FalsafahPerspektif

Bahagia ala Epictetus yang Perlu Kita Pelajari

4 Mins read

Urip pancen angel, kudune ra usah ngomel, begitulah dua bait lagu Koes Plus yang begitu jelas menggambarkan betapa hidup ini memang susah dan seharusnya tak perlu marah-marah. Berapa banyak orang yang tidak bahagia karena hidup yang ia jalani? Sesekali dapat peristiwa yang tidak mengenakkan di hidupnya, marah tanpa jelunterungan jelas.

Uang hilang, menyesalnya minta ampun. Masalah asmara, bertengkar sedikit langsung ambyar. Tugas kantor menjadi beban, hari-harinya hanya diwarnai kecemberutan dan sedikit senyuman. Ditambah lagi ketakutan dan kekhawatiran terhadap Covid-19. Prasangka-prasangka negatif pun selalu saja menyeruak ke jiwa, hidup menjadi gusar, tak menentu dan hilangnya ketentraman.

Epictetus yang Bahagia

Menjalani hidup dengan penuh bahagia, tentunya menjadi idaman semua orang. Untuk memperoleh kebahagiaan hidup seperti demikian, kita akan diantarkan pada metode latihan hidup bahagia yang ditawarkan seorang filsuf Stoikisme, Epictetus.

Belajar hidup bahagia dari Epictetus merupakan satu hal yang dapat menjadi opsi bagi seseorang yang diliputi prasangka-prasangka negatif, ketakutan dan kekhawatiran yang berlebih, penyesalan yang tidak penting, marah-marah tidak jelas, karena ia melalui Stoikismenya dapat menyembuhkan gangguan-gangguan negatif itu semua.

Di era Yunani Klasik, antara tahun 50-60 M di Kota Hierapolis (Sekarang bernama Tambouk-Kalessi, terletak di bagian barat daya Turki, kira-kira 100 mil sebelah timur Kota Efesus), Epictetus dilahirkan ke dunia. Tidak banyak yang diketahui tentang dirinya, kemungkinan besar ia dilahirkan menjadi seorang budak. Dan selama hidupnya ia hanya mengabdikan diri kepada Ephaproditus, seorang sekretaris kaisar Nero (54-68 M) di istana Roma.

Nama Epictetus pada dasarnya merujuk atas dua makna, pertama, bermakna “Yang diperoleh, yang diambil dari”, sebagaimana hal ini menunjukkan jati dirinya sebagai seorang budak. Kedua, nama tersebut merujuk pada suatu daerah di Phrygia, wilayah itu bernama Epictetus, jadi lazim seorang budak diberi nama berdasarkan asal wilayahnya.

Baca Juga  Melihat Model Amar Ma’ruf Nahi Munkar Versi FPI

Epictetus merupakan seorang tua yang pincang. Dari cerita kaum Kristiani, untuk mencari contoh perbandingan sabda-sabda Yesus pada saat menderita di kayu salib, seorang Bapa Gereja bernama Origenes mengangkat sebuah anekdot yang dikisahkan oleh Celsus (Filsuf Neoplatonisian yang mengolok-olok Tuhan kaum Kristiani, saat disalib hanya diam saja seperti Epictetus saat dipatahkan kakinya).

Tirulah Epictetus yang dipatahkan kakinya oleh tuannya, namun ia hanya tersenyum saja. Sembari berkata, apakah tuan ingin mematahkan kaki saya, seketika kakinya pun patah. Epictetus hanya pasrah melihat itu semua. Itulah mengapa kaki Epictetus pincang. Lebih lanjut Celcus menulis, tidakkah Tuhanmu melakukan hal yang sama seperti Epictetus? Dari anekdot tersebut, Origenes membuat pendapat lain yang ia beri judul Contra Celsus (Melawan Celsus) dan membuktikan bahwa apa yang dilakukan Yesus lebih besar ketimbang Epictetus.

Agere Contra

Namun A. A. Long tak sepakat dengan cerita itu. Menurutnya, Epictetus tidak pernah menggambarkan tuannya sebagai seorang yang kejam. Ini karena ia selalu diberi izin tuannya untuk belajar filsafat Stoikisme—sebuah laku hidup—kepada Musonius Rufus (Seorang guru Stoik yang terkenal di Roma). Sekitar 68 M, Epictetus dimerdekakan dari statusnya, bertepatan dengan kematian kaisar Nero. Tidak jauh berbeda dari dua gurunya, Socrates dan Musonius Rufus.

Epictetus juga tak pernah menulis suatu karya untuk dinikmati bersama. Semua tentang ajarannya ditulis muridmya, Lucius Flavanianus Arrianus Xenophon, yang kemudian ia jadikan delapan buku, berjudul Diatribai. Teks-teks tersebut sangat kental nuansa religius, karena pemikirannya merujuk pada Socrates dan Musonius Rufus. Spirit orang-orang Kristiani pun juga turut mempengaruhi cara berpikirnya.

Supaya dapat memahami dunia dengan penuh bahagia, Epictetus memberikan beberapa metode untuk mencapainya. Tetapi metode itu disesuaikan dengan tingkatan masing-masing individu. Untuk seorang pemula, terlebih dahulu ia harus menggunakan metode agere contra. Agere contra adalah melakukan hal berlawanan dari hasrat dan dorongan-dorongan yang sering dilakukan.

Baca Juga  Hijrah yang Tak Menyejarah?

Jika hasrat akan sesuatu tidak dapat terkontrol, maka ia perlu mengingat kematian. Jika kita cenderung banyak omong, maka perlu latihan diam. Jika nafsu seksual menggebu-gebu bagi yang belum menikah, maka ia perlu melakukan aktivitas lain yang bermanfaat atau ia perlu berpuasa. Jika nafsu ingin memiliki uang banyak dan membayangkan betapa enaknya memilikinya, maka yang perlu dilakukan jangan menambah bayangan akan kenikmatan-kenikmatan yang diperoleh dari uang-uang tersebut.

Jika sudah kecanduan smartphone dan sering sensitif terhadap aplikasi media sosial yang digunakan seperti twitter, facebook, karena bacotan unfaedah netizen maka yang perlu dilakukan menghindari penggunaan smartphone itu sendiri dengan beralih pada HP jadul. Jika sedikit-sedikit marah, maka perlu duduk dan merenung, begitupun seterusnya. Secara garis besar, agere contra merupakan metode kebalikan dari sesuatu yang negatif ke hal-hal yang positif.

Metode Positif

Selanjutnya Epictetus memberikan metode lain, ia menyebutnya sebagai metode positif. Metode positif lebih memfokuskan pada konsentrasi diri untuk mempraktikkan apa saja yang telah diterima dalam wacana teoretik. Dalam metode positif, ada tiga pembahasan besar sebagai langkah menuju kebahagiaan, yaitu fisika, etika, dan logika.

Fisika dapat dipahami sebagai usaha kita atas sesuatu yang dihasrati (diingkan), dan apa yang dihasrati itu bersifat logis, sehingga dengan hasil apapun itu, kita pasti menerimanya. Kita sering diliputi kekecewaan dari kenyataan hidup. Semua yang diinginkan telah diusahakan, namun secara tiba-tiba hasilnya tidak sesuai yang diinginkan.

Sesuai metode fisika, hal tersebut seharusnya diterima apa adanya, karena hasil berada di luar kehendak kita. Kita tinggal usaha, sisanya diserahkan kepada logos atau sang Ilahi.

Kemudian etika, yang masih ada hubungannya dengan agere contra. Untuk mempermudah memahaminya, kata kunci yang dapat dipakai ialah kewajiban. Dari proses latihan dan hasil yang didapat dari agere contra, kita memiliki kewajiban untuk menjalankan dan menjauhinya.

Baca Juga  Islam Agama Kasih Sayang

Misalnya kewajiban taat kepada Tuhan, berbakti kepada kedua orang tua, menghormati yang lebih tua, menghindari pergaulan bebas, dan sebagainya. Kemudian menjadi hal yang wajib dihindari jika frustasi akibat kegagalan menyelimuti diri. Kegalauan berlebih juga wajib dihindari akibat cinta ditolak oleh seorang pujaan hati. Kekecewaan berlebih akibat KKN ditiadakan—diganti KKN-DR—karena pandemi covid-19 ini, wajib dihindari sejauh-jauhnya. Semua harus disyukuri dan diterima secara lapang dada. Pun demikian seterusnya.

Yang terakhir, logika. Di sini logika masuk dalam ranah dialektika, yang meniscayakan adanya suatu representasi. Sebagaimana contoh, seseorang kehilangan uang karena dirampok, namun ia biasa-biasa saja tidak bersedih dengan selalu berpikiran positif. Mungkin ia merampok karena ada beban yang ditanggung, lain dari itu juga bisa buat amal kebaikan untukku, toh uang bisa dicari lagi.

***

Tak berguna marah-marah dan menyalahkan diri sendiri dengan kata “seharusnya begini” atau “jatokno ngene” aku pasti tak kena rampok, kita cukup menerimanya. Setelahnya ada evaluasi untuk meluruskan jiwa, dengan seperti itu kita bisa maju dan hidup bahagia. Selamat mencoba!

Editor: Nabhan

Avatar
4 posts

About author
Sekretaris Bidang Keilmuan PK IMM Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds