Kita pasti sering mendengar kata yatim, piatu, yatim piatu. Siapa mereka? Adakah tuntunan untuk menyantuni anak yatim? Dan bolehkah memberikan santunan sambil mengusap/membelai kepala anak yatim, yang itu telah menjadi tradisi masyarakat Indonesia sampai hari ini.
Seorang anak dikatakan yatim apabila ditinggal mati oleh ayahnya, sedangkan piatu adalah keadaan seorang anak yang ditinggal mati oleh ibunya. Jadi, disebutkan dia berstatus yatim piatu apabila kedua orang tuanya sudah meninggal dunia.
Pengertian Yatim
Dalam bahasa Arab, yatim diartikan sebagai orang yang kehilangan (kematian) seorang ayah. Di sini, anak yatim wajib disantuni, dikarenakan dirinya kehilangan sosok ayahnya yang menanggung nafkahnya. Begitu pun dengan anak piatu yang kehilangan ibunya, ia wajib disantuni layaknya anak yatim.
Namun, terdapat batas dalam status keyatiman seseorang, yaitu ketika ia telah baligh dan sudah hidup dalam kemandirian, punya pekerjaan, dan bisa menafkahi diri sendiri bahkan sudah siap untuk menikah.
Sebagaimana firman Allah Swt yang berbunyi:
وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ ءَانَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (QS. an-Nisa: 6)
عَنْ سَهْلٍ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئًا.رواه البخارى
Artinya: “Diriwayatkan dari Sahl, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Aku dan pemelihara anak yatim, di surga seperti ini. Lalu beliau mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah dan merenggangkan di antara keduanya sedikit.” (HR. Al-Bukhari).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ وَأَشَارَ مَالِكٌ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى. رواه مسلم
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Pemelihara anak yatim kepunyaannya (masih ada hubungan keluarga) atau kepunyaan orang lain (tidak ada hubungan keluarga), dia dan aku seperti dua jari ini di surga.’ Lalu Malik mengisyaratkannya dengan jari telunjuk dan jari tengah.” (HR. Muslim).
Bagaimana Cara Menyantuni Anak Yatim?
Setelah kita mengetahui tentang definisi dari anak yatim, piatu, dan yatim piatu. Tentu tugas kita tidak hanya sampai disitu saja, kita punya kewajiban untuk memperhatikan, menyantuni atau membantu mereka. Kewajiban untuk selalu saling bantu-membantu sesama sangatlah dianjurkan, apalagi itu terhadap anak yatim.
Sedangkan untuk cara menyantuni anak yatim memang tidak dijelaskan secara terperinci dan tidak dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Seperti pada umumnya, kita bisa menyantuni mereka dengan cara memulaikan, memperhatikan, memenuhi kebutuhan hidup mereka; pendidikan, tempat tinggal, pakaian dan lain-lain, yang itu berguna bagi kehidupan mereka di masa kini dan masa yang mendatang.
Bolehkah Mengusap/Membelai Kepala Anak Yatim?
Salah satu tradisi yang masih melekat di masyarakat Indonesia sampai hari adalah tradisi mengusap/membelai kepala anak yatim. Biasanya, ini dilakukan pada saat memberikan santunan/bantuan kepada si anak yatim. Hal demikian boleh saja dilakukan, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلاً شَكَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَسْوَةَ قَلْبِهِ فَقَالَ امْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ وَأَطْعِمْ الْمِسْكِينَ. [رواه أحمد ورجاله رجال الصحيح
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa ada seorang laki-laki yang mengadukan kekerasan hatinya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau bersabda: ‘Usaplah kepala anak yatim dan berilah makan orang miskin.” (HR. Ahmad dengan perawi shahih).
Pada hadits di atas, mengusap/membelai kepala anak yatim dan fakir miskin itu memilik dampak yang baik untuk diri pribadi, salah satunya dapat melembutkan hati yang keras. Namun, hal itu dilakukan benar-benar dengan kesungguhan dan tidak karena paksaan dari siapapun. Mengusap kepala anak yatim bukanlah sebuah ritual khusus, melainkan adalah cara menyatakan kasih sayang, empati, kecintaan kepada mereka.
Adapun untuk tradisi mengusap kepala bagi remaja laki-laki kepada remaja perempuan, alangkah baiknya tidak dilakukan, sebab hal itu dapat menimbulkan fitnah diantara keduanya.
Sumber: Fatwa Tarjih & Majalah Suara Muhammadiyah, No. 24, 2006
Editor: Saleh