islam sejak awal memang telah diisyaratkan Al-Qur’an dalam surah Al-Ma’idah ayat 48 sebagai berikut:
وَلَوۡ شَاۤءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمۡ أُمَّةࣰ وَ ٰحِدَةࣰ وَلَـٰكِن لِّیَبۡلُوَكُمۡ فِی مَاۤ ءَاتَىٰكُمۡۖ فَٱسۡتَبِقُوا۟ ٱلۡخَیۡرَ ٰتِۚ
“….Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan..” Imam Syaukani dalam tafsirnya Fathu al-Qadir mengemukakan bahwa maksud, ayat tersebut adalah apabila Allah Swt dengan hak prerogratif-Nya menghendaki agar menjadikan umat Islam menjadi satu umat tentu saja Ia jadikan umat Islam memiliki satu kitab, satu Rasul, dan satu syari’at saja. Namun Allah Swt ingin menguji umat Islam dengan sekian perbedaan syariat termasuk mazhab dalam berbagai bidang fiqh, aqidah, dan lain sebagainya.
Tambah beliau “Tujuan dari perbedaan-perbedaan tersebut tidak lain adalah guna menguji batas ketaatan tiap umat dalam mengikuti syari’atnya, apakah mereka menjalankan dan mentaatinya atau meninggalkannya dan condong kepada nawa nafsu serta menjual petunjuk dengan kesesatan?. Tidak cukup sampai di situ, pasca menerima sekaligus mempelajari syari’at yang bersifat variative tersebut, umat slam diarahkan dan diperintahkan agar senantiasa berlomba-lomba dalam ketaatan melaksanakan perintah Allah Swt menurut syari’at atau mazhab masing-masing.
Perkembangan teknologi masa 5.0 semakin tidak bisa dikendalikan. Dalam beberapa media sosial, terdapat banyak oknum dari sekian pihak yang bertujuan memecah belah umat Islam. Beberapa akun menjelaskan satu permasalahan dalam hukum Islam dengan satu perspektif (pandangan) ulama’ saja, tanpa memaparkan sekian pandangan ulama’ lain.
Fenomena tersebut apabila dikonsumsi masyarakat awam amat bersifat berbahaya. Sama halnya dengan fenomena musik dewasa ini, Ustad Adi Hidayat menyampaikan hukum terkait musik dengan sekian pendapat ulama’ namun ditanggapi dengan pedas oleh pihak salafi. Bahkan beberapa dari mereka mencela dengan istilah “ahlu syubhat” dan lain-lain. Padahal Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa perbedaan-perbedaan itu pasti ada dan sangat sulit untuk dihindari. Wallau a’lam.
Editor: Soleh