Opini

Bapak Bangsa: Menjadikan Buku sebagai Teman, Bukan Musuh

3 Mins read

Siapapun yang mengenal bapak bangsa dan kisah hidupnya tentu akan mendapatkan relasi yang erat antara mereka dan buku. Kisah-kisah itu tersebar dalam biografi maupun kesaksian orang-orang terdekat mereka. Mereka yang mampu mengakses dan membaca buku dari luar mengenal ide-ide tentang kebangsaan, reformasi keagamaan hingga pertentangan kelas. Ide-ide tersebut bukan hanya mengendap dalam pikiran namun bertarung dalam tulisan. Ide dijawab dengan ide, tulisan disambut dengan tulisan serta gagasan dibenturkan dengan gagasan.

Hasil bacaan tersebut mereka tuangkan dalam tulisan pada majalah-majalah dan koran-koran yang terpublikasi pada masa itu bahkan jejaknya pun masih dapat kita simak saat ini. Pertempuran ide itu terjadi untuk menjawab sebuah pertanyaan bagaiamana kemerdekaan itu dan bagaimana Indonesia yang mereka idealkan dalam imajinasi dapat terwujud. Negara Indonesia dari sabang sampai Merauke saat itu belum ada. Namun gagasan tentang bangsa yang ideal menurut mereka telah banyak terpublikasi. 

Aktivis dan Nasionalis Suka Baca Buku

Baik aktivis dari kalangan Islam, nasionalis maupun komunis sama-sama membaca buku, menyerap pengetahuan bahkan berdialog. Walaupun saat itu negara kita masih dalam penjajahan bangsa Eropa (Belanda) namun pemikiran mereka tak bisa dibelenggu. Dari tulisan ke gerakan mengantarkan mereka masuk dan keluar penjara bahkan banyak dari mereka yang akhirnya dibuang ke Digul, sebuah tempat di pedalaman Papua yang sangat ditakuti pada masa lalu.

Mereka membaca Das Kapitalnya Marx, Spirit of islamnya Ameer Ali, Karl Kautsky, Syakib Arslan, Pierson dan lain sebagainya. Di tengah bangsa yang gamang dan hendak dibawa kemana, mereka mencari model perjuangan dengan banyak membaca buku. Buku-buku itulah yang menginspirasi dan membuak ruang debat antara mereka. Masih tercatat jelas bagaimana perdebatan Natsir dan Bung karno seputar negara Islam yang perdebatan tersebut mewakili pandangan kaum islamis dan nasionalis. Mereka juga mampu mengeluarkan sebuah tulisan bernas yang menggambarkan perjuangan mereka. Hatta menulis “Indonesia Vrij” (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi persidangannya di Den Hag. Bung karno menuliskan “Indonesia Menggugat’ yang ia bawakan dalam persidangannya di bandung. Syahrir, mengeluarkan tulisan berjudul “Perjuangan Kita” yang mengarahkan Indonesia pada revolusi. Tan Malaka sendiri pemikirannya banyak dibaca melalui bukunya “Madilog” hingga saat ini.

Baca Juga  Hutan Wakaf: Menanam Amal, Menjaga Alam

Satu-satunya pihak yang berusaha untuk menggerus penulis dan mengkriminalisasi mereka pada saat itu adalah pemerintah kolonial Belanda yang dulu kita letakkan posisinya sebagai penjajah. Mereka membuang Ki hajar Dewantara karena dinilai radikal dengan menulis artikel berjudul “Als Ik eens Nederlander was” yang artinya seandainya aku orang Belanda yang mengkritik habis-habisan pemerintah kolonial yang merayakan kebebasan bangsa mereka dari penjajahan. Pemerintah kolonial tidak bisa mengeluarkan tulisan yang lebih tajam membalas tulisan itu. Akhirnya kuasa pun digunakan untuk menggilas gerakan Ki Hajar.

Para Maniak Membaca Buku

Bung karno selama pembuangan di Bengkulu senantiasa menggunakan uang yang ia peroleh untuk membeli buku bahkan sampai uang bulananya habis. Menuruit keterangan M. Ali Chanafiah salah seorang sahabat Bung karno yang aktif dalam Taman Siswa, Bung Karno sering mengajak temannya di pengasingan untuk menukar buku jika ada buku yang ia minati. Ia juga membuka klub debat “Cerdas” dimana klub ini diikuti oleh pemuda terpelajar. Saat Jepang menguasai Nusantara, Bung karno menitipkan buku-buku tersebut pada seorang rekannya. Sayangnya banyak buyku tersebutc yang hilang serta sedikit yang terselamatkan dan saat ini masih tersimpan dalam rumah pembuangan Bung karno.

Hatta dan Syahrir sendiri membawa buku saat pembuangan ke Digul dan ke Banda Naira. Des Alwi seorang murid Hatta diminta untuk menjaga beberapa koper buku miliknya karena tak muat dimasukkan dalam bagasi pesawat terbang kecil yang menjemput mereka dari banda Naira. Buya Hamka sendiri harus kehabisan uang untukj perjalanan pulang hanya karena “kemaruk” membeli kitab di toko Salim Nabhan Surabaya.Tan Malaka sendiri dalam pelarian dan tempat sembunyinya masih dapat mengakses bacaan dan membaca buku. Begitu juga dengan Natsir, tidak mungkin dapat mengimbangi pemikiran Soekarno jika ia tak banyak membaca.

Baca Juga  100 Tahun Pondok Modern Gontor: Terus Melahirkan Ulama dan Pemimpin Umat

“Maling” Buku di Perpusatakaan

Para pendiri bangsa ini dikenal pula sebagai cendekiawan, kaum intelektual yang mengendarai arah bangsa disaat-saat tersulit pasca kemerdekaan. Ciri khas mereka tampak pada kejujuran, hidup mereka yang sederhana, menegakkan kebenaran yang ia Yakini walaupun harus bersebrangan dengan rekan dan kolega mereka serta anti dengan korupsi. Mereka lebih memilih “maling” buku di perpustakaan temannya daripada maling duit negara sebagaimana Chairil Anwar sang pujangga tersebut dengan diam-diam membawa buku dari rumah Syahrir keluar.

Tak salah jika mereka kemudian diganjar dengan penghargaan di dalam dan luiar negeri. Pemikiran mereka yang bernas masih banyak dikaji bahkan keinginan lepas dari kolonialisme dan imperialisme yang digaungkan Bung Karno dan rekan sejawatnya dulu ia wujudkan dalam Konferensi asia Afrika yang membuat mata dunia terbuka dengan kekuatan ide seorang Soekarno, pemimpin negara yang bernama Indonesia.

Bisa dikatakan tidak ada pejabat pemerintah pada masa lalu yang tidak memiliki perpustakaan di rumahnya. Di sela-sela waktu senggang bahkan setelah pensiun pun buku menjadi teman akrab  mereka.

Minat Membaca Buku Para Pejabat

Seseorang aktivis yang bergerak dalam literasi menyayangkan tidak adanya buku yang ditemukan para penjarah di rumah anggota DPR-RI yang beberapa waktu lalu “digeruduk” massa. Jarang kita temukan pejabat yang saat ini juga sebagai elite intelektual ataupun cendikiawan. Tulisan- tulisan mereka juga tidak tampak dalam media-media online, jurnal maupun koran-koran terpandang di negeri ini.

Seperti berjaraknya para pejabat kita dengan rakyat, demikian pula berjaraknya mereka dengan buku dan ide sehingga tidak perlu aneh jika mereka menampilkan hidup mewah dan hedon, dalam pemikirannya terinstall bagaimana memperkaya diri dan keluarga. Yah karena tanggung jawab seorang cendikiawan dan intelektual tidak mereka miliki, wajar.

Baca Juga  Menggandrungi Buku, Tak Berarti Harus Jadi Profesor dan Menerbitkan Karya Ilmiah!

Di negeri yang pejabatnya berjarak dengan buku, bahkan membaca buku pun bisa jadi sebuah tindakan criminal yang bisa dijadikan barang bukti pelaku kejahatan. Persis perlakuan pemerintah kolonial yang membuang Suwardi Suryaningrat alias Ki hajar Dewantara hanya karena tulisannya tajam melukai hati negeri penjajah.

Editor: Assalimi

Avatar
10 posts

About author
Direktur Sekolah Langit Biru. Anggota Muhammadiyah Bengkulu.
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *