Perspektif

Benarkah Cadar Identik dengan Radikalisme?

2 Mins read

Perempuan bercadar kembali menjadi pemberitaan publik. Kali ini terdapat seorang oknum perempuan bercadar yang menerobos masuk ke kawasan Istana Negara, Jakarta Pusat pada Selasa 25 Oktober 2022. Namun, yang menjadi fenomenal adalah bukan menerobosnya, melainkan oknum perempuan bercadar ini menghampiri Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) dan menodongkan senjata api atau pistol kepada Paspampres.

Seketika itu, berbagai media dengan serentak memberitakannya. Tidak sedikit juga media meminta tanggapan pada seorang pengamat, untuk menegaskan bahwa oknum perempuan bercadar ini membawa identitas Islam. Bahkan beberapa media ada yang mengaitkan aksi oknum perempuan cadar di Istana Negara tersebut sebagai sebuah tindakan terorisme.

Saya sebenarnya tidak begitu mempermasalahkan dan sepakat-sepakat saja mengenai penyebutan teroris pada tindakan oknum perempuan bercadar di Istana Negara tersebut yang sudah jelas hendak melakukan tindakan terorisme.

Namun, saya amat mempersoalkan mengenai imbas ke depan dari tindakan oknum perempuan bercadar tersebut, khususnya pada para perempuan bercadar lain yang sama sekali tidak melakukan tindak teroris.

Cadar dan Radikalisme

Sebagaimana yang kita tahu bahwa atribut cadar masih simpang siur dan bahkan menjadi perbincangan yang tiada henti, khususnya dalam konteks masyarakat Indonesia. Berbeda dengan atribut celana cingkrang yang lambat laun diterima oleh masyarakat, pasalnya cukup banyak model celana kontemporer yang juga meninggikan bawahannya hingga di atas mata kaki.

Cadar dan radikalisme masih menjadi dua hal yang sering dikait-kaitkan oleh masyarakat, meskipun keduanya secara substansial merupakan dua hal yang sama sekali berbeda.

Bahkan dalam sebuah tesis penelitian yang ditulis oleh Muchammad Nurussobach dengan judul Konstruksi Makna Radikalisme dan Implementasi terhadap Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga: Studi pada Masyarakat Kelurahan Simolawang Kota Surabaya, mengungkapkan bahwa salah satu konstruksi masyarakat mengenai radikalisme yakni diidentikkan dengan mereka yang menggunakan cadar.

Baca Juga  Memperdebatkan Kebenaran “Sprachspiele” dalam Ruang Publik Beragama

Konstruksi masyarakat semacam ini yang berdampak pada stigmatisasi secara general perempuan cadar di Indonesia. Padahal, mereka semua belum tentu bertindak atau berpola pikir radikal.

Saya sendiri pernah melakukan sebuah penelitian dengan judul Konstruksi Radikalisme bagi Mahasiswa Celana Cingkrang dan Cadar di Surabaya yang dipublikasi dalam Jurnal Paradigma UNESA. Di sana, saya menemukan bahwa kebanyakan perempuan cadar pernah memiliki pengalaman stigmatisasi radikal oleh masyarakat sekitarnya, atau sekurang-kurangnya mendapatkan labelling dengan sesuatu yang merendahkannya.

Stigma-stigma negatif pada perempuan cadar setidaknya mulai mencuat semenjak era reformasi. Yakni sejak berbagai kelompok sosial di masyarakat secara berani menunjukkan eksistensinya, termasuk kelompok-kelompok teroris, yang sebelumnya di era Orde Baru sempat dikekang. Saat reformasi itu pula, tragedi-tragedi terorisme juga bermunculan, dari bom Bali hingga yang terbaru yakni bom bunuh diri di Gereja Katedral, Makassar pada tahun 2021 yang lalu.

Mirisnya adalah tindakan-tindakan terorisme tersebut, termasuk juga oknum perempuan bercadar yang menerobos Istana Negara, bahwa mereka menggunakan atribut Islam, khususnya cadar dalam tindakan terorismenya.

***

Yang dirugikan adalah bukan hanya para korban tindakan terorisme, bukan hanya juga Islam secara general, melainkan secara mikro, yakni perempuan-perempuan cadar lainnya yang tidak melakukan terorisme, juga ikut merasakan imbas dari perbuatan teroris yang mengenakan cadar. Oknum perempuan bercadar yang menerobos Istana Negara itu kembali memupuk stigma negatif yang melekat pada perempuan cadar.

Stigma bukanlah sesuatu yang dapat diremehkan, khususnya stigma negatif pada perempuan bercadar karena imbas pelaku teroris yang mengenakan cadar. Secara individual, stigma dapat berdampak pada psikis seseorang karena ia dikucilkan oleh lingkungannya. Bahkan secara intitusional, stigma negatif cadar dapat membatasi perempuan cadar untuk dapat mengakses ruang-ruang publik tertentu. Inilah permasalahan masyarakat Indonesia hari ini.

Baca Juga  Home Learning: Antara Pembangunan Karakter dan Pembelajaran Berbasis Projek

Meskipun banyak teroris yang mengenakan cadar, namun percayalah bahwa tidak semua perempuan cadar juga melakukan demikian. Pasalnya, itu merupakan sebuah logical fallacy yang terlalu overgeneralization. Saya sendiri sejak tadi dalam tulisan ini menggunakan kata “oknum” pada perempuan bercadar yang menerobos Istana Negara, karena saya hendak menegaskan bahwa tidak semua perempuan bercadar itu radikal.

Oleh karenanya, stop! menstigmatisasi negatif, radikal, atau semacamnya pada perempuan cadar. Pasalnya, cadar dan radikalisme adalah dua hal yang sama sekali berbeda. Radikal itu persoalan tindakan dan pola pikir seseorang yang tidak ada kaitannya dengan keagamaan, sedangkan cadar lebih pada sebuah atribut keagamaan.

Editor: Yahya FR

Mohammad Maulana Iqbal
5 posts

About author
Mahasiswa Magister Sosiologi Universitas Airlangga
Articles
Related posts
Perspektif

Moderasi Hilirisasi Haji

3 Mins read
Dalam beberapa tahun terakhir, hilirisasi haji telah menjadi sorotan penting di Indonesia. Berangkat dari visi untuk memberikan pelayanan haji yang berkualitas dan…
Perspektif

AI dan Masa Depan Studi Astronomi Islam

4 Mins read
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) merupakan program komputer yang dirancang dan dihadirkan untuk dapat meniru kecerdasan manusia, termasuk kemampuan pengambilan keputusan,…
Perspektif

Pendidikan sebagai Dasar Pembentuk Nilai Hidup

3 Mins read
“Pendidikan (opvoeding) dan pengajaran (onderwijs) merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds