Perspektif

Bank Syariah Belum Tentu Syar’i!

3 Mins read

Geger, penarikan dana Muhammadiyah dari Bank Syariah Indonesia (BSI) yang berjumlah triliyunan memunculkan banyak pertanyaan. Berawal dari kasus BSI kemudian memantik pertanyaan berikutnya, ada apa dengan bank syariah. Apakah penyematan kata syari’ah serta merta membuat bank syariah menjadi Islami dan bebas dari riba? Melihat kesyariahan bank syariah tidak bisa hanya pada nomenklatur bank atau akadnya saja, namun harus secara holistik.

Cita-cita ideal para pendiri awal bank syariah adalah menghadirkan sebuah lembaga keuangan bebas riba sebagai solusi mengatasi kemiskinan dan tawaran kemakmuran. Sebuah bank yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah sebagai manifestasi dari fikih muamalah. Ada akad kerja sama, jual beli dan jasa.

Namun pada kenyataannya, menurut hasil penelitian Sramek terhadap 18 bank Islam dunia pada tahun 2003-2007, tercatat bahwa pembiayaan bagi hasil tertinggi justru di dilakukan oleh Bank Muamalat Indonesia, itupun hanya 36% dari total assetnya, sedangkan perbankan Timur Tengah yang sering menjadi rujukan bank Islam justru hanya sekitar 10% saja, bahkan lebih banyak yang tetap bertahan pada sistem bunga.

Lebih parah lagi Abdullah Saeed (Australia) melihat bahwa akad Murabahah pada bank syariah hanyalah rekayasa untuk menghalalkan bunga. Apalagi equivelensi bagi hasil yang ditetapkan bersaing dengan tingkat suku bunga bank konvensional.

Begitu pula akad kerja sama atau musyarakah, Profit and Lost Sharing (PLS), mestinya berbagi resiko dan hasil. Ketika semua pengembalian pembiayaan dihitung dari pokok modal (pinjaman), sulit rasanya melihat transaksi ini sebagai kerja sama. Sulit menemukan bank syariah yang menerapkan Musyarakah murni dalam sebuah usaha. Tetap saja namanya pinjaman dengan pengembalian yang tetap sesuai hitung-hitungan perbankan secara umum, meski istilah yang digunakan memakai terminologi fikih muamalah.

Baca Juga  Bagaimana Islam Memandang Perilaku Playing Victim?

Teknis pembagian hasil juga banyak dipertanyakan keadilannya. Pengembalian pokok pinjaman dan bagi hasil bagi debitur bersifat konstan, tanpa melihat apakah usaha yang dikelola debitur untung atau rugi. Sementara ketika membagi bonus disesuaikan dengan kebijakan bank, bukan diambil dari riil laba.

Makanya, ada candaan dari para kolega akademisi bahwa para pengelola bank syariah akan masuk neraka lebih awal dibanding bank konvensional. Kenapa begitu? Karena bank konvensional lebih jujur mengelola lembaga keuangan dengan sistem bunga yang masih diperdebatkan keharamannya. Sedangkan pengelola bank syariah menekuk dan merekayasa bunga agar menjadi halal dengan melabelinya dengan syariah. Entahlah.

Generasi awal bank syariah di Indonesia diisi oleh para akademisi muslim yang paham dengan fikih muamalah dan memiliki komitmen yang tinggi terhadap nilai-nilai Islam. Sebut saja Adiwarman Kariem, Syafi’i Antonio, Riawan Amien, Arie Mooduto dan lain-lain yang merupakan para pakar ekonomi Islam. Mereka berusaha menghadirkan semaksimal mungkin prinsip-prinsip syariah dalam akad perbankan.

Meskipun ada penelitian Nur Hidayah (2002) yang melihat bahwa hampir semua fatwa DSN MUI lebih banyak mengatur dan melindungi kepentingan bank (pemodal) dibanding kepentingan nasabah (umat). Hal ini menjadi pertanyaan apakah sebuah fatwa bisa dibeli? Atau bisakah ulama yang digaji dari bank akan bersikap kritis terhadap bank yang diawasi? Perlu penelitian lebih dalam lagi.

Maka wajar jika Muhammadiyah masih membolehkan menggunakan jasa bank konvensional milik negara sebelum ada bank yang betul-betul syariah. Ciri khas syariah itu bukan saja pada labeling syariah semata, namun harus mencakup semua aspek. Apakah saham bank-bank syariah tersebut dimiliki oleh umat Islam atau hanya dimiliki oleh segelintir orang saja. Hampir semua bank syariah saham mayoritasnya tidak dimiliki oleh umat Islam. Ini penting agar semangat kemakmuran yang ditawarkan oleh bank syariah betul-betul dinikmati oleh umat muslim dulu.

Baca Juga  Inilah Doa untuk Menolak Segala Firasat Buruk

Pengelola bank syariah semestinya diisi para profesional yang memiliki komitmen keislaman yang lebih tinggi, memiliki kapasitas intelektual keislaman khususnya fikih muamalah dan ekonomi Islam secara lebih mumpuni, menerapkan nilai-nilai syariah dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya menjadi indeksing formal yang kering. Namun terkadang akal sehat kita tidak bisa mengerti, soal bagaimana seorang professor bidang muamalah tidak diterima sebagai dewan pengawas syariah di bank syariah?

Tidak kalah penting dari semua itu, apakah kehadiran lembaga keuangan syariah khususnya bank umum syariah memberikan manfaat yang lebih luas kepada umat? Atau hanya menjelma menjadi alat penggemukan para kapitalis berkedok agama?

Karenanya pengkajian, research, dan implementasi (baik permodalan maupun pengelolaan) bank syariah harus ditangani oleh umat Islam sendiri. Jangan biarkan bank syariah dikuasai oleh kepentingan kapitalis, yang hanya mengejar target keuntungan tanpa melihat nasib umat. Pemaknaan dan pengkajian ulang terhadap riba dan bunga harus terus dilakukan, agar lembaga keuangan syariah tidak menjadi lembaga munafik yang sebenarnya menjalankan riba namun dengan baju syariah.

Sejujurnya, labelisasi syariah tidak serta merta membuat lembaga keuangan syariah menjadi syar’i, menjadi islami, jika ternyata penguasanya bukan umat Islam. Pada tahun 2018, saya melakukan penelitian untuk mengetahui siapa sebenarnya penguasa bank syariah di Indonesia dilihat dari peran ulama (DSN MUI), pemerintah (regulator) dan pemodal (pemilik saham). Penelitian ini meminjam teori power elite dipopulerkan oleh C. Wright Mills, yang mengasumsikan adanya beberapa elite khusus yang mengendalikan sebuah komunitas. Hasilnya menunjukkan bahwa pemodallah yang mengendalikan seluruh proses bank syariah.

Jujur saya termasuk yang tidak tahu alasan pasti Muhammadiyah menarik semua dananya dari BSI. Namun melihat kiprah Muhammadiyah selama ini, tidak mungkin tidak ada masalah serius dibalik keputusan tersebut. Keinginan pemerataan dana ke bank-bank syariah selain BSI dengan alasan pemerataan agar manfaat dana dirasakan lebih luas oleh umat boleh jadi hanya salah satu penyebabnya saja.

Baca Juga  Wajah dan Masa Depan Koperasi Indonesia

Melihat respon dan komentar netizen di media sosial, tampaknya besar harapan umat agar Muhammadiyah memiliki bank umum sendiri. Dimana seperti amal usaha ekonomi lainnya, bahwa saham 50% plus 1 dan lebih dimiliki oleh Muhammadiyah, syukur jika 100%. Pengelolanya juga kader-kader yang memiliki kompetensi di bidang perbankan, memiliki komitmen keislaman yang tinggi, dijalankan sesuai prinsip syariah yang murni, diawasi oleh para ulama yang tulus menegakkan prinsip-prinsip Islam, dan seluruh prosesnya berorientasi pada kemakmuran umat dan bangsa. Semoga segera terwujud.

Editor: Soleh

Avatar
11 posts

About author
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah Tulungagung, dan Wakil Dekan 1 Bidang Akademik dan Kelembagaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Ponorogo
Articles
Related posts
Perspektif

Menimbang Kiprah Tiga Tokoh Pendidikan Muhammadiyah di Pemerintahan

2 Mins read
Jika tidak ada hambatan signifikan, sejumlah figur Muhammadiyah akan turut dilantik sebagai Menteri dan Wakil Menteri dalam jajaran kabinet Presiden terpilih Prabowo…
Perspektif

Pilpres AS dan Islamophobia

3 Mins read
Pilpres AS dan Islamopobhia. Selintas nampak keduanya tidak punya korelasi. Pilpres adalah proses politik dan demokrasi di sebuah negara. Sementara Islamophobia adalah…
Perspektif

Musim Hujan itu Sunnatullah!

4 Mins read
Pendahuluan Seperti kita pahami bersama bahwa wilayah Indonesia mengalami dua musim, yakni musim hujan dan musim kemarau. Saat kita duduk di bangku…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds