Lahirnya Islam selain untuk memberantas segala kejumudan pemikiran, kebatilan, dan kebodohan. Adalah juga sebagai konstruksi yang terejewantahkan dalam dua karakteristik yang konkret, yakni individualisme dan humanisme. Karenanya bahaya fanatisme Islam sangat jelas karena bertentangan dengan kedua karakteristik tersebut.
Pada aspek pertama, Islam menanamkan nilai moral pada setiap pemeluknya agar menjauhi segala perilaku buruk yang bisa merugikan diri sendiri maupun orang lain. Adapun pada aspek kedua, Islam membawa perubahan sosial, dimana masyarakat yang awalnya dipenuhi dengan kegaduhan menjadi masyarakat yang harmonis satu sama lain.
Karena itu agama Islam dikenal dengan agama yang mempersatukan di atas segala perbedaan. Jika dilihat di era sekarang ini, nilai humanisme Islam itu sendiri sudah terlunturkan dengan suatu pemahaman.
Dikarenakan umat Islam hanya dijadikan sebagai objek bagi pemuka agama untuk menanamkan nilai-nilai indroktrinasi, yaitu ajaran paham ekstrem kelompok tertentu yang dianggap paling benar dan yang lain salah. Sebab dari indroktrinasi inilah, nilai-nilai fanatisme mulai hadir dalam kehidupan umat Islam.
Bahaya Fanatisme
Hadirnya paham fanatisme ini sendiri membuat berbagai konflik antar mazhab teoretis keagamaan dan berbagai kelompok agamis. Juga dari sini pula umat Islam terpecah belah, saling tuduh, berbagai bid’ah dilontarkan, dan saling menunjukan syariat yang benar. Inilah bahaya fanatisme.
Pada titik paling ekstremnya, bahaya fanatisme Islam terwujud dalam rupa umat yang saling menyesatkan antar satu dengan yang lainya. Padahal mereka satu keyakinan dan satu tujuan, yaitu La Ilaha Illallah al-Malikul Haqqul Mubin wa Muhammad Rasulillah.
Dalam Islam sendiri, fanatisme sebenarnya bernilai positif dan harus dimiliki bagi setiap pemeluknya. Karena hal itu juga menumbuhkan sikap yakin kita terhadap agama atau ajaran yang kita anut. Pada dasarnya, beriman tanpa beramal ialah munafik dan beramal tanpa beriman ialah kufur.
Seiring berkembangnya zaman, fanatisme ini sendiri menjadi disalahgunakan dan akhirnya berdampak buruk pada Islam itu sendiri. Secara garis besar sering kali Islam disudutkan dan dijadikan sasaran cercaan. Yang mana sebagian golongan menganggap sumber permasalahan dan berbagai konflik itu berawal dari Islam.
Hal inilah yang membuat Islam yang pada esensinya sebagai pembaru dan pemersatu menjadi sumber kesempitan dan kejumudan. Sungguh ini juga yang membuat Islam bukannya semakin maju tapi semakin terpuruk.
Fanatisme Pada Tempatnya
Prof. Quraish Shihab tidak ketinggalan juga turut menanggapi terkait fanatisme ini. Beliau mengatakan bahwa Islam bukanlah sumber keburukan. Tapi yang menjadi penyebab rusaknya Islam itu sendiri ialah kelompok-kelompok fanatik yang tidak bertanggung jawab, anti terhadap yang lainnya dan menolak bersikap tasamuh.
Dalam pemahaman penulis, fanatisme terhadap suatu pemahanan boleh-boleh saja. Asalkan pada tempatnya dan harus bersifat adil serta bijaksana. Maksudnya, sifat fanatisme cukup dalam hati dan menjadi prinsip kita secara pribadi. Kita paham pada suatu ajaran, berpegang teguh, berkeyakinan, dan mengamalkannya.
Tapi dalam keyakinan tersebut, ketika kita berhadapan dengan saudara seiman lainya. Maka kita tidak boleh memaksakan agar ia harus masuk dalam ajaran yang kita yakini. Tidak boleh untuk kita menyalahkan pemahanannya hanya karena tidak sesuai dengan pemahaman kita.
Karena nyatanya, dalam Islam juga tidak hanya satu penafsiran ajaran atau pemahaman. Akan tetapi, jumlahnya banyak dan sangat komprehensif terkait pemahan teoretis dan amaliah keagamaan. Pasti kita kenal yang namanya fikih, aliran dan mazhab. Dengan hal itu pula, kita pun tidak boleh untuk saling memojokkan satu dengan lainnya.
Jalankan Apa yang Diyakini
Manusia sangat tidak pantas untuk saling menyudutkan dan menyalahkan ajaran satu dengan ajaran yang lainya, karena itu bukan urusan manusia. Manusia hanya menjalani dan menyampaikannya. Sebagaimana dalam ayat Alquran dijelaskan, “Sampaikanlah wahai Muhammad, kepada non-Muslim dan kaum Muslimin, boleh jadi dia dalam kebenaran dan boleh jadi dia dalam kesesatan…”
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa manusia tidak berhak untuk menilai siapa yang benar dan siapa yang salah. Karena dalam faktanya, bisa saja kelompok A yang benar dan kelompok B yang salah. Dan bisa juga sebaliknya, kelompok B yang benar dan kelompok A yang salah. Semua itu hanya Allah yang tahu dan dapat menilainya.
Dan adapun bila terdapat kesalahan diantara kelompok tersebut, sama sekali yang benar tidak akan dimintai pertanggung jawaban. Maksudnya “Qul La Tus’aluna ‘Amma Ajramna Wala Tus’alu ‘Amma Ta’maluna” atau kalian tidak akan diminta pertanggung jawaban atas apa yang kami kerjakan, dan kami juga tidak akan diminta pertanggung jawaban atas apa yang kalian lakukan.
Pada intinya, silahkan setiap kelompok atau golongan menjalankan apa yang diyakininya dan apa yang diperintahkan sesuai dengan syariat Allah. Dan itu menjadi prinsip pribadinya masing-masing. Urusan salah, benar, pahala, dan dosa serahkan semuanya kepada Allah. Karena sesungguhnya, lagi-lagi hanya Allah yang Maha Tahu dan Maha Mengadili.
Revitalisasi Sikap Tasamuh
Islam memberikan rambu-rambu kepada kehidupan umatnya untuk menjauhi fanatisme, yaitu salah satunya bersikap toleransi (tasamuh). Agar selalu saling berkasih sayang juga saling mencintai satu sama lain walaupun berbeda pemahanan dan berbeda keyakinan, baik itu dalam aspek teoretis maupun cara beramal ibadah.
Dengan bersikap toleran, saling terbuka, dan menerima satu sama lain. Kita semua bisa saling marangkul dan menumbuhkan tali persamaan di atas perbedaan. Karena itulah tujuan Rasulullah mempersatukan kita dengan cahaya islam.
Bersikap tasamuh juga menandakan bahwa kita adalah seorang muslim sejati. Karena seorang muslim itu pasti tahu siapa saudara dan siapa musuh. Walaupun kita sesama muslim berbeda keyakinan dan pemahaman. Tapi pada dasarnya, kita tetaplah bersaudara dan disatukan dengan sebuah ikatan, yaitu kalimat La Ilaha Illallah.
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara. Maka damaikanlah dan perbaikilah hubungan antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat” (QS. al-Hujurat: 10)
Ali bin Abi Thalib pernah menasihatkan, “Jika kita tidak sama dalam pemahaman, kita tetap bersaudara dalam keimanan. Dan jika kita tidak sama dalam iman, kita tetap bersaudara dalam kemanusiaan“. Pada intinya kita semua tetap bersaudara apapun itu bentuknya.
Serahkan Pada yang Maha Adil
Sekali lagi, tidak ada kepantasan bagi kita semua dalam setiap paham, aliran, dan mazhab Islam apapun untuk saling menjatuhkan, jelek-menjelekkan, sesat-menyesatkan, apalagi kafir-mengkafirkan.
Secara naqli dilarang, secara aqli pun sungguh tak masuk akal. Seyogyanya kita semua bersahabat, bersaudara dan bisa akur-akur saja. Kehidupan dunia ini telah digariskan oleh Allah untuk menjadi beragam, bukannya seragam.
Tiada sikap lain buat kita semua, selain untuk saling menghormati sebagai saudara. Kita pun dituntut untuk saling memuliakan dan bertoleransi dalam asas ukhuwawah Islamiyah (saudara seagama), ukhuwah wathaniyah (saudara sebangsa), dan ukhuwah basyariyah (saudara sesama manusia).
Segala hal di luar jangkauan yang berpotensi menimbulkan dampak keburukan sebisa mungkin kita minimkan, baru setelah itu kita tinggalkan. Perkara status siapa yang benar, kita serahkan saja kepada Allah, dan kelak di akhirat Allah yang akan mengadili. Keep loving each other and get rid of fanaticism. Waallahua’lam.
Editor: Rifqy N.A./Nabhan