Perspektif

Beli Baju Lebaran, Keinginan atau Kebutuhan?

3 Mins read

Sudah menjadi tradisi ketika hari menjelang Lebaran, setiap pusat-pusat perbelanjaan seperti mall dan pasar tradisional akan menjadi penuh sesak. Meskipun sudah tersedia toko online, lantas tidak membuat rasa puas berbelanja menjadi takluk dengan adanya toko online tersebut. Karena membeli secara langsung memiliki nuansa kepuasan yang lebih dari pada berbelanja lewat online.

Namun di tengah pandemi Covid-19 seperti ini, hal tersebut sangat berresiko tinggi terkait dengan penularan. Jumlah kerumunan yang begitu banyak dapat memicu resiko penularan cepat. Dan hal ini diperkirakan akan berlangsung hingga 10-14 hari ke depan mengingat tradisi Lebaran dan liburan oleh masyarakat indonesia begitu kental.

Melihat fenomena tersebut, masyarakat Indonesia belum sepenuhnya mengerti akan keinginan dan kebutuhan. Betapa tidak, Lebaran dengan kultur Indonesia Iebih identik dengan hal-hal berbau baru seperti baju baru, sandal baru, HP baru, dan seterusnya. Padahal, inti dari Lebaran adalah proses tazkiyatun-nafs (penyucian jiwa). Jadi, jiwa juga butuh yang baru setelah melalui proses peperangan satu bulan penuh melawan hawa nafsu. Jiwa yang baru dalam artian menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Tanpa kita sadari, yang demikian sudah mendarah daging dalam tradisi Lebaran di Indonesia sehingga perlu adanya review (melihat kembali) apakah sudah tepat dalam membedakan antara keinginan dan kebutuhan?

Keinginan Bersifat Sementara

Hidup itu sebenarnya sederhana yang dibutuhkan, kalau kita selalu bersyukur dengan apa yang kita miliki. Namun hidup juga dapat menjadi beban kalau kita tidak pernah bersyukur terhadap apa yang kita miliki. Sejatinya apa-apa yang kita miliki sekarang hanyalah titipan bukan kepemilikan abadi dan sewaktu-waktu pasti akan kembali.

Misalnya lihatlah mainan mobil-mobilan atau robot-robotan masa kecil kita yang baru dibeli dulu. karena kita begitu menginginkannya hingga tidur pun kita ada yang tak mau lepas darinya, hehe. Namun seiring dengan pertumbuhan kita yang semakin besar dan mulai menginjak remaja, mainan tersebut seakan tak berguna lagi walau dulu sangat kita inginkan.

Baca Juga  Hirarki Kebutuhan ala Abraham Maslow

Betapa tidak, di usia remaja kita sudah tidak relevan lagi dengan mainan tersebut. Waktunya sudah berbeda dan jika tetap memainkan mainan tersebut apalagi dengan teman-teman sejawat, mungkin mereka akan menyebut kita sebagai anak idiot, tentunya gak mau kan ya, hehe.

Nah poinnya adalah dengan analogi mainan tersebut kita dapat mengetahui bahwa keinginan itu hanya bersifat sementara. Begitu juga dengan membeli barang-barang lain seperti baju baru lebaran.

Bukankah baju lebaran yang kita beli setiap tahun masih ada? Dan bukankah baju tersebut juga jarang kita pakai karena mungkin sudah kekecilan apalagi cuma dibuat koleksi di lemari dan akhirnya jadi mubadzir kan, hehe. Mending disumbangkan karena siapa tahu akan lebih bermanfaat. Loh, kan baju Lebaran tahun lalu sudah nggak muat, maka harus beli lagi tahun ini. Emang iya, sudah kekecilan tapi apakah semua baju yang kita miliki kekecilan termasuk yang kita pakai sekarang? Nggak dong ya, hehe.

Nah di sinilah kita dapat berpikir ulang atau menjernihkan pikiran kita karena mungkin kita terlalu terobsesi dengan keinginan sehingga lupa akan nilai berbagi dan juga menghormati. Berbagi dalam artian mungkin kita dapat mendonasikan sebagian rezeki kita kepada mereka yang membutuhkan. Karena pasti banyak di tengah pandemi seperti ini yang kesusahan untuk sekedar mencari makan. Menghormati dalam artian tidak menyia-nyiakan pengorbanan para tenaga medis yang berjuang di garda terdepan melawan pandemi Covid-19.

Kebutuhan Bersifat Jangka Panjang

Barangkali kita merasa sangat membutuhkan suatu benda atau barang tapi tak kunjung mendapatkannya. Jangan menyesal, berarti benda atau barang tersebut masih menjadi keinginan bukan kebutuhan.

Kebutuhan sejatinya akan datang dengan sendirinya karena Allah pasti paham mana yang terbaik bagi hambanya. Allah akan memberikan apa-apa yang dibutuhkan hambanya bukan apa-apa yang diinginkan oleh hambanya. Jadi ketika kita memiliki banyak uang dan uang itu cepat habis, bukan semata-mata karena kita menghabiskannya untuk kebutuhan melainkan keinginan yang tak ada ujung batasnya.

Baca Juga  Darul Ahdi wa Syahadah: Pancasila Sebagai Traktat Kaum Beragama di Indonesia

Kembali lagi pada poin rasa syukur di atas. Rasa bersyukur yang tinggi akan menghadirkan ketenangan jiwa pada diri kita sedangkan tanpa rasa bersyukur kita tidak akan pernah merasakan ketenangan jiwa dan selalu merasa kurang. Begitulah hukum alam bekerja karena seperti kita ketahui bahwa di atas langit masih ada langit.

Rasa bersyukur inilah yang akan menjadikan kita sebagai manusia yang berkecukupan. Suatu barang akan menjadi kebutuhan manakala memiliki fungsi kebermanfaatan bagi kehidupan kita. Dari situ kita tidak akan terobsesi untuk membeli barang yang tidak sesuai kebutuhan kita sehingga barang yang kita miliki sudah cukup untuk memenuhi kehidupan kita. Dan biasanya barang itu akan tahan lama karena kita membutuhkannya bukan menginginkannya.

Dalam hidup sudah semestinya kita mendahulukan kebutuhan dari pada keinginan apalagi di tengah situasi pandemi sekarang ini, tentunya kita tidak ingin mati konyol karena tidak sanggup membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Kita harus ingat bahwa hidup hanya sekali tidak seperti hero pada permainan mobile legend yang ketika mati bisa recall (hidup kembali) dengan hanya menunggu beberapa detik saja.

Akhirul kalam, hidup itu harus seimbang sebagaimana hukum alam telah mengajarkan kepada kita bahwa segala yang ada di alam semesta ini telah bergerak sesuai kebutuhannya bukan sesuai keinginannya. Tidak dapat dibayangkan jika benda-benda di langit tidak bekerja sesuai kebutuhan dan hanya bekerja sesuai keinginan semata. Wallahu ‘alam

Editor: Arif

4 posts

About author
Mahasiswa Sekolah tinggi ilmu al-Qur'an dan sains Al-ishlah Sendangagung Paciran Lamongan
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds