Riwayat persebaran Islam di Jawa memiliki kisah yang begitu panjang. Islam datang dengan semangat moderasi, dengan tanpa menghilangkan budaya-budaya Jawa, namun mampu memberikan suntikan nilai-nilai Islam di dalamnya.
Hal ini tercermin melalui beberapa kebudayaan Jawa yang bernuansa nilai-nilai Islam yang dapat kita saksikan hingga hari ini seperti kisah-kisah wayang, tembang, tradisi slametan dan lain sebagainya.
Keberadaan Islam tidak hanya memberikan suntikan kehidupan baru bagi masyarakat Jawa. Para tokoh penyebar agama Islam menjadi sosok yang berperan penting dalam urusan-urusan publik seperti ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Tak heran, bila Islam mampu menjadi penyatu perbedaan identitas hampir seluruh masyarakat Jawa saat itu.
Puncak Persatuan Jawa dan Islam
Puncak kedahsyatan persatuan Jawa dan Islam dapat ditelusuri dalam peristiwa Perang Diponegoro melawan Pemerintah Hindia Belanda tahun 1825-1830, atau yang sering disebut juga sebagai perang Jawa.
Di bawah komandan Pangeran Diponegoro yang dinobatkan sebagai sultan dalam perjuangan, perang Jawa mampu menggoyahkan kedudukan Belanda di Jawa.
Meskipun hasil perang kembali menegaskan kedudukan Belanda di Jawa, namun perang ini dicatat sebagai salah satu yang terbesar selama kedudukan Belanda di Nusantara.
Pasca usainya perang Jawa, Belanda melihat besarnya ancaman yang ditimbulkan akibat menyatunya Islam dan Jawa. Oleh sebab itu, beberapa upaya sistematis dilakukan oleh Belanda guna memisahkan atau bahkan menciptakan semacam hubungan yang terkesan tidak selaras di antara keduanya. Dalam artian, Belanda berusaha mendegradasi signifikansi Islam dalam kehidupan masyarakat Jawa.
Upaya-upaya Belanda Memisahkan Islam dan Jawa
Pertama, melalui pembentukan lembaga Javanologi tahun 1832. Lembaga ini, secara khusus dibentuk oleh Belanda untuk menjinakkan elit pejabat di lingkungan keraton supaya kedap dari pengaruh Islam progresif yang dianggap tidak jinak terhadap pemerintah kolonial.
Selain itu, melalui berbagai bantuan disiplin ilmu arkeologi dan filologi, pusat Javanologi mencoba membangun imaji adihulung masa lalu pra-Islam melalui konsep “Jawa esensial.” Sederhanya, idealitas Jawa didefinisikan ulang seperti ketika masa-masa Jawa sebelum kedatangan Islam.
Kedua, melalui praktik tanam paksa 1830, tepat setelah berakhirnya Perang Jawa. Melalui praktik tanam paksa, masyarakat Jawa didorong ke dalam sebuah stratifikasi sosial yang bersifat konfrontatif.
Melalui penciptaan varian kelompok yang saling menegasikan,menyerang, dan menyangkal satu sama lain. Pemecahan ini tidak lain ditujukkan untuk melanggengkan kekuasaan kolonial dalam ikhwal pengerukan sumber daya di Jawa.
Melalui praktik tanam paksa, masyarakat Jawa dipecah ke dalam beberapa stratifikasi sosial antara lain: pertama, golongan priyai. Para bangsawan Jawa dijadikan sebagai aparat birokrasi pemerintah kolonial yang ditugaskan untuk menghisap keuntungan maksimal praktik tanam paksa. Kedua, putihan. Kelompok pedagang yang menyediakan cash money layaknya pedagang China ataupun Arab yang notabene sudah terpisah dari kebudayaan keraton Pasca perang Jawa. Ketiga, abangan.
Kelompok petani tertindas yang telah kehilangan naungan pemimpin agama dan elit keraton, dan dijadikan sebagai objek yang diperas dan dieksploitasi habis-habisan dalam praktik tanam paksa.
***
Ketiga, politik etis. Terdapat hal penting yang patut dicermati dalam pelaksanaan politik etis (edukasi, imigrasi, irigrasi) dalam ikhwal pendidikan di Jawa. Hal tersebut adalah reposisi pesantren yang notabene menjadi penyangan keilmuan dan pandangan hidup masyarakat Jawa dengan sebuah sistem pendidikan barat yang baru dikenalkan oleh Belanda.
Ini adalah titik kulminasi upaya Belanda dalam mencerai beraikan Islam dan Jawa melalui pendirian lembaga-lembaga pendidikan baru seperti MULO, HIS, STOVIA, dan lain sebagainya.
Melalui sistem pendidikan baru tersebut, para priayi Jawa dibuat semakin nyaman dengan posisinya sejak pendirian lembaga Javanologi. Mereka semakin terserap dalam arus pendidikan barat yang pada akhirnya telah mencerabut akar kejawaan dan Islam serta menyebabkan mereka menautkan diri pada konsep essensial Jawa (Jawa pra-Islam) ala kolonial melalui gerakan theosofi sebagai gerakan baru. Hal inilah nantinya yang melatar belakangi lahirnya kepercayaan kejawen tahun 1930-an yang terpisah dari ajaran-ajaran Islam terdahulu.
Begitulah upaya sistematis Belanda dalam mencerai-beraikan kesatuan Islam dan Jawa yang dianggap begitu dahsyat dan membahayakan kedudukan pemerintah kolonial.
Melalui sebuah konsep dasar politik pecah belah atau devide et empera, Belanda berhasil membangun sebuah stratifikasi sosial dalam masyarakat yang impoten dalam upayanya menumbangkan kolonialisme.
Praktik-praktik itulah yang pada akhirnya berdampak panjang bagi riwayat perpecahan dalam sejarah Indonesia yang dapat kita rasakan hingga hari ini.
Editor: Yahya FR