Tak melulu tentang perkara teologi dan eskatologi semata, Al-Qur’an juga memuat prinsip-prinsip kehidupan duniawi yang senantiasa relevan dengan perkembangan zaman dan tak lekang oleh waktu (Ṣalih Li Kulli Zaman Wa Makan).
Menelaah pesan-pesan Al-Qur’an yang berhubungan dengan keseharian manusia merupakan bagian dari -apa yang disebut oleh Prof. Quraish Shihab sebagai- “Membumikan Al-Qur’an.”
Berikut akan disajikan beberapa pendapat ulama klasik dan modern serta cendekiawan muslim mengenai kandungan QS. al-Hasyr [59]: 18, salah satu ayat yang berhubungan erat dengan kehidupan keseharian umat manusia.
Penjelasan dari QS. al-Hasyr [59]: 18
Allah swt. Berfirman dalam Q.S. al-Hasyr [59]: 18
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (Al-Ḥasyr [59]:18)
Bersandingnya seruan kepada orang beriman (يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ) dengan perintah takwa (اتَّقُوا اللّٰهَ ) pada ayat di atas merupakan pertanda bahwa iman dengan keyakinan hati perlu disokong dengan iman ‘amali, yakni dengan mematuhi segala perintah-Nya (Tafsir ays-Sya’rāwi : 15081).
Ibnu Zaid sebagaimana yang dikutip oleh Imam aṭ-Ṭabari ([12]: 50) menyatakan bahwa kata اَلْأَمْسُ dalam Al-Qur’an digunakan untuk menunjukkan kehidupan dunia, seperti pada penggalan Q.S. Yunus [10]: 24, كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالْأَمْسِ.Adapun kata غَدٌ merujuk kepada kehidupan akhirat, seperti yang terdapat dalam Q.S. Al-Ḥasyr [59]:18 وَالْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ.
Pemaknaan demikian dikarenakan dekatnya hari kiamat, dan setiap sesuatu yang akan datang tanpa diketahui kapan waktunya (salah satunya hari kiamat) pasti dekat keberadaannya (al-Marāghi [28-30]: 45).
Ayat di atas mengulang perintah takwa اتَّقُوا اللّٰهَ) ) sebanyak dua kali.
Dua Jenis Ketakwaan
Imam al-Qurṭūbi menguraikannya menjadi dua jenis ketakwaan yang berbeda dengan masing-masing dimensi waktu yang berbeda pula.
Takwa yang pertama merupakan taubat atas perbuatan dosa di masa lalu, sedangkan takwa yang kedua bermakna menghindari kemaksiatan di masa mendatang. (Tafsīr al-Qurṭubi, [17-18]: 29)
Pengulangan perintah takwa juga didasari oleh perasaan yang terselip dalam setiap perilakunya. Perintah takwa pertama bertolak dari perasaan takut atau dalam rangka melakukan amalan positif.
Masih pada ayat yang sama, perintah bertakwa kemudian diulangi lagi dengan dorongan rasa malu untuk meninggalkan amalan negatif. (al-Mishbah [13]: 552) Di lain tulisan, Prof. Quraish Shihab menyatakan bahwa pengulangan perintah takwa pada awal dan akhir ayat mengisyaratkan tentang takwa sebagai landasan berpikir serta sebagai tempat bertolak untuk mempersiapkan hari esok dan juga takwa sebagai bentuk hasil akhir yang diperoleh (Wawasan Al-Qur’an, 553).
Mempersiapkan Hari Esok
Selain pengulangan perintah takwa, yang juga menjadi perhatian para ulama dan cendekiawan adalah pada penggalan ayat وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ.
Sebagian para ulama dan cendekiawan muslim tidak membatasi makna hari esok atau غد hanya pada pengertian hari esok di akhirat kelak.
Berdasarkan penelusuran Prof. Quraish Shihab, ditemukan 5 kata غد dalam Al-Qur’an yang diterjemahkan dengan hari esok. Tiga di antaranya secara jelas digunakan dalam konteks hari esok duniawi, sedangkan sisanya dapat mencakup esok yang dekat maupun yang jauh (Wawasan Al-Qur’an, 553).
Menurut Cak Nun, dalam menentukan visi ke depan (لِغَدٍ ) seeorang perlu memiliki pijakan di belakang yang kuat terlebih dahulu (مَا قَدَّمَتْ ) Perintah melihat ke depan dalam waktu yang bersamaan juga menuntut seseorang untuk selalu memiliki kewaspadaan di belakang. (Kalau Kamu Ikan, Jangan Ikut Lomba Terbang: 43 ) Dalam artian, diperlukan keseimbangan antara tujuan yang hendak dicapai dan bekal yang perlu dipersiapkan. Cak Nun mengistilahkannya dengan “dialektika kehidupan.”
Dalam aktualisasinya di kehidupan nyata, menurut Cak Nun, dialektika dapat diterapkan dalam ruang lingkup yang lebih luas. Dari perkara sederhana, seperti seseorang yang dapat mengetahui rasa manis karena ia mengenal dengan baik bagaimana rasa asam dan pahit.
Perkara yang lebih pelik pun tak luput dari dialektika kehidupan. Dalam kejadian di mana ketika seseorang melihat orang kaya, sudah sepatutnya juga ingat orang miskin.
Dengan demikian, seseorang tidak akan terpukau dengan indahnya kekayaan semata, akan tetapi juga teringat dengan kemiskinan yang bisa saja tiba-tiba datang menghampiri sekaligus mengingatkan kita akan roda kehidupan yang senantiasa berputar.
Di sisi lain, bagi mereka yang memiliki kekayaan, dengan benar-benar menghayati dialektika kehidupan, mereka tidak akan terbuai dengan apa yang dimiliki saat ini, karena sadar semua itu hanya titipan dan bisa saja sewaktu-waktu diambil oleh sang pemilik.
Dalam dampak yang lebih jauh, dengan kesadaran akan barang titipan, seseorang akan berusaha menjaga dan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya barang titipan tersebut, agar sang penitip merasa senang.
Mengapa Banyak Tokoh Sering Membicarakan Kehidupan?
Mungkin apa yang ditulis oleh Buya Syafii Maarif dalam bukunya Membumikan Islam bisa dijadikan sebagai acuan, bahwa permasalahan manusia secara umum adalah sikap berpandangan singkat dan terlalu jumawa dengan apa yang sedang dinikmati.
Sikap inilah yang juga bisa dianggap sebagai penyebab mengapa Al-Qur’an melalui salah satu ayatnya pada Q.S. al-Ḥasyr [59]:18 memerintahkan manusia untuk mempersiapkan guna menghadapi kehidupan abadi yang sesungguhnya (Membumikan Islam, 2019).
Tiga Hal yang Wajib Ditempuh untuk Memperoleh Kebahagiaan Hakiki
Dengan demikian, dalam mengarungi kehidupan, ada tiga hal yang perlu diperhatikan jika seseorang menghendaki kebahagiaan hakiki.
Masa lalu, sekarang, dan masa depan merupakan tiga hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Tidak ada yang salah ketika kita menikmati sesuatu yang dimiliki saat ini, namun hendaknya diiringi dengan persiapan untuk menghadapi hari esok.
Keterpakuan dan keterpukauan dengan masa sekarang dapat menjerumuskan seseorang dalam masa depan yang suram.
Melalui masa lalu yang menyimpan banyak pelajaran yang berharga, kita semua dapat mewujudkan impian yang lebih baik di masa depan kelak, baik dalam dimensi duniawi maupun ukhrawi.
Editor: Yahya FR