Kekhawatiran akan masuknya logika pasar ke dalam ranah keagamaan sering kali memicu respons defensif di kalangan umat. Artikel di maklumat.id yang menyoroti “Bahaya Kapitalisme Religius sebagai Etos Muhammadiyah” yang merespons artikel lain yang terbit di ibtimes.id berjudul “Ideologi Kesejahteraan Muhammadiyah” adalah cerminan dari kecemasan tersebut, sebuah kekhawatiran bahwa nilai-nilai transenden akan tergerus oleh hitungan untung-rugi duniawi. Namun, narasi yang menempatkan kapitalisme dan religiusitas dalam posisi diametral yang saling bermusuhan sesungguhnya merupakan sebuah ide yang tidak tepat sepenuhnya.
Jika kita membedah kembali akar sosiologis modernitas melalui pemikiran Max Weber, kita akan menemukan fakta bahwa kapitalisme rasional tidak sepenuhnya lahir dari rahim keserakahan sekuler, melainkan justru mekar dari benih dan akar-akar kesalehan religius yang puritan. Oleh karena itu, menolak etos ini atas nama “kemurnian agama” justru berpotensi memangkas kaki-kaki penopang peradaban umat itu sendiri.
Akar Religius dari Semangat Kapitalisme
Max Weber, dalam karya monumentalnya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, telah membongkar kesalahpahaman umum bahwa kapitalisme semata-mata soal menumpuk harta demi hedonisme. Dalam bukunya, Weber memperkenalkan konsep Beruf atau “panggilan suci”. Bagi kaum Protestan Asketis yang disebut Weber, bekerja secara profesional, disiplin, dan sistematis di dunia bukanlah aktivitas yang terpisah dari ibadah, melainkan manifestasi tertinggi dari ketaatan kepada Tuhan.
Mereka meyakini bahwa kesuksesan dalam mengelola sumber daya duniawi secara disiplin, kerja keras, serta menolak kesenangan duniawi yang berlebihan adalah tanda dari keberkahan dan keselamatan ilahiyah. Inilah yang disebut Weber sebagai inner-worldly asceticism atau asketisme duniawi; sebuah sikap zuhud yang tidak lari ke pertapaan sunyi, melainkan zuhud yang aktif bergulat di pasar untuk menciptakan nilai tambah tanpa terjerat oleh nafsu konsumtif.
Maka, istilah “kapitalisme religius” itu bukan barang baru, dan jika Muhammadiyah sebagai suatu gerakan yang memilih prinsip manajemen modern, efisien, dan akumulasi modal untuk mengembangkan amal usahanya, itu bukanlah tanda bahwa Muhammadiyah telah terseret arus materialisme. Sebaliknya, dalam kacamata Weberian, itu adalah bentuk rasionalisasi ibadah. Mengelola rumah sakit, sekolah, atau unit bisnis dengan etos “kapitalisme religius” berarti menjalankan amanat Tuhan dengan keseriusan penuh, bukan dengan manajemen “seadanya” yang berlindung di balik dalih keikhlasan sebagaimana disebutkan dalam salah satu hadits Rasulullah SAW yang menyebutkan bahwa “Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang apabila bekerja, mengerjakannya secara profesional”.
Bahaya yang sesungguhnya bukanlah pada sistem kapitalnya, melainkan jika sistem itu kehilangan ruh religiusnya dan berubah menjadi apa yang disebut Weber sebagai “sangkar besi” (iron cage), di mana manusia bekerja dengan terkurung dalam sistem yang rasional dan mekanistis tanpa ada semangat religius di dalamnya. Selama motifnya adalah li i’lai kalimatillah (meninggikan kalimat Allah), akumulasi modal adalah sebuah keharusan strategis, bukan dosa apalagi bahaya.
Legitimasi Teologis: Islam dan Etos Produktivitas
Lebih jauh lagi, menstigmatisasi semangat pencarian keuntungan sebagai sesuatu yang “berbahaya” sesungguhnya bertabrakan dengan nas-nas agama itu sendiri. Islam tidak pernah memerintahkan umatnya untuk menjadi kerdil secara ekonomi. Al-Qur’an secara eksplisit meletakkan keseimbangan yang indah antara ritual dan pasar. Dalam Surah Al-Jumu’ah ayat 10, Allah berfirman, “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaran lah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” Ayat ini adalah legitimasi teologis bagi aktivitas ekonomi. Perintah untuk “bertebaran mencari karunia” diletakkan berdampingan dengan perintah shalat, menandakan bahwa mencari profit (karunia Allah) adalah kelanjutan dari ibadah mahdhah, selama hati tetap “mengingat Allah banyak-banyak.”
Etos kerja ini diperkuat oleh sabda Nabi Muhammad SAW yang menegaskan posisi strategis kekuatan materi. Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah bersabda bahwa “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah.” Kekuatan di sini bersifat multidimensi, mencakup kekuatan iman, fisik, dan tentu saja finansial. Tanpa kekuatan modal atau kapital, umat Islam hanya akan menjadi buih yang tak berdaya, tidak mampu membangun infrastruktur peradaban, dan selalu bergantung pada belas kasihan orang lain.
Padahal, Nabi sendiri menekankan kemandirian dengan sabdanya dalam riwayat Bukhari, “Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah.” Bagaimana mungkin umat bisa memposisikan tangannya “di atas” (memberi dan membangun) jika mereka alergi terhadap mekanisme akumulasi kekayaan yang ditawarkan oleh sistem ekonomi rasional?
Ahmad Dahlan Seorang Kapitalis Religius
Pada akhirnya, kritik terhadap kapitalisme religius ini terjebak pada romantisme spiritualitas yang pasif. Sejarah mencatat bahwa para Sahabat Nabi seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Affan, bahkan Pendiri Muhammadiyah sendiri, KH Ahmad Dahlan, adalah praktisi “kapitalisme religius” par excellence.
Mereka adalah saudagar yang menguasai pasar, memutar aset dengan perhitungan rasional, namun seluruh kekayaannya bermuara pada kepentingan umat. Mereka tidak memusuhi kekayaan, tetapi menundukkannya. Dengan demikian, mengadopsi etos kerja yang disiplin, terukur, dan berorientasi pada pertumbuhan aset sebagaimana dijelaskan Weber dan didukung oleh dalil Islam bukanlah sebuah penyimpangan.
Itu adalah jalan ninja untuk mengembalikan kejayaan umat. Bahaya yang sejati bukanlah ketika agama bersentuhan dengan semangat kapitalisme religius, melainkan ketika umat Islam merasa cukup dengan kemiskinan dan ketertinggalan atas nama kesalehan semu.
Kapitalisme religius, jika dipahami sebagai etos kerja keras dan disiplin untuk kemaslahatan umat, adalah bahan bakar yang diperlukan untuk menggerakkan mesin peradaban Islam di era modern, termasuk menyelesaikan realita masalah kesejahteraan yang masih dialami oleh Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) itu sendiri.
Editor: Assalimi

