Para ulama Islam telah membuat suatu ketetapan bahwa pada asalnya segala sesuatu itu boleh, berdasarkan firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 29:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي اْلأَرْضِ جَمِيعًا…
Artinya:“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu …” [QS. al-Baqarah {2}: 29].
Tidak ada sesuatu yang diharamkan kecuali dengan nash yang shahih dan sharih (jelas) dari al-Quran atau Sunah Rasulullah saw, atau ijma‘ yang sah dan meyakinkan. Apabila tidak terdapat dalam tiga ketetapan itu, maka yang demikian tidak mempengaruhi kehalalannya dan tetaplah ia dalam batasan kemanfaatan yang luas. Allah berfirman,
… وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ…
Artinya: “… padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya …” [QS. al-An‘am {6}: 119].
Dan Rasulullah saw bersabda:
مَا أَحَلَّ اللهُ فِى كِتَابِهِ فَهُوَ حَلاَلٌ وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ… [رواه الحاكم عن أبي الدرداء وصححه وأخرجه البزار].
Artinya:“Apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya adalah halal, dan apa yang diharamkan-Nya adalah haram, dan apa yang didiamkan-Nya adalah dimaafkan …” [HR. al-Hakim dari Abu Darda’, dishahihkan dan ditakhrijkan oleh al-Bazzar].
إِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضِيْعُوْهَا وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءٍ رَحْمَةً بِكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوْهَا. [رواه الدارقطنى].
“Sesungguhnya Allah telah menentukan kewajiban-kewajiban, maka janganlah kamu menyia-nyiakannya, dan menetapkan batas-batas (larangan), maka janganlah kamu melanggarnya, dan Ia diamkan beberapa perkara sebagai rahmat buat kamu, bukan karena lupa, maka janganlah kamu mencari-carinya.” [HR. ad-Daruquthni].
Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, mengenai nash-nash yang dijadikan dalil oleh golongan yang mengharamkan kesenian seperti nyanyian, tarian, dan sejenisnya, adakalanya shahih tetapi tidak sharih (jelas), adakalanya sharih (jelas) tetapi tidak shahih.
Selain itu, dilansir dari web resmi Majelis Tarjih dan Tajdid fatwatarjih.or.id, dijelaskan bahwa tidak ada satu pun hadis yang marfu‘ kepada Nabi saw yang patut menjadi dalil untuk mengharamkan, khususnya nyanyian. Masing-masing hadis itu dilemahkan baik oleh golongan ulama Zhahiri, Maliki, Hanbali, dan Syafi’i.
Sungguhpun demikian, harus diingat bahwa kesenian dalam Islam seperti nyanyian-nyanyian atau tarian-tarian ataupun lukisan-lukisan harus yang sopan, mengandung pelajaran dan pendidikan, membawa pesan-pesan moral yang luhur, berpakaian sopan dan menutup aurat, serta tidak mengandung unsur syirik dan maksiat. Kalau semua unsur-unsur itu terpenuhi, maka nyanyian, tarian, dan lukisan itu hukumnya tetap mubah, artinya dibolehkan oleh syariat Islam.
Muhammadiyah melalui Majelis Kebudayaan Muhammadiyah Universitas Ahmad Dahlan dan Lembaga Litbang PP Muhammadiyah sudah mengeluarkan buku berjudul “Islam dan Kesenian”. Selain itu, Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam juga telah memutuskan masalah “Kebudayaan dan Kesenian dalam Perspektif Islam” pada Musyawarah Nasional Tarjih ke-22 di Malang, dan telah ditanfidz oleh PP Muhammadiyah serta dimuat dalam Berita Resmi Muhammadiyah No. 13/1995-2000, Syawwal 1420 H / Januari 2000 M. Dua buku tersebut berisi kurang lebih sama dengan penjelasan di atas.
Sumber : Fatwa Tarjih
Editor : Yusuf