Buya HAMKA adalah nama yang tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Walaupun beliau sudah pergi meninggalkan kita lebih 40 tahun yang lalu, namun nama beliau masih hidup hingga kini.
Buya HAMKA tidak hanya populer di Indonesia, tetapi juga di Malaysia, Nusantara umumnya. Saking populernya Buya HAMKA di Malaysia, seolah-olah Buya HAMKA adalah warga Malaysia.
Putera ketiganya, H. Rusydi Hamka dalam karyanya Pribadi dan Martabat Buya Hamka (2018:19) menuturkan sepenggal kisah ketika Buya Hamka dianugerahi gelar Doktor Kehormatan (Doctor Honoris Causa) oleh Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM).
Ketika Perdana Menteri Malaysia sekaligus Presiden Universiti Kebangsaan Malaysia saat itu, Tun Abdul Razak menyampaikan pidato sambutannya, ia menyebut promovendus Prof. Dr. Hamka sebagai seorang pujangga yang menjadi kebanggaan semua rumpun Melayu. “HAMKA bukan hanya milik bangsa Indonesia, tetapi juga kebanggaan bangsa-bangsa Asia Tenggara” ujar Tun Razak.
Bahkan beberapa tahun yang lalu, ada tokoh Malaysia yang berniat mendirikan Museum Buya HAMKA di Malaysia. Masih hidupnya nama Buya HAMKA di tengah-tengah umat terlihat dari banyaknya seminar-seminar yang diadakan tentang ketokohan dan pemikirannya sampai saat ini. Selain itu, karya-karya beliau diterbitkan ulang baik di Indonesia maupun di Malaysia.
Namun yang menarik dari Buya HAMKA ialah walaupun beliau seorang yang dipandang sebagai tokoh kaum modernis, beliau cukup apresiatif terhadap tradisi keagamaan tradisional.
Ini dibuktikan oleh upaya Buya HAMKA mengangkat kembali ajaran tasawuf yang sebelumnya dipandang sebelah mata dan identik dengan kaum tradisional, melalui dua karyanya, Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya dan Tasawuf Modern.
Dalam buku yang pertama jelas bagaimana Buya HAMKA dengan bijak menyikapi pernyataan-pernyataan aneh yang muncul dari sebagian tokoh sufi yang disebut dengan syatahat. Syatahat adalah ungkapan klaim Ketuhanan dari seorang sufi ketika dia sedang berada dalam mabuk ketuhanan (al-fana’).
Sebagian kalangan non-sufi melabel sang sufi yang terlibat dalam syatahat ini sebagai kufr. Tetapi tidak untuk Buya HAMKA. Dengan bijaksana beliau menyatakan, rasa cinta yang mendalam kepada kekasih menyebabkan perasaan menjadi satu. Tidak ada lagi perbedaan antara aku dan engkau.
Selain itu, diriwayatkan Buya HAMKA juga mengikuti tarekat secara khusus. Tokoh yang pernah menentang tarekat pada masa mudanya ini (termasuk sang ayah, Syeikh Dr. Abdul Karim Amrullah adalah pengkritik keras tarekat pada zamannya) tercatat sebagai salah seorang murid Abah Anom (Syeikh Shahibul Wafa Tajul Arifin) dalam Tarekat Qadiriyah Wannaqhsabandiah (TQN).
Buya HAMKA dan Filsafat
Kenapa saya tertarik membahas tema Buya HAMKA dan filsafat? Tidak dipungkiri sampai saat ini masih banyak umat Islam yang belum bisa menerima filsafat untuk tidak mengatakan membenci filsafat.
Filsafat dipandang sesuatu yang tidak cocok atau bahkan membahayakan bagi agama (Islam). Mengingat otoritas Buya HAMKA di bidang Keislaman, dengan mengangkat pandangan dan sikap beliau terhadap filsafat. Semoga tulisan sederhana ini dapat memberi pencerahan kepada umat terkait hubungan filsafat dan agama.
Walaupun Buya HAMKA memberikan pujian kepada tokoh aliran Wahabi, Muhammad bin Abdul Wahab dalam bukunya Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, namun dalam hal filsafat beliau tidak mengikuti sikap Salafi-Wahabi yang anti rasionalitas (filsafat). Buya HAMKA bukan hanya sekadar tidak anti filsafat, tetapi dapat dikatakan bahwa beliau seorang peminat filsafat.
Minat Buya HAMKA terhadap filsafat terbukti dari berminatnya beliau membaca buku-buku tentang pemikiran filsuf Barat melalui terjemahannya ke dalam bahasa Arab.
Minat Buya HAMKA terhadap filsafat juga dibuktikan oleh lahirnya karya-karya beliau yang bercorak filsafat, bahkan beberapa di antaranya menggunakan judul filsafat seperti: Falsafah Hidup , Falsafah Ketuhanan, Lembaga Hidup dan Lembaga Budi. Karya-karya beliau yang lain, walau tidak menggunakan judul filsafat secara eksplisit, tetapi tidak bebas dari corak dan kandungan filsafat seperti Tasawuf Modern.
Dalam bagian awal Falsafah Hidup misalnya, Buya HAMKA menegaskan bahwa Islam mendukung filsafat seperti yang ditulisnya dibawah ini:
“Agama Islam dari sumbernya yang asli, yaitu al-Qur’an, adalah pembela filsafat. Bagaimana akan dimungkiri dalam kitab suci itu senantiasa di sesali orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. “Tidaklah kamu gunakan akalmu?” “Tidaklah kamu pikirkan?”, “Ambil perbandinganlah hai orang-orang yang mempunyai pandangan”. Dan lain-lain lagi, berates-ratus ayat untuk mengetuk pintu kesadaran pikiran. (Falsafah Hidup, xxi)
Orang yang membaca al-Qur’an dengan penuh minat, lanjut Buya HAMKA, orang yang membersihkan jiwanya untuk mencari kebenaran, dengan tanpa sepengetahuannya, akan berjalan menuju filsafat. Buya HAMKA mengutip ayat al-Qur’an sebagai argumennya:
“Apakah mereka tidak melihat kepada unta, betapa ia diciptakan; dan kepada langit, betapa ia diangkatkan; dan kepada bukit-bukit, betapa ia ditancapkan, dan kepada bumi, betapa ia dihamparkan (al-Ghatsiah 88:20).
“Sesungguhnya pada kejadian langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang, adalah menjadi bukti bagi orang yang mempunyai sari pikiran”.
Disebabkan ayat ini, menurut Buya HAMKA, menerawanglah pikiran manusia di dalam cakrawala luas alam semesta, berpuluh, berates bahkan beratus dan beribu tahun, sampai ia bertemu dengan hakikat itu, di sana pikiran terhenti dan tunduk, maka timbullah ingatan kepada-Nya.
“[yaitu] orang-orang yang ingat akan Allah waktu tegak dan waktu duduk: ya Tuhanku, tidaklah engkau jadikan semuanya ini dengan sia-sia. Amat sucilah engkau, peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali Imran 3:191)
Dalam Surah al-Dzariyat 51: 20-22, terang Buya HAMKA, jelas terbentang tiga pokok tempat beredar filsafat: bumi tempat manusia hidup, manusia sendiri dan langit:
Dan pada bumi adalah bukti orang-orang yang yakin (20)
Dan pada dirimu sendiri, apakah tidak kamu paandangi? (21)
Dan pada langit rezekimu dan apa yang dijanjikan buat kamu (22)
Dengan jiwa filsafat, tegas Buya HAMKA, ketika membaca ayat-ayat ini terbayang usaha kemanusiaan dan pikiran manusia, dari zaman ke zaman, hendak mengetahui rahasia. Dengan hati yang tafakkur, jauh daripada sombong dan takabur, sehingga berpadulah antara keinginan manusia hendak tahu itu, dengan tuntunan dari kekuasaan besar itu.
Dengan demikian, simpul Buya HAMKA, selaraslah jalan filsafat dengan agama. Berhenti pikiran di mana patut ia berhenti, lalu menyerah dan memohon ilham, sebagaimana dinyatakan oleh Ibn Sina.
Dalam pandangan Buya HAMKA, Filsafat dan agama tidak bertentangan. Filsafat mencari kebenaran. Sedangkan al-Qur’an sangat menganjurkan umat Islam untuk mencari kebenaran. Kebenaran itu dari Allah (QS. al-Baqarah 2:47).
Filsafat artinya mencintai kebijaksanaan (hikmah). Allah SWT melalui firmannya menjelaskan, “Allah memberi hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan siapa yang diberi hikmah, sesungguhnya ia telah dianugerahi kebaikan yang banyak,” (QS al-Baqarah 2:269).
Sementara itu Rasulullah Saw menjelaskan melalui sabdanya, “Hikmah itu adalah harta kaum beriman yang hilang. Hendaklah dipungut dimana pun ia ditemukan”.
Keyakinan bahwa filsafat adalah hikmah yang merupakan kebenaran yang bersumber dari Ilahi dan barang hilang bagi orang mukmin, jelas Buya HAMKA, telah mendorong para pemimpin kaum Muslimin (khalifah) untuk menugaskan para tokoh-tokoh ilmuan Muslim untuk menyalin buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab, yang dimulai dari masa kekhalifahan al-Mansur dan mencapai puncaknya pada masa khalifah al-Ma’mun.
Penyalinan ini menjadi penyebab kelahiran filsuf-filsuf dan ilmuwan-ilmuwan Muslim dan kegemilangan peradaban Islam, sehingga umat Islam menjadi mecusuar peradaban dunia kala itu. Muncullah filsuf-filsuf seperti al-Kindi, al-Razi, al-Farabi dan Ibn Sina, dan lain-lain.
Setelah zaman kegemilangan itu, datanglah zaman kemunduran. Beratus tahun lamanya kaum muslimin memandang filsafat sebagai “momok” yang berbahaya. Mayoritas umat Islam mengikuti al-Asy’ari dan al-Maturidi (ahl sunnah wa al-jamaah) dalam akidah. Padahal kedua aliran ini tetap menggunakan ilmu logika yang merupakan ilmu alatnya filsafat dan disusun oleh filsuf Yunani terkenal, Aristoteles.
Bagaimanapun filsafat kembali bangkit sejak pertengahan abad ke-19, berkat jasa reformis Sayyid Jamaluddin al-Afghani dan muridnya Muhamad Abduh. Sejak itu umat Islam kembali berkenalan dengan filsafat.
Dengan mengemukakan argumen dari al-Qur’an dan sunnah, jelaslah bahwa menurut Buya HAMKA bahwa filsafat yang hakikatnya ialah kegiatan berpikir mencari kebenaran sesuai dengan spirit al-Qur’an dan sunnah. Bahkan, al-Qur’an mendorong umat Islam untuk berfilsafat. Tentu saja kegiatan berfilsafat dalam Islam harus berpedoman dan dibimbing oleh wahyu (al-Qur’an dan sunnah) agar tidak tersasar dari kebenaran.
Editor: Soleh