Perspektif

Bagaimana Pendidikan yang Ideal itu?

4 Mins read

Kemajuan suatu bangsa bergantung kepada kualitas masyarakatnya. Bangsa Indonesia memiliki jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa yang harus dikelola dengan bijaksana demi menjadi bangsa yang berkemajuan. Pendidikan menjadi faktor terpenting yang akan menentukan kualitas tersebut.

Tetapi kenyataannya, dibandingkan dengan negara-negara Asia lain, bangsa Indonesia masih tertinggal dalam masalah pendidikan. Hal tersebut menjadi agenda besar bagi seluruh elemen masyarakat, bukan hanya pemerintah atau negara.

Para Wali yang Memberikan Pendidikan

Kebutuhan akan pendidikan, baik pendidikan moral, agama, maupun pendidikan umum,  sesungguhnya telah direspon semenjak kehadiran para wali (baca: insan kekasih Allah).

Dakwah-dakwah yang mereka lakukan bukan hanya untuk menyebarkan agama Islam, tetapi juga demi pendidikan. Sunan Maulana Malik Ibrahim mendirikan sekolah asrama Islam yang pertama di Jawa atau yang dikenal sebagai pesantren.

Kehadiran pesantren berfungsi sebagai tempat mendidik moral dan akhlak. Serta, membuka pikiran dan wawasan masyarakat pada masa itu.

Pesantren hadir di tengah-tengah perkampungan (baca: desa) sebagai media bagi orang-orang yang menginginkan pendalaman ilmu seputar agama atau mereka yang kesulitan untuk mendapatkan pendidikan formal.

Pendidikan pesantren pada awalnya difokuskan untuk mendidik para santri, mendalami ilmu-ilmu dan ajaran agama Islam. Para santri dididik untuk membaca dan memahami buku (baca: kitab) berbahasa Arab, serta ilmu keagamaan.

Metode Sorogan

Keistimewaan pesantren terletak pada metode pendidikan yang amat individual sekaligus demokratis. Dalam bahasa Jawa, metode tersebut dikenal dengan istilah “Sorogan” yang memiliki makna diberikan kebebasan untuk memilih mata pelajaran.

Metode “Sorogan” inilah yang kemudian dikloning (baca: ditiru) oleh sistem pendidikan modern sebagai activity learning system. Metode “Sorogan” secara istilah diartikan kebebasan yang diberikan kepada santri untuk memilih bidang tertentu sesuai dengan minatnya, misalkan bidang kajian Ilmu Hadis, Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Fiqh, dan lainnya.

Baca Juga  Uswah Hasanah Sebagai Falsafah Pendidikan

Kemudian, santri memilih kyai (baca: pemimpin pesantren) yang ahli dalam bidang tersebut dan santri menyiapkan kitab-kitab yang relevan. Serta, santri belajar sendiri terlebih dahulu dalam bentuk membuka kamus, bertanya kepada santri, dan menyiapkan topik yang akan diajukan kepada mentornya (baca: Kyai) hingga terjadi proses mentoring antara santri dan kyai.

Sistem Pendidikan Hari ini

Sementara itu, di sisi lain K.H. Mustofa Bisri menyororoti sistem pendidikan dewasa ini banyak diwarnai oleh kepentingan pemerintah. Titik berat pendidikan lebih ditekankan kepada prestasi akademik tanpa diimbangi dengan pendidikan moral dan akhlak.

“Raport anak sekolah di lembaga formal maupun non-formal jika Anda perhatikan, bentuknya adalah sama dan yang dinilai dengan seksama (baca: detail) menggunakan angka, bahkan koma tiga, koma lima, adalah prestasi pelajaran matematika, ipa, ips, dan seterusnya. Nanti di bagian paling belakang, terdapat kolom ‘kelakuan baik’ yang penilaiannya berupa huruf (A,B,C,D) dan seluruh anak Indonesia mendapatkan nilai “B”.

Guru berargumentasi nilai “A” ‘terlalu baik’ dan nilai “C” merasa kasian.”

Hal tersebut menjadi indikator bahwa kelakuan baik (baca: moral dan akhlak) bukanlah hal penting dan hanya menjadi pelengkap, sementara prestasi yang utama.

Pergeseran fokus pendidikan dari kekayaan batin kepada kekayaan materi menimbulkan krisis moral individu dan secara kolektif krisis moral sosial. Menghadapi kenyataan ini, ada sebagian kaum Muslim bersikap dikotomis mengutuk diri terhadap perubahan zaman dan teknologi yang dianggap membawa pengaruh negatif.

Kemudian, muncul berbagai masalah yang dihadapi oleh umat Islam atas ketidaksiapan dalam merespon era teknologi, sehingga muncul kelompok-kelompok Muslim tertentu yang membuat sebuah komunitas dan hidup di lingkungannya sendiri tanpa melibatkan kelompok lain.

Adanya Dikotomi Ilmu

Dalam pola pikir umat Muslim masih ditemukan dikotomi atau pemisahan antara ilmu-ilmu sekuler dengan ilmu-ilmu agama, sehingga hal tersebut dipandang menjadi racun yang menghambat kemajuan dunia Islam.

Baca Juga  Santri Masuk Juni Hiraukan Pandemi, Bisakah?

Kalau kita amati, seseorang lebih meletakkan bobot ilmu agama untuk mengukur keberagamaan orang lain. Sehingga ilmu-ilmu sekuler (baca: ilmu pengetahuan dan tehnologi) umat Muslim tertinggal jauh di belakang dikarenakan tidak meletakkan prioritas utama terhadapnya.

Kaum Muslim harus mampu membuka diri dengan perubahan zaman dan gegap gempitanya tehnologi dengan memilih dan memilah yang terbaik, tanpa harus mengharamkannya.

Adanya kelompok Islam tertentu yang melakukan penafsiran agama secara berbeda tanpa melihat secara keseluruhan latar belakang ideologi dan paham-paham yang diikuti oleh mereka dinilai seperti bentuk dikotomi dalam pemikiran.

Kemudian, itulah yang akhirnya melahirkan radikalisme di kalangan Muslim tertentu dan radikalisme akan melahirkan kekerasan dan teror di berbagai belahan dunia, hingga memunculkan trauma secara psikologis yang berkepanjangan bagi umat Muslim dunia bahkan Indonesia.

Radikalisme dan Terorisme

Sikap radikalisme dan terorisme yang dilakukan oleh sekelompok Muslim tertentu diinterpretasikan secara gradual dan parsial oleh dunia sebagai produk dari pesantren.

Gambaran yang akhirnya merugikan dan tidak adil bagi pesantren, bagi masyarakat Indonesia, dan bagi Islam yang mencintai kedamaian. Buya Ahmad Syafi’i Ma’arif yang merupakan cendikiawan dan ‘ulama dari Muhammadiyah mengatakan, “Orang-orang luar melihat pesantren sebagai sarang radikalisme dan terorisme sesungguhnya adalah penglihatan yang sangat imaginatif. Memang ada beberapa pesantren yang alumninya menjadi radikal, namun dengan jumlah yang kecil.”

Diakui ada pesantren-pesantren yang santrinya bersikap radikal, namun dewasa ini semakin banyak dijumpai pesantren yang moderat. Inilah kenyataan dan tantangan yang dihadapi pendidikan Islam dan pesantren di Indonesia.

Tugas ini menjadi tugas pemimpin Indonesia, masyarakat, dan pemimpin agama untuk semakin memperhatikan pendidikan umat Muslim di Indonesia agar menajdi basis pendidikan moral dan pengetahuan, sehingga melahirkan manusia yang benar-benar berkualitas.

Baca Juga  Fakta di Balik Budaya Pluralis Menurut Asghar Ali Engineer

Dengan kemajuan dan perkembangan zaman, dunia pendidikan Muslim dihadapkan kepada tantangan yang menggugah pola-pola tradisional dan pemikiran konservatif untuk lebih terbuka, mampu beradabtasi dengan kehidupan modern, tanpa kehilangan nilai-nilai Islami yang hakiki.

Bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin yang memiliki moralitas tinggi untuk bisa membangun Indonesia baru ke depan yang ditempa melalui sinergi pesantren dan pendidikan umum.

Muslim yang Ideal

Pada intinya, kualitas sumber daya Muslim Indonesia yang ideal akan terlihat dalam kualitas keislaman yang dewasa dan mampu mencerminkan kemajemukan bangsa Indonesia dan mengedepankan sisi kemanusiaannya.

Kita semua berharap kekayaan ilmu yang dimiliki masyarakat Indonesia mampu membebaskan bangsa Indonesia dari keterbatasan, kemiskinan, keradikalan, agar mampu membawa bangsa Indonesia pada hari depan bangsa yang berakhlak dan cerdas, mampu menghadapi modernitas tanpa kehilangan nilai-nilai moral kemanusiaan dan rahmat untuk semua golongan di muka bumi.

Islam di Indonesia sudah hidup dan bermasyarakat selama beberapa abad. Namun, tantangan yang sangat kuat bagi umat Islam di Indonesia adalah pada abad ke-21 ini. Pendidikan pesantren dan umum yang telah ada seharusnya bisa mengatasi berbagai gejolak zaman.

Masyarakat Indonesia memiliki kekayaan pendidikan agama dan umum yang dapat berkomplementer dalam menghadapi perubahan zaman yang semakin tak menentu. Kelebihan inilah yang seharusnya dimanfaatkan dan kembangkan secara optimal.

Editor: Yahya FR

Ali Ridho
15 posts

About author
Penggiat Literasi dan Pendidik
Articles
Related posts
Perspektif

Nasib Antar Generasi di Indonesia di Bawah Rezim Ekstraktif

4 Mins read
Indonesia, sebagai salah satu negara dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, telah lama bergantung pada sektor ekstraktif sebagai pilar utama perekonomian….
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds