Belum lama ini kita dihebohkan dengan perdebatan seputar hukum musik dalam Islam. Sebenarnya persoalan ini adalah khilafiyah. Karenanya tulisan sederhana ini tidak akan mengulang kembali pembahasan klasik para ulama. Cukup kiranya kita mau belajar, membaca kembali turats, untuk dapat menghargai keragaman pendapat yang sudah diwariskan kepada kita.
Persoalan musik sebenarnya adalah fenomena bola salju (snowball) dari dinamika Islam dengan dunia seni. Sering ada pemahaman yang menyudutkan seni dalam beragama. Seolah agama itu tidak boleh disentuh dengan dimensi “seni-budaya” buatan manusia. Di sisi lain, ada pula kelompok yang memasukkan semua unsur seni ke dalam agama, sehingga tidak lagi dapat dibedakan mana yang agama dan budaya.
Kiai Dahlan Sang Pemusik
Menghadapi perbedaan tersebut, Kiai Dahlan tampil menengahi ketegangan dunia religi dan seni. Beliau tampil seperti wasit yang berada pada posisi tengah. Dalam film “Sang Pencerah”, ada cuplikan ketika sang kiai memainkan biola. Hal ini saja sudah menjadi pandangan asing saat itu. Seorang yang belajar dari Mekah, bukannya membawa kitab, malah bawa biola. Sosok sang kiai pemain biola ini diabadikan dalam sebuah lukisan yang dipajang di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta.
Setelah Kiai Dahlan selesai memainkan biola dengan penuh keindahan, ia bertanya kepada santrinya, “apa yang kalian rasakan?”, salah seorang menjawab, “indah, sepertinya semua permasalahan itu hilang, Kiai”. Kiai Dahlan pun memberikan pelajarannya, “Itulah agama. Orang yang beragama adalah orang yang merasakan keindahan. Orang beragama itu seperti orang bermusik”.
Apa yang diajarkan Kiai Dahlan adalah falsafah beragama yang sering dilupakan. Ajaran agama itu menampilkan keindahan bukan kegundahan, keramahan bukan kemarahan, kelembutan bukan kekerasan. Musik biola adalah contoh konkret beragama.
Di tangan ahlinya, biola menjadi merdu, tetapi di tangan orang jahil, suaranya tak lagi padu. Agama pun demikian. Di tangan orang yang memahami ajarannya, suara agama menjadi syahdu penuh damai. Namun bagi mereka yang sekadar memahami kulit luar agama, lantangnya gema hanya membuat pilu pengundang tikai.
Belum lama ini, medsos kita dihebohkan dengan kasus pembubaran ibadah mahasiswa Katolik Universitas Pamulang di Tangerang Selatan. Tidak hanya membubarkan, bahkan di antara mereka juga melakukan penganiayaan. Apakah itu dilakukan atas nama agama? Agama seperti apa yang menyerang kelompok lain yang sedang beribadah? Inilah salah satu fenomena aksi-reaksi tatkala agama kering dari dimensi seni. Seolah agama dapat tegak manakala memberangus kelompok yang berbeda. Padahal justru orang akan terpana manakala agama dikenalkan dengan keindahan yang memesona.
Muhammadiyah Memandang Seni
Imaji seni Kiai Dahlan ini juga berlanjut menjadi spirit Muhammadiyah dalam berdakwah. Muhammadiyah memahami bahwa seni dapat menunjang kinerja pendidikan dan dakwah, sehingga seni tak perlu dicaci. Meski demikian, Muhammadiyah tetap perlu menegaskan rambu-rambu penerapan seni dalam kehidupan. Penjelasan ini dapat ditemukan pada “Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM)” dalam bidang seni budaya. Ada tujuh poin utama sebagai berikut.
Pertama, Islam adalah agama fitrah, ajarannya tidak akan bertentangan dengan fitrah manusia. Islam bahkan menyalurkan, mengatur, dan mengarahkan fitrah manusia itu untuk kemuliaan dan kehormatan manusia sebagai makhluk Allah.
Kedua, jiwa seni sebagai penjelmaan rasa keindahan dalam diri manusia merupakan salah satu fitrah yang dianugerahkan Allah Swt yang harus dipelihara dan disalurkan dengan baik dan benar sesuai dengan jiwa dan ajaran Islam. Pada poin ini menjadi penegas bahwa tidak semua seni selaras dan senafas dengan Islam.
Karenanya berdasarkan Munas Tarjih ke-22 tahun 1995 ditetapkan bahwa karya seni hukumnya mubah (boleh) selama tidak mengarah atau mengakibatkan fasad (kerusakan), dlarar (bahaya), ‘isyan (kedurhakaan), dan ba’id anillah (terjauhkan dari Allah. Poin ketiga adalah bahwa pengembangan kehidupan seni dan budaya di kalangan Muhammadiyah harus sejalan dengan etika atau norma-norma Islam sebagaimana dituntunkan Tarjih tersebut.
Keempat, seni rupa yang obyeknya makhluk bernyawa seperti patung hukumnya mubah bila untuk kepentingan sarana pengajaran, ilmu pengetahuan, dan sejarah; serta menjadi haram bila mengandung unsur yang membawa ‘isyan (kedurhakaan) dan kemusyrikan. Hal ini penting untuk digarisbawahi agar tidak serta merta memukul rata pengharaman patung. Seni rupa menjadi terlarang jika ada unsur kemusyrikan di dalamnya, sebagaimana yang terjadi di zaman Nabi. Mereka membuat patung untuk disembah, bukan sebagai media pembelajaran.
Kelima, seni suara baik seni vokal maupun instrumental, seni sastra, dan seni pertunjukan pada dasarnya mubah (boleh) serta menjadi terlarang manakala seni tersebut menjurus pada pelanggaran norma-norma agama dalam ekspresinya baik dalam wujud penandaan tekstual maupun visual.
Keenam, setiap warga Muhammadiyah baik dalam menciptakan maupun menikmati seni dan budaya selain dapat menumbuhkan perasaan halus dan keindahan juga menjadikan seni dan budaya sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah dan sebagai media atau sarana dakwah untuk membangun kehidupan yang berkeadaban. Dalam hal inilah kita dapat melihat betapa kesenian suara, tari, alat musik di Muhammadiyah berkembang pesat. Karena Muhammadiyah berpandangan semua itu adalah wasilah (sarana) bukan ghayah (tujuan).
Terakhir, Muhammadiyah berpandangan bahwa menghidupkan sastra Islam sebagai bagian dari strategi membangun peradaban kebudayaan muslim. Ini juga penting untuk disimak. Sebab hari ini, ada banyak kebudayaan luar yang bertentangan dengan ajaran Islam bahkan nilai-nilai keindonesiaan. Dengan menghidupkan seni Islam, dapat menjadi tawaran alternatif bagi generasi muda untuk dapat mengekspresikan seni sesuai dengan ajaran Ilahi.
Spirit yang sama ini juga dilakukan oleh Hamka yang semasa hidupnya banyak melahirkan karya sastra. Beliau banyak dicibir, “ulama kok nulis roman”. Namun beliau tetap konsisten menorehkan tulisannya di atas pena. Pada akhirnya waktu pun menjawab, apa yang beliau lakukan menjadi kontra narasi dari sastra ‘liar’ yang antipati terhadap agama.
Karenanya mari disudahi perdebatan kontraproduktif ini. Alih-alih menegasikan seni dalam ajaran Islam, kita justru butuh tampil memberikan nilai “islami” dalam dunia seni yang kian jauh terperosok dalam tirani kebobrokan budi.
Editor: Soleh