Perspektif

Benarkah Al-Ghazali adalah Sosok di Balik Kemunduran Sains Islam?

4 Mins read

Ketika kita membaca Imam al-Ghazali, maka kita akan dibawa menuju arah lika-liku kehidupan intelektual sang Imam yang digelari dengan julukan Hujjatul Islam tersebut. Perlu diketahui, al-Ghazali bukanlah ulama yang kehidupan intelektualnya sama seperti ulama-ulama lain pada masanya atau sebelumnya. Sebab ia banyak mengalami up and down dalam karir intelektualnya tersebut.

Seseorang yang bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali tersebut bisa dikatakan sebagai ulama ensiklopedis yang dimiliki oleh umat Islam. Hal ini bisa dikonfirmasi dengan karya-karyanya yang sangat banyak dalam berbagai varian dan ilmu. Beberapa di antaranya seperti, al-Munqidz min al-Dhalal, Minhaj al-Abidin, al-Mustashfa, Mi‎‎’yar al-Ilm, Maqasid al-Falasifah, Tahafut al-Falasifah, Ihya Ulum al-Din, dan lain-lain. Dengan ini, ia sangatlah pantas untuk disebut sebagai seorang teolog, faqih, filsuf, dan sufi.

Dengan adanya kitab Ihya tersebut, secara implisit dapat ditarik pemahaman bahwa pada masa akhir perjalanan intelektualnya, al-Ghazali memilih untuk menjalani laku asketisme sebagai seorang sufi. Sebab darinya, ia banyak menuliskan hal-hal terkait untuk meninggalkan dan memutus dunia dari hati dan genggamannya yang identik dengan ajaran tasawuf.

Klaim al-Ghazali Penyebab Kemunduran Sains dan Dunia Islam

Keputusan yang diambil tersebut memunculkan berbagai respon negatif dari beberapa intelektual Muslim, baik klasik maupun kontemporer. Salah satunya adalah Abid al-Jabiri, pemikir muslim kenamaan asal Maroko yang cukup serius dalam mengkritisi al-Ghazali. Mereka mengatakan bahwa al-Ghazali adalah salah seorang ulama yang bertanggung jawab atas kemunduran sains Islam.

Hal ini disebabkan karena al-Ghazali diduga telah mematikan filsafat yang dianggap sebagai induk ilmu pengetahuan sebagai titik awal kemajuan suatu peradaban. Di saat peradaban barat dijadikan sebagai simbol kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, al-Ghazali malah berusaha mematikan dan mengkritisi filsafat secara habis-habisan.

Tahafut al-Falsifah bisa dijadikan sebagai pisau untuk memverifikasi hal tersebut. Ditambah juga ada sub pembahasan dalam Ihya yang membahas tentang Kitab Dzam al-Dunya (Kitab Mencela Dunia). Itu kiranya bisa menambah kemantapan mereka bahwa al-Ghazali memang benar-benar bertanggug jawab atas faktor kemunduran sains Islam.

Baca Juga  Imam al-Ghazali: Konsep Bahagia dalam Kehidupan Sehari-hari

Namun klaim yang demikian, bisa terbantahkan apabila para pembaca karya-karyanya al-Ghazali –kuhususnya Ihya— membaca dengan pikiran yang fair dan adil. Hal ini yang selalu ditegaskan berkali-kali oleh Gus Ulil Abshar Abdalla (Pengampu Ngaji Ihya Online) di berbagai forum, agar tidak melakukan pembacaan secara literal-tekstual. Sebab, itu bisa menjadi jembatan mulus untuk melontarkan stigma-stigma kepada al-Ghazali seperti yang telah disebutkan di atas.

Mari kita coba analisis klaim tersebut secara fair dan adil, apakah dia termasuk klaim yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah atau malah sebaliknya?

Jawaban Atas Klaim Matinya Filsafat

Memang tak dapat dipungkiri bahwa di akhir masa perjalanan intelektualnya, al-Ghazali lebih memilih untuk hidup asketis sebagai seorang sufi, juga ia terlihat rajin mengkritisi para filsuf yang menurutnya problematis.

Namun hal tersebut tidak bisa dijadikan sebagai patokan juga bahwa al-Ghazali adalah orang yang bertanggung jawab atas kemunduran sains umat Islam, yang hanya diduga usahanya untuk mematikan filsafat yang menjadi induknya ilmu pengetahuan, juga sebagai orang yang bertanggung jawab atas lenyapnya cara berpikir logis di kalangan umat Islam, sebab ada beberapa alasan yang bisa menganulirnya.

Merujuk pada kitabnya yang berjudul al-Munqidz min al-Dhalal, al-Ghazali membagi ilmu –yang terinduk di dalam lingkaran yang bernama filsafat— menjadi enam sub bagian, diantaranya adalah matematika, logika, sains, teologi, politik, dan etika. (al-Ghazali, 2010: 138).

Begitu juga di dalam Ihya, ia membagi filsafat menjadi empat sub bagian. Meski agak sedikit berbeda dalam pembagian, namun secara substansi keduanya sama. Yang perlu dicatat, al-Ghazali hanya keberatan pada bagian filsafat mengenai teologi (baca: Ketuhanan) saja.

Ada dua puluh masalah dalam Ketuhanan yang di mana pemahaman para filsuf mengenai hal tersebut dinilai cukup problematis. Tiga diantaranya menyebabkan kekafiran, sedangkan sisanya mengantarkan pada konsekuensi berupa bid’ah. Tiga masalah tersebut adalah terkait qadim-nya alam, ketidaktahuan Allah terhadap hal-hal yang partikular, dan pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani. Adapun selain filsafat yang mengenai Ketuhanan, al-Ghazali tidak keberatan dan tidak mempermasalahkannya. (al-Ghazali, 2010: 143-150). Untuk lebih rincinya bisa merujuk langsung ke kitabnya yang berjudul Tahafut al-Falasifah.

Pembacaan Atas Kitab Dzam al-Dunya

Gus Ulil juga menawarkan sebuah teori ketika ingin membaca karya-karyanya al-Ghazali, yaitu berupa teori intertekstual. Teori yang dikenalkan oleh Julia Kristeva ini secara sederhana dapat dipahami sebagai sebuah teori yang berusaha untuk menemukan keterkaitan antara satu teks dengan teks-teks lain. (Bejo Sutrisno, 2016). Kiranya teori ini bisa dipakai secara luwes untuk menganalisis ide-ide al-Ghazali yang dituliskan di buku-bukunya.

Baca Juga  Tiga Kerancuan Berpikir Para Filsuf Menurut Al-Ghazali

Coba kita aplikasikan untuk menganalisis salah satu sub kitab di dalam Ihya, yaitu Kitab Dzam al-Dunya. Apabila kita pahami secara literal-tekstual, maka dari situ sangat bisa dimaknai kalau al-Ghazali menganjurkan umat Islam ini untuk mencela dunia, salah satunya dengan cara menjauhinya. Hal ini selaras dengan klaim-klaim kritikus al-Ghazali bahwa ia adalah sumber kemunduran sains Islam, dan lain sebagainya. Pokoknya al-Ghazali hanya menganjurkan umat Islam fokus beribadah dan terus beribadah.

Namun, apabila kita baca dengan perspektif teori intertekstual, kita akan mendapati makna yang berbeda dengan yang di atas. Kalau kita baca Ihya mulai dari awal, sub kitab yang paling pertama sekali dituliskan oleh al-Ghazali adalah Kitab al-Ilm (Kitab yang Membahas Ilmu).

***

Di sana, ia membagi ilmu menjadi dua, yaitu ilmu syar’iyyah dan ilmu ghairu syar‎’iyyah. Secara singkat, ilmu syar’iyyah bisa dimaknai sebagai ilmu keagamaan (ilmu yang berorientasi pada akhirat), sedangkan ilmu ghairu syar’iyyah adalah ilmu non-keagamaan (ilmu  yang berorientasi pada dunia).

Menurut al-Ghazali, ilmu ghairu syar’iyyah itu ada yang mahmud, madzmum, dan mubah. Yang mahmud diantaranya seperti ilmu kedokteran, matematika, politik, pertanian, dan lain-lain. Hukum mempelajari ilmu tersebut adalah fardhu kifayah. Artinya apabila tidak ada satu orang pun yang mempelajarinya, maka penduduk se regional tersebut terkena dosa semua, namun apabila ada salah satu orang yang mempelajarinya, maka gugurlah mereka dari dosa. (al-Ghazali, 2010, vol:1, hal:1).

Dari sini dapat kita pahami bahwa maksud al-Ghazali dalam sub kitabnya yang berjudul Kitab Dzam al-Dunya tidak serta merta menyuruh umat Muslim untuk mencela dunia, lantas kemudian menjauhinya. Akan tetapi ada makna yang lebih luwes yaitu jangan sampai umat muslim dikuasai, ditipu, dan diperdaya oleh kehidupan dunia yang hanya sementara ini. Karena di pembukaan Kitab Ihya, al-Ghazali menekankan untuk tetap mempelajari ilmu-ilmu dunia, seperti kedokteran, matemaTika, politik, dan lain-lain. Bahkan hukumnya adalah fardhu kifayah, karena disitu mengantarkan pada kemaslahatan umat. Begitulah kira-kiranya yang menjadi titik perhatian Gus Ulil ketika membaca karya-karyanya al-Ghazali, agar menghindari pembacaan secara parsial dan serampangan.

Baca Juga  Imam Al-Ghazali: Ulama Muslim yang Rakus Ilmu

Kesimpulan     

Dari keterangan yang telah dipaparkan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa klaim yang mengatakan al-Ghazali adalah sumber kemunduran sains Islam serta ulama yang mematikan filsafat dan cara berpikir logis, nampaknya belum tepat memenuhi sasaran. Sebab, apabila kita membaca karya-karyanya al-Ghazali dengan cara yang fair, adil, serta tidak secara parsial dan serampangan, maka kita tidak akan diarahkan kepada klaim tersebut, namun akan dibawa kepada pemahaman yang lebih luwes yang selaras dengan maslahat umat Islam.

Daftar Pustaka

Al-Ghazali, Abu Hamid. 2010. Al-Munqidz min al-Dhalal. Mesir: Dar al-Kutub al-Haditsah.

Al-Ghazali, Abu Hamid. 2010. Ihya Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Ma’rifah.

Sutrisno, Bejo. 2016. “Hubungan Intertekstual antara Film dan Novel ‘Negeri  5 Menara’: Jurnal Blog for Education.

Editor: Soleh

Avatar
3 posts

About author
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds