Pada masa ini, hadis-hadis Nabi mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi oleh Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz, salah seorang khalifah dari Dinasti Umayyah. Mulai memerintah di penghujung abad pertama Hijriyah, merasa perlu untuk mengambil langkah-langkah bagi penghimpunan, dan penulisan hadis nabi secara resmi, yang selama ini berserakan di dalam catatan dan hafalan para sahabat dan tabi’in.
Hal tersebut dirasakannya begitu mendesak karena pada masa itu wilayah kekuasaan Islam telah meluas, sampai ke daerah-daerah di luar Jazirah Arab. Di samping itu, para sahabat yang hafal dan mencatat hadis Nabi, bahkan menjadi rujukan ahli hadis sebagian besar telah meninggal dunia, karena faktor usia dan akibat banyaknya terjadi peperangan. Ini semua merupakan gambaran dari keadaan awal pemerintahan Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz, dan tentunya hadis masih belum dibukukan secara resmi.
Nawir Yuslem, dalam bukunya Ulum al-Hadis menjelaskan bahwa, ada beberapa faktor yang mendorong Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz mengambil inisiatif untuk memerintahkan para gubernur dan pembantunya untuk mengumpulkan dan menuliskan hadis di antaranya adalah:
Pertama, tidak adanya lagi penghalang untuk menuliskan dan membukukan hadis yaitu kekhawatiran bercampurnya Al-Qur’an dengan hadis, hal tersebut karena Al-Qur’an ketika itu telah dibukukan dan disebarluaskan.
Kedua, munculnya kekhawatiran akan hilang dan lenyapnya hadis, karena banyak para sahabat yang meninggal dunia akibat usia lanjut atau karena seringnya terjadi peperangan.
Ketiga, semakin maraknya kegiatan pemalsuan hadis yang dilatarbelakangi oleh perpecahan politik dan perbedaan mazhab di kalangan umat Islam. Apabila keadaan ini dibiarkan terus, akan merusak kemurniaan ajaran Islam. Sehingga, upaya untuk menyelamatkan hadis dengan cara pembukuannya setelah melalui seleksi yang ketat, harus segera dilakukan.
Keempat, karena semakin luasnya daerah kekuasaan Islam, disertai dengan semakin banyak dan kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam, maka hal tersebut menuntut mereka untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk dari hadis Nabi, selain petunjuk dari Al-Qur’an itu sendiri.
Pemrakarsa Pengodifikasian Hadis Secara Resmi dari Pemerintah
Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz, yang dikenal secara umum dari kalangan penguasa, merupakan tokoh yang memrakarsai pembukuan hadis Nabi secara resmi. Akan tetapi, menurut ‘Ajjaj al-Khatib berdasarkan sumber yang sah dari Thabaqat ibn Sa’d, kegiatan pembukuan hadis ini telah lebih dahulu diprakarsai oleh Abdul ‘Aziz ibn Marwan ayah dari Umar bin Abdul Aziz sendiri. Ketika itu beliau menjabat sebagai gubernur di Mesir.
Riwayat tersebut menceritakan bahwa ‘Abd al-‘Aziz telah meminta Katsir ibn Murrah al-Hadhrami, seorang tabi’in di Himsha yang pernah bertemu dengan tidak kurang dari 70 veteran perang Badar dari kalangan sahabat, untuk menuliskan hadis-hadis Nabi yang pernah diterimanya dari para sahabat selain Abu Hurairah. Selanjutnya, mengirimkannya kepada ‘Abd al-‘Aziz sendiri.
‘Abd al-‘Aziz menyatakan bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sudah dimiliki catatannya, yang didengarnya sendiri secara langsung. Dengan demikian, perintah tersebut adalah pertanda bahwa telah dimulainya pembukuan hadis secara resmi, yang diprakarsai oleh penguasa. Hal tersebut terjadi pada tahun 75 Hijriyah.
Pelaksanaan Kodifikasi Hadis atas Perintah Umar Ibn ‘Abd Al-‘Aziz
Meskipun ‘Abd al-Aziz, sebagaimana yang dikemukakan oleh ‘Ajjaj al- Khatib, telah lebih dahulu memrakarsai pengumpulan hadis. Namun karena kedudukannya hanya sebagai seorang Gubernur, maka jangkauan perintahnya untuk mengumpulkan hadis kepada aparatnya sangat terbatas sekali, sesuai dengan keterbatasan kekuasaan dan wilayahnya.
Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz Putra dari ‘Abd al-‘Aziz sendiri yang memprakarsai pengumpulan hadis secara resmi dan dalam jangkauan yang lebih luas. Hal tersebut dikarenakan posisinya sebagai khalifah dapat memerintahkan para gubernurnya untuk melaksanakan tugas pengumpulan dan pengkodifikasian hadis. Abu Bakar Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm Gubernur di Madinah adalah di antara gubernur yang menerima instruksi dari Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz untuk mengumpulkan hadis.
Dalam instruksinya tersebut, Umar memerintahkan Ibn Hazm untuk menuliskan dan mengumpulkan hadis yang berasal dari koleksi Ibn Hazm sendiri, Amrah binti ‘Abd al- Rahman, seorang faqih dan muridnya Sayyidah Aisyah RA, Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar Al-Siddiq, seorang pemuka tabi’in dan salah seorang dari fuqaha yang tujuh.
Ibn Hazm melaksanakan tugas tersebut dengan baik. Tugas yang serupa juga dilaksanakan oleh Muhammad ibn Syihab al-Zuhri, seorang ulama besar di Hijaz dan Syam. Dengan demikian, kedua ulama di atas lah yang yang merupakan pelopor dalam kodifikasi hadis, berdasarkan perintah Khalifah Umar ibn ‘Abd al-‘Aziz.
Dari kedua tokoh di atas, para ulama hadis lebih cenderung memilih al-Zuhri sebagai kodifikasi pertama dari pada Ibn Hazm, hal ini adalah karena kelebihan al-Zuhri dalam hal berikut: Al-Zuhri lebih dikenal sebagai ulama di bidang hadis dibandingkan dengan yang lainnya. 2. Dia berhasil menghimpun seluruh hadis yang ada di Madinah, sedangkan Ibn Hazm tidak demikian. 3. Hasil kodifikasinya dikirimkan ke seluruh penguasa di daerah-daerah sehingga lebih cepat tersebar.
Era Pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun
Periode ini berlangsung sejak masa pemerintahan khalifah Al-Ma’mun sampai pada awal pemerintahan Khalifah al-Muqtadir dari kekhalifahan Dinasti Abbasiyah. Pada periode ini, para ulama hadis memusatkan perhatian mereka pada pemeliharaan keberadaan dan terutama kemurniaan hadis-hadis nabi sebagai antisipasi mereka terhadap kegiatan pemalsuan hadis yang semakin marak.
Pada abad ke-2 sebelumnya, perkembangan ilmu pengetahuan Islam pesat sekali dan telah melahirkan para imam mujtahid di berbagai bidang di antaranya dalam bidang fiqih dan ilmu kalam.
Pada dasarnya, para imam mujtahid tersebut meskipun dalam beberapa hal mereka berbeda pendapat, mereka saling menghormati dan menghargai pendapat masing-masing. Akan tetapi, para pengikut masing-masing Imam, terutama setelah memasuki abad ke-3 Hijriyah, berkeyakinan bahwa pendapat gurunya yang paling benar dan bahkan hal tersebut sampai menimbulkan bentrokan pendapat yang semakin meruncing. Di antara pengikut mazhab yang sangat fanatik akhirnya menciptakan hadis-hadis palsu dalam rangka mendukung mazhabnya dan menjatuhkan lawannya.
Menyikapi hal tersebut, ulama tidak tinggal diam, mereka berupaya untuk melestarikan hadis, memelihara kemurnian hadis. Di antaranya dengan cara: pertama, perlawanan ke daerah-daerah. Kedua, pengklasifikasian hadis kepada marfu’, mauquf, dan maqthu’. Ketiga, penyeleksian kualitas hadis dan pengklasifikasiannya kepada shahih, hasan, dan dhaif.
Bentuk penyusunan kitab hadis pada periode ini ada tiga bentuk yaitu: pertama, Kitab Shahih, kitab ini hanya menghimpun hadis-hadis shahih, sedangkan yang tidak shahih tidak dimasukkan ke dalamnya.
Kedua, Kitab Sunan, di dalam kitab ini selain dijumpai hadis-hadis sahih juga didapati hadis yang berkualitas dhaif, dengan syarat tidak terlalu lemah dan tidak munkar.
Ketiga, Kitab Musnad, di dalam kitab ini hadis-hadis disusun berdasarkan nama perawi pertama, urutan nama perawi pertama ada yang berdasarkan urutan kabilah, seperti mendahulukan Bani Hasyim dari yang lainnya, ada yang berdasarkan nama sahabat menurut urutan waktu memeluk Islam, dan ada yang menurut urutan lainnya seperti urutan Huruf Hijaiyah.
Era Khalifah Al-Muqtadir dan Khalifah Al-Mu’tashim
Periode ini dimulai pada masa Khalifah Al-Muqtadir sampai Khalifah Al Mu’tashim, meskipun pada periode ini kekuasaan Islam mulai melemah dan bahkan mengalami keruntuhan pada pertengahan abad ke-7 Hijriyah.
Namun, kegiatan para ulama hadis dalam rangka memelihara dan mengembangkan hadis tetap berlangsung sebagaimana pada periode- periode sebelumnya, hanya saja hadis-hadis yang dihimpun pada periode ini tidaklah sebanyak yang dihimpun pada periode-periode sebelumnya.
Bentuk penyusunan kitab hadis pada masa ini: Pertama, Kitab Athraf, di dalam kitab ini penyusunnya hanya menyebutkan sebagian dari matan hadis tertentu, kemudian menjelaskan seluruh sanad dari matan itu, baik sanad yang berasal dari kitab hadis yang dikutip matannya ataupun dari kitab- kitab lainnya.
Kedua Kitab Mustakhraj, kitab ini memuat matan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim atau keduanya, atau lainnya. Selanjutnya, penyusun kitab ini meriwayatkan matan hadis tersebut dengan sanadnya sendiri.
Ketiga, Kitab Mustadrak, kitab ini menghimpun hadis-hadis yang memiliki syarat-syarat Bukhari dan Muslim atau yang memiliki salah satu syarat dari keduanya. 4) Kitab Jami’, kitab ini menghimpun hadis-hadis yang termuat dalam kitab-kitab yang telah ada.
Editor: Yahya FR