Perbedaan pendapat di kalangan umat Islam tentang persoalan-persoalan yang berkaitan dengan agama seringkali memicu terjadinya konflik. Tidak jarang pula melahirkan sektarianisme atau lahirnya kelompok-kelompok baru di tubuh umat Islam. Tradisi beda pendapat ini sejatinya merupakan sesuatu yang lumrah dan akan selalu ada seturut dengan keberadaan Islam itu sendiri.
Ketimbang memperdebatkan mana yang paling benar di antara berbagai perbedaan itu, yang lebih penting adalah bagaimana cara kita menyikapinya. Sehingga perbedaan tidak menimbulkan konflik yang dapat merusak dan menghancurkan umat Islam. Sebab, salah satu masalah terbesar yang dihadapi umat Islam sekarang adalah ketidakmampuan dalam menyikapi perbedaan. Sehingga konflik sektarianisme pun tidak bisa dihindari.
Berbagai konflik yang terjadi di Timur Tengah juga banyak dilatarbelakangi oleh sektarianisme yang kemudian berujung pada konflik politik dan kekuasaan. Di Indonesia sendiri, konflik sektarian juga kerap terjadi. Misalnya diskriminasi tertahadap kelompok minoritas seperti Syi’ah dan Ahmadiyah adalah sesuatu yang dipicu oleh sensitivitas agama.
Pengalaman NU dan Muhammadiyah
Banyak orang bertanya apa perbedaan NU dan Muhammadiyah? Pertanyaan ini barangkali juga sekaligus menegaskan bahwa kedua ormas ini memang sedari awal berbeda. Bukan sesuatu yang perlu ditutup-tutupi bahwa keduanya memang memiliki ciri khasnya masing-masing dalam mengamalkan dan memproyeksikan ajaran Islam.
Perbedaan-perbedaan itu tidaklah bertujuan untuk membelah umat Islam, apalagi mempertegas bahwa ormas ini lebih benar daripada yang lainnya. Justru perbedaan itu adalah untuk mempertegas misi keagamaan yang ingin dibangun oleh keduanya. Yang boleh jadi keduanya memiliki cita-cita yang sama, hanya saja dalam praktiknya didapati perbedaan-perbedaan.
Tulisan ini tidak ingin mengamati perbedaan spesifik antar kedua ormas Islam terbesar ini. Tetapi yang ingin penulis tegaskan adalah watak atau karakter perbedaan di antara keduanya dan bagaimana cara kita menyikapinya.
Cara menyikapi perbedaan itu juga bisa diterapkan dalam melihat semua organisasi yang mengatasnamakan Islam atau bahkan kepada aliran-aliran atau firqoh-firqoh Islam lainnya. Sebab, ketidakmampuan dalam menyikapi perbedaan akan melahirkan eksklusivisme atau merasa benar sendiri. Bila ini terus-terusan terjadi, sampai kapanpun umat Islam akan terbelah. Dan itu akan berakhir pada perpecahan dan konflik antar kelompok Islam.
Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah umumnya hanya ada pada aspek furu’uddin, atau hal-hal yang partikular dalam Islam. Sementara yang berkaitan dengan masalah ushuluddin atau hal-hal yang fundamental dalam Islam, tidak ada perbedaan sama sekali.
Karenanya, perbedaan-perbedaan yang bersifat partikular dalam Islam yang menyebabkan perbedaan antara NU dan Muhammadiyah tidaklah bisa diperuncing. Alasannya, karena hal-hal yang partikular memang tidak bisa dikonsensuskan (di-ijma’-kan). Sederhananya, semua ulama tidak mungkin dapat bersepakat tentang hal-hal yang ada di ranah khilafiyah.
Misalnya, apakah umat Islam harus berqunut ketika melaksanakan shalat subuh? Itu tidak bisa menjadi kesepakatan bersama. NU mengatakan qunut itu sunnah karena Nabi pernah melakukannya. Sementara Muhammadiyah beranggapan qunut tidak biasa dilakukan oleh Nabi sehingga tidak boleh dilakukan. Terhadap perbedaan ini, yang terpenting adalah umat Islam tetap menjalankan ibadah shalat, sebab perbedaan ini akan selalu diperselisihkan sepanjang zaman.
Ini juga berlaku pada amaliah-amaliah lain, seperti ziarah kubur, tahlilan, maulid Nabi, dan sebagainya. NU memiliki alasan-alasan normatif dan rasional untuk melaksanakan ibadah-ibadah itu. Begitu pula dengan Muhammadiyah. Pada titik ini, yang diperlukan adalah ketulusan sikap bertoleransi dalam menerima perbedaan.
Bila berbagai perbedaan itu nyata ada di tubuh umat Islam, pertanyaannya, mana yang harus kita ikuti, apakah NU atau Muhammadiyah? Jawabannya sederhana, kita perlu mengikuti salah satu di antara keduanya. Sebab, dalam konteks Indonesia, kedua ormas ini sudah sangat menggambarkan perbedaan tradisi, perbedaan cara berpikir, dan perbedaan cara dalam menafsirkan al-Qur’an dan Sunnah.
Perbedaan antara NU dan Muhammadiyah di dalam menafsirkan al-Qur’an dan hadis sangatlah diperbolehkan. Karena perbedaan itu tidak menyentuh esensi dari ajaran Islam. Ini juga bisa dilihat dalam konteks sejarah peradaban Islam. Bahwa sebagian besar perbedaan-perbedaan yang terjadi di kalangan umat Islam tidaklah menyentuh esensi dari pokok akidah Islam.
Justru perbedaan NU dan Muhammadiyah bisa menjadi rahmat bagi umat Islam. Misalnya, bila seseorang cocok dengan Muhammadiyah maka orang tersebut bisa mengikuti Muhammadiyah. Begitu pula sebaliknya, bila seseorang cocok dengan amaliyah NU, maka ia bisa mengikuti NU. Umat Islam bisa memilih salah satu dari dua ormas ini. Karena keduanya menjadi bagian dari berdirinya NKRI dan sebagai dua sayap Islam yang selalu menjaga perdamaian Indonesia.
Pengalaman NU dan Muhammadiyah ini dapat menjadi contoh yang baik bagaimana berbagai pendapat di kalangan umat tetap dapat berjalan secara beriringan. Kendati kedua ormas ini berbeda dalam banyak hal, sekaligus juga seringkali didapati kerenggangan yang berpotensi konflik, tetapi keduanya tetap dapat bergandengan tangan. Karena keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni menjaga Islam dan menjaga Indonesia. NU dan Muhammadiyah adalah perpaduan komplementer yang sangat dibutuhkan bagi keberlangsungan Islam dan kemajuan bangsa Indonesia.
Pengalaman dalam Sejarah Islam
Bila persoalan beda pendapat ini ditarik pada ranah yang lebih luas, hampir semua perbedaan pendapat yang terjadi dalam sejarah Islam sejatinya juga hanya ada di ranah furu’uddin.
Misalnya, lahirnya firqoh-firqoh dalam Islam, seperti Sunni, Mu’tazilah, Syi’ah, dan banyak lagi, merupakan hasil interaksi umat Islam terhadap al-Qur’an dan sunnah, sehingga melahirkan tafsir yang berbeda-beda. Perbedaan di ranah tafsir keagamaan ini tidak boleh dipahami sebagai sesuatu yang keluar dari Islam. Justru pandangan-pandangan keislaman yang berbeda makin memperkaya diskursus keagamaan Islam.
Misalnya antara Sunni dan Syi’ah. Kedua aliran ini umumnya hanya beda dalam hal siapa sesungguhnya pewaris yang sah setelah kepemimpinan Nabi. Sementara pada soal esensi ajaran Islam, yang berpedoman pada al-Qur’an dan sunnah, kedua aliran ini tidak ada bedanya. Al-Qur’an milik Sunni tidak ada bedanya dengan yang dimiliki Syi’ah. Begitu pula dengan hadits. Keduanya memedomani rujukan yang sama. Perbedaan cara pandang dalam memahami agama bukanlah sesuatu yang bisa membuat salah satunya keluar dari Islam.
Perbedaan-perbedaan di kalangan ulama, termasuk pula bila kita melihat ulama-ulama yang ada di Indonesia, seringkali dipicu karena perbedaan dalam memahami dalil agama atau perbedaan dalam menggunakan dalil. Sejauh perbedaan itu tidak menyentuh esensi ajaran agama maka perbedaan pendapat itu adalah rahmat bagi seluruh umat manusia.
Perbedaan pendapat itu bukan laknat, justru umat Islam bisa memilih antara pendapat ulama yang satu atau ulama yang lainnya. Kita bisa mengikuti pendapat ulama yang membolehkan, atau mengikuti pendapat yang tidak membolehkan. Dengannya, kita bisa bermazhab kepada satu ulama, dan meninggalkan mazhab ulama yang lain. Ini adalah sesuatu yang sah di dalam tradisi pemikiran dan hukum Islam.
Jangan lupa pula bahwa lahirnya ilmu-ilmu keislaman seperti di bidang fikih, tafsir, akidah, dan tasawuf, merupakan hasil perdebatan yang sangat panjang antara satu ulama dengan ulama lainnya. Perdebatan-perdebatan itu terjadi hampir di sepanjang sejarah Islam. Sehingga secara evolusiner ajaran-ajaran Islam yang termuat di dalam kitab-kitab klasik menjadi terbakukan secara matang yang kemudian dapat dirujuk oleh umat Islam dan menjadi bagian dari warisan khazanah Islam. Tanpa warisan itu, tidak bisa dibayangkan bagaimana umat muslim sekarang dapat mengamalkan ajaran Islam secara baik dan benar.
Karenanya, yang diperlukan bagi umat Islam sekarang adalah memelihara perbedaan dengan keterbukaan pikiran dan ketulusan hati dalam menerimanya. Tradisi beda pendapat di kalangan ulama dan umat Islam secara luas adalah warisan kekayaan Islam yang perlu dijaga dan dilestarikan supaya ilmu-ilmu keislaman dapat berkembang dan mencapai tahap kesempurnaannya.
Umat Islam bisa beda tentang satu hal atau hal lainnya, selama itu hanya ada di ranah furu’uddin. Tetapi dalam hal ushuluddin dan tujuan dari penyelengaraan syariat agama, umat Islam tetap harus bersatu, dan itulah realitas yang umumnya terjadi di sepanjang kesejarahan Islam.
Editor: Yusuf