Perspektif

Benarkah Banjir Salah Anies?

3 Mins read

Sejak Jakarta dilanda banjir kemarin, tak henti kita baca caci maki dan ungkapan kekecewaan terhadap gubernur Jakarta, Anies Baswedan. Tagar #AniesGaBisaKerja dan #AniesMundur merajai trending Indonesia di Twitter.

Aneka video yang memutar ulang keterangan Anies soal banjir Jakarta pun habis dirisak dan diparodikan. Singkatnya, Anies jadi bulan-bulanan sekaligus kambing hitam dari petaka banjir besar ini. Tapi, benarkah semua ini salah Anies?

Barangkali kita memang sering gagal bersikap objektif pada banyak hal, tetapi menyalahkan soal banjir Jakarta 2020 ini pada satu orang apalagi disertai dengan kebencian yang bersandar pada perbedaan politik adalah sikap yang berlebihan.

Bayangkan, seandainya pada pilgub DKI lalu Ahok yang menang dan banjir besar tetap terjadi karena satu dan lain hal, mungkin sikap yang sama akan ditunjukkan pendukung Anies yang benci Ahok untuk menyalahkannya sebagai penjahat utama dalam semua kekacauan ini? Banjir mungkin bisa menenggelamkan rumah-rumah, tetapi rasanya gagal membilas rasa benci kita pada satu sama lain.

Kita terlalu gemar menyalahkan orang-orang dan mencari kambing hitam. Jika satu kota banjir, yang salah walikota. Jika beberapa wilayah di satu provinsi banjir, yang salah gubernur. Jika kita tak bisa berfikir jernih lagi, ujung-ujungnya yang salah Jokowi.

Yang jelas, banjir ini ulah kita semua, penduduk atau pendatang, siapapun yang sehari-hari bersinggungan dengan Jakarta. Kita yang masih gemar membuang sampah sembarangan, kita yang membangkang dari kewajiban membangun sumur resapan setiap kali mengajukan IMB, masyarakat yang menebang pohon tanpa rasa bersalah, orang-orang yang nekad membangun dan tak mau direlokasi dari bantaran sungai, pabrik-pabrik industri yang tak peduli merusak alam dan lingkungan demi menggenjot keuntungan, dan lainnya. Alam Jakarta tak sanggup lagi menahan dan menopang segala kebodohan dan keserakahan kita.

Baca Juga  Nalar Kritis Keberagamaan

Banjir ini kesalahan kolektif. Manusia memang tak bisa mengendalikan hujan yang tak kunjung berhenti, debit air yang menderas, tetapi kegagalan kita dalam menata lingkungan kita sendiri membuat air membanjiri rumah-rumah kita—menyengsarakan kita. Memangnya kapan kita terakhir mengecek saluran pembuangan air di lingkungan kita? Di RT atau RW kita?

Sebagai pemimpin, barangkali Anies memang salah. Mungkin ada yang lalai ia kerjakan. Mungkin ada yang ia abaikan. Ada yang ia salah mengerti dan salah pahami dari keputusan-keputusan yang dibuatnya. Tetapi tentu bukan ia satu-satunya orang yang bersalah dalam musibah besar ini. Banjir ini dosa kolektif!

Seandainya Ahok masih gubernur atau terpilih jadi gubernur lagi, apakah kita berani 100% menjamin semua ini tak akan terjadi? Tentu sulit kita menjaminnya. Boleh jadi Ahok memiliki visi dan program yang lebih baik dalam menanggulangi banjir, lebih serius menaturalisasi sungai, lebih tegas dalam mengalokasikan anggaran penanganan masalah banjir, tetapi selama Jakarta masih memiliki warga yang sama kualitasnya, orang-orang bebal seperti kita, toh banjir hanya soal waktu saja.

Jadi berhentilah membuat narasi-narasi buruk soal semua ini. Tak ada gunanya sama sekali. Berhentilah mempolitisasi bencana banjir ini untuk menuntaskan kebencian kalian kepada satu orang atau satu kelompok, seraya mengglorifikasi satu orang atau kelompok yang lain.

Jika kita masih sempat mengumpat, mungkin kita tak punya waktu lagi untuk berintrospeksi? Apalagi jika Anda membawa-bawa iman sebagai kambing hitam untuk petaka ini, sambil mengumpat, “Makan tuh gubernur seiman!” atau “Ini gara-gara milih gubernur pake iman doang!” atau hal-hal semacamnya, saya kira sama sekali tidak bijaksana dan tidak pada tempatnya. Dosa yang ada.

Baca Juga  Masjid Yesus Kristus Putra Maryam: Simbol Toleransi Islam

Sudahlah, jangan politisasi banjir ini. Mari kita turun dan beri bantuan. Ini saatnya untuk membentuk solidaritas, bukan memecah-mecahnya. Para korban banjir lebih membutuhkan kehadiran, uluran tangan, dan bantuan kita daripada kata-kata tajam dan jempol kita yang tak punya perasaan.

Ini bukan saat yang tepat untuk berpolitik, menjatuhkan satu orang atau kelompok, seraya mempahlawankan satu orang atau kelompok lain. Ini saatnya bergandeng tangan sebagai saudara. Ayo kita sama-sama keluar dari malapetaka ini!

Saya tahu saya mengambil resiko besar dengan menuliskan semua ini. Resiko untuk ikut dirisak dan dihina oleh mereka yang masih ingin menyalahkan Anies saja untuk semua bencana ini. Resiko untuk tidak disukai satu kelompok tertentu. Tetapi saya harus mengatakannya. Saya sedih mengetahui bahwa ada orang yang bersorak bahagia melihat banjir ini, seraya menulis status di Facebook atau media sosialnya, “Rasain tuh banjir gara-gara milih gubernur yang salah!”

Jangan-jangan kita ini memang sakit. Kita bahagia melihat bencana karena semua itu memberi pembenaran pada kebencian kita terhadap sesuatu. Kebencian yang semakin lama semakin menenggelamkan sekaligus menghanyutkan rasa kemanusiaan kita.

Apakah kita memang harus menunggu alam murka untuk membuat kita merenung, membuat kita lebih bijaksana?

Sudahlah, jangan politisasi banjir ini. Mari kita turun beri bantuan!

2 Januari 2020

Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds