Di Eropa, sudah lebih dari setengah abad pendidikan seksual diterapkan menjadi salah satu subjek dalam kurikulum sekolah. Bermulai dari Swedia pada tahun 1956 yang kemudian terus meluas hingga tahun 2000-an ke Prancis, Inggris Raya, Spanyol, Estonia, Ukraina, Irlandia, dan masih banyak lagi. Tahun 2009, secara resmi, pendidikan seksual dirumuskan dengan nama Comprehensive Sexuality Education.
Kamus Merriam-Webster mendefinisikan Sex education sebagai pengajaran tentang pendidikan seks yang dilakukan di sekolah. Sementara dalam terma berbeda—sexuality education—diartikan sebagai proses mempelajari aspek-aspek kognitif, emosional, sosial, interaktif, dan fisik dari seksualitas.
Tujuannya untuk mengembangkan dan memperkuat kemampuan anak-anak dan remaja dalam membuat pilihan secara sadar, memuaskan, sehat, dan saling menghormati mengenai hubungan, seksualitas, dan kesehatan emosional maupun fisiknya.
Cikal Bakal Munculnya Sexuality Education
Secara historis, kemunculan sexuality education dapat dilacak dari terjadinya revolusi seksual tahun 1960-an. Revolusi seksual sendiri dapat dimengerti sebagai upaya pencerabutan nilai-nilai moralitas seksual tradisional secara revolusioner yang ditandai dengan adanya pergeseran sikap dan perilaku pada aktivitas seksual.
Hal ini dapat dilihat dari munculnya standar moralitas yang baru untuk menggulingkan masyarakat puritan yang tradisionalis dengan normalisasi living together, bertukar pasangan, eksistensi homoseksual, kelahiran anak dari pasangan tidak menikah, film x-rated, dan kebebasan berbusana.
Akibatnya ditahun 1960-an, seks bukan lagi menjadi hal yang privat tetapi secara vulgar dipajang di majalah, disiarkan melalui radio, dan ditayangkan di televisi dan film-film.
Tokoh Pelopor Lahirnya Revolusi Seksual
Salah satu tokoh yang menjadi pelopor terjadinya revolusi seksual adalah Alfred Kinsey. Selama 15 tahun Alfred Kinsey meneliti lebih dari 10.000 orang, baik laki-laki maupun perempuan untuk mengetahui bagaimana riwayat seksual mereka.
Dalam penelitian ini Kinsey menyimpulkan bahwa perilaku, pikiran, dan perasaan seksual manusia terhadap lawan jenis dan sesama jenis tidak pernah konsisten. Artinya, perilaku, pikiran, dan perasaan tersebut bisa sewaktu-waktu berubah seiring waktu berganti.
Selain itu, ia juga menegaskan bahwa anak sejak bayi sudah bisa merasakan sensasi seksual dan mereka berhak untuk merasakan dan memperolehnya bila mereka menginginkannya.
Penelitian ini kemudian dibukukan dalam dua buku, yakni Sexual Behavior in the Human Male (1948) dan Sexual Behavior inbthe Human Female (1953). Hal ini kemudian berdampak pada perubahan kondisi sosial yang drastis dalam memandang seksualitas.
Lahirnya karya Kinsey telah membuka pintu normalisasi perilaku homoseksual. Informasi dan tayangan terkait seksualitas juga mulai biasa tampil di publik.
Dampak Revolusi Seksual
Liberalisasi ekspresi tubuh (pornography) maupun ekspresi seksual (homoseksual and freesex) mengakibatkan persoalan seperti kehamilan di luar pernikahan yang akhirnya sejalan dengan meningkatnya kasus aborsi, munculnya berbagai penyakit kelamin dan virus HIV/AIDS (1981).
Maka dilakukan upaya pencegahan kehamilan (1960-1970), pencegahan HIV (1980), pencegahan pelecehan seksual (1990) hingga kini menjadi upaya pencegahan dari perilaku seksisme, homophobia, dan intimidasi online (2000an). Kini isu ketidaksetaraan gender juga masuk dalam poin pendidikan seksual.
Sementara Abstinence-Only-Until-Marriage (AOUM)adalah program pendidikan seksual yang dilakukan dengan cara pencegahan, yaitu anak tidak diizinkan melakukan hubungan seksual sebelum mereka terikat dengan pernikahan.
Antara CSE dan Abstinence
Monica Rodrigue dan Patrick Malonememberikan dua tolak ukur untuk membandingkan keduanya—antara CSE dan program Abstinence—yakni etika dan efektifitas.
Dari sisi etika, tentu program Abstinence dianggap lebih sesuai dengan etika, khususnya bagi mereka yang peduli dengan nilai moral dan agama, sementara CSE tidak. Tetapi jika ditelisik dari keefektivitasan, akan berbeda hasilnya.
Dougles Kirby, seorang peneliti efektivitas program sekolah dan komunitas dalam mengurangi risiko seksual remaja, melalui karyanya berjudul “Emerging answers 2007, Research Findings on Programs to Reduce Teen Pregnancy and Sexually Transmitted Diseases”, menyatakan bahwa program CSE lebih efektif dari pada program Abstinence-Only-Until-Marriage.
Dua pertiga dari 48 program CSE setidaknya berdampak pada satu perilaku seksual. Secara keseluruhan, 40 persen dari program komprehensif yang diteliti mencapai tiga efek penting yaitu menunda inisiasi hubungan seksual, mengurangi jumlah pasangan seksual, dan meningkatkan penggunaan kondom atau kontrasepsi.
Maka, CSE menjadi pilihan cara untuk pencegahan kasus pelecehan seksual dan penularan PMS, termasuk HIV/AIDS yang lebih efektif dari pada program Abstinence.
Dalam International technical guidance on sexuality education, justru dikatakan, “Abstinence- only programmes potentially harmful to young people’s sexual and reproductive health and rights (SRHR)”, program Abstinence akan berpotensi membahayakan kesehatan, hak-hak seksual dan reproduksi (SRHR) kaum muda.
Perlunya Program Pendidikan Seksual
Melihat tingkat pelecehan seksual dan PMS sangat tinggi di Amerika Serikat, maka orang tua, pembuat kebijakan, dan pendidik membutuhkan program pendidikan seksual yang mampu menurunkan angka kedua kasus tersebut dengan segera.
Pendidikan mungkin merupakan investasi yang berharga, tetapi penurunan angka yang jelas dan terukur menunjukkan kemajuan dalam memerangi pelecehan seksual dan PMS/HIV.
Selain itu, sisi efektivitas juga lebih dipentingkan karena situasi fiskal yang sedang sulit. Tidak banyak dana yang dimiliki terlebih untuk mendanai program pendidikan seks yang tidak berhasil.
Tentu keputusan digunakannya CSE sebagai solusi dari masalah seksualitas sangat problematis. Karena hanya mengutamakan hasil konkret penurunan kasus (lebih efektif) tanpa mempedulikan dengan cara apa masalah tersebut diselesaikan.
***
Justru dikatakan dengan CSE mampu “meningkatkan penggunaan kondom atau kontrasepsi”. Dari sini dapat dikenali masalah CSE lainnya yakni ketidak tepatan dalam memberikan tawaran solusi, dengan mengindahkan nilai-nilai moral dan sosial, dilengkapi dengan pendekatan CSE berbasis hak seperti pengertian dari UNFPA, “a rights-based and gender-focused approach to sexuality education, whether in school or out of school” yang menunjukkan bahwa solusi ini merupakan hak bagi remaja dan pemuda yang mengalaminya.
Artinya CSE sebagai hak asasi manusia harus diberikan kepada setiap individu anak, baik di sekolah sebagai kurikulum maupun pengajaran luar sekolah melalui lembaga non-formal ataupun kegiatan sosial.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemunculan sexuality education bertolak dari adanya peristiwa revolusi seksual pada tahun 1960.
Lalu muncullah dua macam pendidikan seksual yaitu Comprehensive Sexuality Education (CSE) dan Abstinence-program. Dengan dua ukuran yakni etika dan efektivitas, CSE dianggap lebih efektif dari pada abstinence-program. Sementara secara etis abstinence-program tentu lebih etis karena melakukan pencegahan dari kegiatan seksualitas sampai ikatan pernikahan terjadi—sah secara hukum.
Uraian lebih lanjut perlu dihadirkan untuk bisa memberikan perspektif yang lebih luas untuk menakar dengan proporsional kedua jenis pendidikan seksual ini sehingga akan diperoleh solusi masalah seksualitas yang mampu diterima oleh semua elemen masyarakat dan tetap memuat nilai etika dan efektivitas.
Editor: Yahya FR