Akhlak

Bagaimana Cara Memilih Guru? Ini Nasihat Syaikh Az-Zarnuji

4 Mins read

Seiring perkembangan zaman, manusia lebih mudah dalam mencari ilmu pengetahuan dan wawasan yang dibutuhkan. Jika pada zaman dahulu para ulama dan ilmuwan menuliskan ilmunya diatas batu pipih, tulang dan papyrus atau kertas, kini khazanah keilmuan mereka dapat dinikmati melalui media cetak hingga digital. Cara memilih guru dan mencari ilmu pun berbeda dari waktu ke waktu.

Jika pada zaman dahulu, ulama dan tokoh-tokoh muslim berkelana ke berbagai negeri demi mendapatkan satu bait ilmu baik itu tafsir, hadits maupun ilmu-ilmu lainnya sampai menghafalkan dan menuliskannya kembali, maka saat ini masyarakat lebih mudah menimbanya hanya dengan duduk manis mendengarkan lewat radio dan tayangan televisi. Kini, keberadaan internet kembali memudahkannya melalui aneka ragam aplikasi media sosial.

Tak mustahil suatu masa nanti akan ada teknologi terbaru yang makin memudahkan itu semua.

Dinamika Ta’lim dan Da’wah

Hegemoni teknologi informasi semakin mempersingkat interaksi dalam dunia nyata. Hal itu ditandai dengan kekuasaan ragam aplikasi media sosial yang menawarkan fitur-fitur memesona bagi semua kalangan masyarakat. Semua lapisan masyarakat sudah mengerti akan canggihnya media sosial yang menjadi dunia baru bagi para penggunanya. Hal ini pula menjadikannya sebagai sarana informasi paling aktual, terpercaya, modern namun sangat rentan juga akan beredarnya kabar-kabar bohong atau palsu (hoaks).

Kecanggihan media sosial menjadi sarana efektif bagi para da’i, ulama atau ustadz dalam menyebarluaskan ilmu agama. Video petuah, ceramah, dan nasihatnya disebarluaskan oleh tim digital khusus dari lembaga atau yayasan tempat mereka bernaung.

Maka tak heran jika saat ini masyarakat “tidak perlu” pergi jauh-jauh menemui sang ulama jika ingin mendengar dan mendapatkan ilmunya. Sebab, semua hal tersebut sudah bisa diakses dan dinikmati melalui media sosial.

Dengan adanya fenomena ini, tentunya semakin banyak masyarakat yang memahami ajaran agama yang sebelumnya tidak mereka ketahui. Kesadaran beragama kembali meningkat. Tidak sedikit pula diantara mereka ada yang muncul ke permukaan untuk menyebarluaskan kembali ajaran-ajaran tersebut dan dikemas dalam sebuah kreasi yang menarik minat banyak kalangan.

Baca Juga  Irfan Amalee, Kiai Milenial dan Pendidik Inspiratif

Di antara mereka ada yang menjadi content creator dakwah di media sosial. Karena cukup banyak yang melakukan adalah kawula muda sehingga target jamaah yang tertarik pun mayoritas dari kalangan remaja. Dengan menggunakan istilah-istilah kekinian menjadikan gerakan tersebut semakin diminati hingga banyak sekali remaja yang kemudian berbondong-bondong mengikutinya.

Pentingnya Memilih Guru

Hal semacam ini memang patut disyukuri karena tumbuhnya kesadaran remaja akan agama. Ada bisyaroh (kabar gembira) khusus dari Rasulullah bagi siapa saja diantara umatnya yang mempergunakan masa mudanya untuk menuntut ilmu agama, yaitu ia akan mendapatkan naungan Allah pada hari dimana tidak ada naungan selain naungan-Nya. (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah tentang 7 golongan yang diberi naungan ketika hari kiamat)

Namun, tidak sedikit di antara mereka ada yang mengajarkan apa yang seharusnya bukan ranah kemampuan mereka. Apalagi jika tidak memiliki latar belakang pendidikan agama secara mendalam seperti tafsir, syari’at dan hukum, dan sebagainya, sehingga menimbulkan polemik di kalangan masyarakat. Bahkan akhir-akhir ini muncul istilah “ustadz google”, “santri youtube”, karbitan, dan sebagainya. Istilah tersebut  kurang baik itu tentunya perlu diluruskan sebelum menimbulkan kesalahpahaman yang lebih buruk di antara umat.

Hal dasar yang perlu diperhatikan adalah mencari dan memilih guru yang tepat sehingga nantinya tidak akan terjerumus dalam pemahaman yang keliru. Ini sangat penting, mengingat belakangan ini juga tidak sedikit masyarakat yang menganggap seseorang itu “ustadz” hanya karena ia mampu berbicara depan publik ataupun berkreasi di media sosial dengan membawakan ayat Al-Qur’an maupun hadits-hadits Rasulullah. Padahal, tak jarang latar belakang orang tersebut tidak memiliki dasar pemahaman agama yang cukup baik.

Kriteria Guru menurut Syaikh Az-Zarnuji

Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim: Thariq at-Ta’allum, salah satu kitab klasik populer tentang pedoman belajar, Syaikh Az-Zarnuji mengatakan bahwa seorang muslim ketika hendak belajar atau berguru maka ia harus memperhatikan hal-hal berikut:

Baca Juga  Teladan Rasulullah Soal Cinta Tanah Air

Pertama, memilih orang yang berilmu tinggi dan berpengetahuan luas. (Ta’lim al-Muta’allim, hlm. 13).

Seorang guru yang baik ialah dia yang memiliki keluasan ilmu, wawasan dan pengetahuan serta memiliki keahlian dalam bidang tertentu. Jika ingin belajar tafsir, fikih, hadits maka datangilah ulama yang kompeten dan jika ingin belajar biologi, geografi, fisika maka datangilah ahlinya.

Kedua, memilih orang yang paling wara’. (Ta’lim al-Muta’allim, hlm. 13).

Wara’ artinya mampu menghindar dari melakukan hal yang haram ataupun keburukan. Ini sangat penting karena berapa banyak doktor, insinyur, pejabat pemerintah yang berilmu tinggi namun melakukan tindak kejahatan seperti korupsi, suap, menindas rakyat kecil akibat tidak ada pertanggungjawaban mereka akan ilmu yang telah didapatkan.

Ketiga, memilih orang yang lebih berumur. (Ta’lim al-Muta’allim, hlm. 13)

Hal ini membuat seorang pelajar lebih takzim dan hormat kepada gurunya sebagaimana perintah Rasulullah agar menghormati orang yang lebih tua. Meskipun belajar kepada orang yang sebaya ataupun lebih muda boleh-boleh saja, akan tetapi hal tersebut akan mengurangi rasa takzim dan hormat. Juga biasanya, orang-orang yang berumur lebih kaya akan pengalaman sehingga patut untuk ditimba ilmunya.

Sebagaimana Imam Abu Hanifah yang memperhatikan kredibilitas tersebut sebelum akhirnya mantap memilih Syaikh Hammad bin Abi Sulaiman sebagai salah satu gurunya sehingga manfaatnya beliau menjadi salah satu ulama mazhab yang masyhur di kalangan umat Islam.

Cara Memilih Guru

Syaikh Az-Zarnuji juga mengatakan bahwa seorang pelajar hendaknya bersabar untuk mempelajari ilmu satu persatu hingga tuntas dan paham, sehingga tidak comot sana sini yang dapat menambah kebingungan serta harus bersabar akan keinginan nafsunya disaat ia sedang belajar.

Kriteria dari Syaikh Az-Zarnuji di atas sangat aplikatif untuk memilih guru dalam menuntut ragam ilmu pengetahuan, baik agama maupun sains. llmu agama dan sains tidak pernah kontradiksi. Jika dalam mempelajari sains wajib dari ahlinya, maka mempelajari agama pun lebih diwajibkan. Sebab, agama ini dibangun karena ilmu. Orang muslim harus berpengetahuan dan berwawasan luas.

Baca Juga  Baru Belajar Agama Jadi Ustadz, Bolehkah?

Muhammad bin Sirin, salah seorang tabi’in senior mengatakan: “Sesungguhnya agama ini dibangun diatas ilmu, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil ilmu tersebut”. (Siyar A’lam An-Nubala, J/4, hlm. 611).

Ikhlas dalam Menuntut Ilmu

Meski tampak cukup sulit, jika memang dilaksanakan dengan niat yang ikhlas dan kuat akan terasa ringan. Hal ini supaya ilmu yang didapatkan benar-benar berguna dan bukan sekadar ingin bergelar ustadz ataupun ulama.

Sebab tak sedikit orang yang asal-asalan mengambil ilmu, terutama dari media sosial atau internet tanpa ada sumber referensi yang dapat dipertanggungjawabkan. Juga tak sedikit orang-orang yang cukup berani mengajar lewat media sosial dengan bekal ilmu yang didapat dari media sosial. Tak sedikit pula masyarakat awam yang menggelari mereka ustadz, julukan khas bagi pemuka umat Islam di Nusantara.

Jika mereka bertujuan untuk menyampaikan (tabligh) apa yang diajarkan oleh gurunya yang mumpuni dan diakui kredibilitasnya, maka itu hal yang positif selama dapat dipertanggungjawabkan. Namun jika mereka mengajarkan sesuatu (ta’lim), maka hendaklah berdasarkan ilmu dan referensi yang shahih (benar) dan sharih (jelas).

Maka kriteria diatas sudah sepatutnya dipraktekkan oleh masyarakat muslim dalam menuntut ilmu (ta’allum). Tidak salah jika ingin belajar agama dari media sosial, akan tetapi sumber yang dirujuk dapat dipertanggungjawabkan dan kredibel serta disertai belajar secara tawajjuh (bertatap muka) kepada guru di sekitar yang kompeten. Jangan jadikan “popularitas” sebagai alasan untuk mengambil ilmu sebelum mengetahui dengan pasti apakah orang tersebut layak untuk dijadikan guru.

Demikian cara mencari guru dan kriterianya berdasarkan nasihat dari Syaikh Az-Zarnuji. Wallahu A’lam bishshawwab.

Editor: Nabhan

8 posts

About author
Alumni TMI PP. Darussalam Kersamanah, Mahasiswa
Articles
Related posts
Akhlak

Mentalitas Orang yang Beriman

3 Mins read
Hampir semua orang ingin menjadi pribadi yang merdeka dan berdaulat. Mereka ingin memegang kendali penuh atas diri, tanpa intervensi dan ketakutan atas…
Akhlak

Solusi Islam untuk Atasi FOPO

2 Mins read
Pernahkan kalian merasa khawatir atau muncul perasaan takut karena kehilangan atau ketinggalan sesuatu yang penting dan menyenangkan yang sedang tren? Jika iya,…
Akhlak

Akhlak dan Adab Kepada Tetangga dalam Islam

3 Mins read
Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis berikut ini: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds