Baru-baru ini Prof. Din Syamsuddin dilaporkan oleh sebuah kelompok yang menamakan dirinya sebagai Gerakan Anti Radikalisme Alumni ITB (GAR ITB). Mereka melaporkan Prof. Din atas tuduhan bahwa ia adalah sosok tokoh yang radikal.
Pelaporan ini tentu mengundang protes dan penolakan keras, baik dari internal warga Muhammadiyah ataupun dari rakyat Indonesia yang menaruh simpati Pada Prof. Din. Sebab mereka tahu persis dengan kiprah beliau selama ini. Karenanya mereka menganggap tuduhan Din radikal adalah tuduhan mengada-ada.
Sebab mereka yang mengikuti sepak terjang beliau dari awal tentu tahu kalau ia adalah tokoh yang gencar melakukakan dialog antar agama dan peradaban. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu aktif menyebarkan perdamaian dan mensosialisasikan gagasan Islam wasathiyah (Islam moderat) .
Hanya saja, harus diakui bahwa sikap beliau terhadap pemerintah saat ini cukup berbeda dari cendekiawan atau tokoh Indonesia kebanyakan. Ia masif melemparkan kritik terhadap negara. Tentu dengan dasar kecintaannya terhadap Indonesia dan dengan kesadaran bahwa setiap pemerintahan perlu untuk dikontrol.
Inilah yang menurut saya mungkin membuat sebagian orang geram dan membidikkan serangannya terhadap mantan Ketua Umum MUI tersebut. Sehingga mereka melancarkan manuver yang berniat untuk membungkam dan menjatuhkan marwah Prof. Din Syamsuddin.
Saya yakin bahwa serangan dan manuver yang dialamatkan pada Prof. Din itu tidak akan membuatnya gentar. Malah semakin memperkokoh dan meneguhkan komitmennya untuk terus-menerus meluruskan kiblat bangsa. Karena kalau bukan dirinya, kepada siapa lagi masyarakat Indonesia menaruh harapannya? Khususnya di saat tokoh-tokoh lain diam dan tidak bisa diharapkan.
Mengulik Kata Radikal
Lewat tulisan ini, saya tidak akan berpanjang-lebar mengurai kiprah dan kontribusi Prof. Din terhadap bangsa dan negara. Karena hal itu sudah jelas banyak. Hanya saja, yang menarik perhatian saya adalah kata “radikal” yang ditujukan terhadap alumni Pesantren Gontor tersebut.
Kata ini sejak lama telah menggelisahkan sebagian orang. Kata itu dianggap bermasalah. Karena sangat jauh dari makna aslinya. Khususnya setelah ia digunakan dan dibunyikan oleh negara. Sebab interpretasinya juga diberikan oleh negara yang tentunya sarat akan kepentingan.
Kata “radikal” pertama kali digunakan oleh pemerintah untuk menyebut kelompok-kelompok yang dianggap keras dan membangkang. Dalam hal ini kita bisa menyebut HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) sebagai contoh. Gerakan ini dianggap radikal karena mencoba mengubah ideologi negara dan menggantikannya dengan ideologi tertentu.
Begitulah awal konteks penggunaan kata “radikal” hingga sampai dikenal seperti sekarang ini. Namun kemudian, kata ini digugat oleh para pengamat. Banyak dari mereka yang berbicara tentang masalah dari kata ini.
Menurut mereka, kata tersebut rasanya tidak pas jika digunakan untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok keras. Karena dari segi bahasa, mereka yang keras disebut sebagai kalangan “ekstrem”, bukan radikal. Sebab radikal tidak identik dengan kekerasan.
Radikal itu identik dengan cara berpikir dan bertindak yang mengakar dan mendalam. Kata radikal berasal dari bahasa Latin, radix, yang berarti “akar”, “sumber”, atau “asal mula.” Karena itulah orang-orang yang keras tidak disebut radikal. Sebab tanda radikal tidak ada pada mereka.
Mereka adalah orang-orang yang tidak dapat membedakan antara hal-hal yang dianggap mendasar dan dianggap prinsipil. Mereka bergerak secara serampangan dan barang pasti gerakannya tidak dibangun di atas hal-hal yang dianggap prinsip.
Dari sini, sudah dapat kita simpulkan bahwa mereka yang radikal adalah mereka yang gerakannya, pikirannya, dan tindakannya didorong oleh falsafah-falsafah yang mereka yang yakini dan imani. Mereka tidak sembarangan berpikir dan bertindak. Semuanya memiliki akar dan landasannya.
Din Syamsuddin Memang “Radikal”!
Jika kita memaknai “radikal” dalam arti yang demikian, maka tuduhan bahwa Prof. Din adalah tuduhan yang benar. Sebab tokoh itu memang dalam bergerak, berpikir dan bertindak selalu memiliki landasan. Khususnya falsafah-falsafah yang diyakininya.
Sebagai kader dan tokoh Muhammadiyah ia tentu meyakini dan percaya betul pada surah Ali Imran ayat 104. Ayat itu memerintahkan kepada umat Islam, “Hendaklah ada di antara kalian golongan yang menyeru pada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah daripada kemunkaran.”
Prof. Din meyakini ayat itu. Ia percaya betul bahwa hanya dengan cara sepertilah sebuah masyarakat dan peradaban akan baik. Yakni ada dari sebagian di antara mereka yang menyuarakkan kebaikkan dan menghantam segala bentuk kebobrokan. Meskipun hanya sebagian.
Saya menaruh salut dan angkat topi untuk orang-orang seperti Prof. Din. Sebab jalan yang ia tempuh itu adalah jalan yang terjal lagi menanjak (aqabah). Mereka yang telah menempuh jalan itu adalah mereka yang telah siap dengan segala konsekuensi yang akan dihadapi.
Apalagi jalan ditempuh Prof. Din adalah mengambil jalan kritik, yakni mencegah kemunkaran. Dan ini adalah tugas yang berat. Tidak semua orang yang bisa melakukannnya. Berbeda dengan menyuruh kepada kebaikan (ma’ruf) yang saya kira banyak orang yang bisa melakukannya.
Tapi itulah Prof. Din. Selama jalan yang ia tempuh adalah jalan yang baik, ia tidak gentar dan sedikitpun tidak akan surut mundur ke belakang. Ia takkan takut mati. Karena ia ingat betul dengan pesan Kiai Ahmad Sakhal yang sering diulang-ulang pada santri gontor dan santri pondok alumni gontor.
Pesan itu adalah: “Berani hidup tak takut mati. Takut mati jangan hidup. Takut hidup mati saja.” Artinya sekali panji perjuangan dikibarkan, kita tak boleh mundur dan harus terus maju. Apapun rintangan yang dihadapi di depan. Sebab tidak ada perjuangan tanpa resiko. Perjuangan yang tidak beresiko bukanlah perjuangan, melaikan sebuah sikap pecundang!