Opini

Bendera “One Piece” adalah Ekspresi Sosial Mencintai Tanah Air

2 Mins read

Semarak menyambut perayaan Hari Ulang Tahun ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 2025 ini terasa berbeda. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, pemasangan bendera Merah Putih kali ini diiringi dengan pemasangan bendera lain yang merupakan simbol komunitas “One Piece” di beberapa lokasi. Bendera tersebut dipasang oleh masyarakat, baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi. Logo atau simbol “One Piece” merupakan karya Eiichiro Oda, komikus Jepang, yang pertama kali muncul pada tahun 1997 di majalah Shueisha’s Weekly Shōnen Jump. Menurut beberapa sumber, makna simbol “One Piece” pada logo tersebut melambangkan pembajakan (pirate) serta petualangan dan fantasi yang penuh bahaya.

Menurut pandangan penulis, fenomena pemasangan bendera “One Piece” merupakan anomali sosial dan bentuk degradasi identitas sebagian masyarakat. Ada beberapa pesan yang ingin disampaikan masyarakat melalui fenomena pemasangan bendera “One Piece”, antara lain: protes terhadap pemerintah atas kebijakan yang dianggap tidak pro-rakyat. Seperti penanganan kasus korupsi dan penegakan hukum, serta menurunnya nasionalisme sebagian masyarakat terhadap kebanggaan sebagai warga negara Indonesia. Padahal, bendera Merah Putih seharusnya menjadi satu-satunya identitas kebangsaan yang dijunjung tinggi dalam segala kondisi.

Mengapa Bendera?

Dalam ranah sosial-politik, bendera merupakan lambang suci atau sakral yang memiliki muatan nilai sejarah, politik, sosial, geografis, dan demografis bagi sebuah negara. Bendera bukan sekadar sehelai kain berwarna; bendera merupakan simbol ideologi, pandangan hidup, dan kohesivitas manusia dengan makna filosofis yang mendalam. Pengibaran bendera “One Piece” sejatinya merupakan simbol sosial yang harus disikapi pemerintah secara serius dengan cara bijaksana. Namun tidak bersifat represif, kaku, atau menghakimi. Pemerintah dapat mengedukasi masyarakat dengan menjelaskan aturan perundang-undangan terkait makna bendera Merah Putih dan kedudukannya sebagai simbol identitas kolektif warga negara.

Baca Juga  Gelombang Protes dari Dunia Kampus Menguat, Akankah Terjadi 'American Spring'?

Fenomena “One Piece” juga mencerminkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang dinilai belum maksimal dan masih menjadi pekerjaan rumah besar meliputi penyediaan lapangan kerja, penegakan hukum, keadilan ekonomi yang semakin timpang. Serta isu kontroversial seperti dugaan ijazah palsu Jokowi. Belakangan, kebijakan abolisi dan amnesti yang merupakan hak prerogatif Presiden Prabowo juga dipertanyakan di tengah isu politik transaksional terkait kasus yang menimpa Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto.

Menurunnya Nasionalisme dan Meningkatnya Apatisme Masyarakat

Disadari atau tidak, fenomena “One Piece” mencerminkan menurunnya nasionalisme dan merebaknya apatisme di kalangan masyarakat. Beban hidup yang semakin berat dan situasi ekonomi yang tidak menentu turut menjadi pemicu fenomena “One Piece”. Dalam pandangan penulis, pemasangan lambang “One Piece” belum terlalu masif dan hanya terjadi secara sporadis di beberapa lokasi. Belum terlihat pula upaya penggiringan secara masif untuk pemasangan bendera tersebut. Namun, pemandangan bendera Merah Putih yang berdampingan dengan simbol eksternal dari komunitas asing ini terasa kurang pantas. Masyarakat seharusnya berpikir jernih dan rasional dengan tetap memasang bendera Merah Putih sebagai bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai perjuangan. Serta proklamasi yang telah ditegakkan oleh para pendiri bangsa Republik Indonesia.

Menurut Schatz dan Lavine (2007), pengibaran bendera bukan sekadar kegiatan yang dilakukan tanpa kesadaran. Pengibaran bendera suatu negara oleh warganya merupakan upaya sadar yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti simbol nasionalisme, identitas sosial, dan partisipasi politik. Berdasarkan teori ini, pemasangan lambang “One Piece” menunjukkan gejala terbelahnya identitas, ideologi, dan tingkat nasionalisme individu yang memasangnya.

Di tengah kecanggihan media sosial dan algoritma yang mendukung penyebaran informasi, fenomena “One Piece” menyebar dengan cepat bagaikan bola salju (snowball). Fenomena ini juga memunculkan sikap apatisme masyarakat terhadap perubahan sosial-politik di tanah air. Fenomena sosial lain yang sempat menjadi tren, seperti “Kabur Aja Dulu” dan “Indonesia Gelap”. Juga mencerminkan aspirasi masyarakat yang harus disikapi pemerintah secara bijak sembari terus mengedukasi masyarakat tentang nasionalisme, cinta tanah air, dan kebanggaan sebagai warga negara Indonesia.

Baca Juga  Din Syamsuddin: Umat Islam sebagai Moderating and Mediating Forces

Cukuplah fenomena “One Piece” menjadi pembelajaran bagi pemerintah sebagai abdi negara untuk terus memperbaiki pelayanan, penegakan hukum, dan keadilan sosial sebagaimana yang dicita-citakan dalam Pembukaan UUD 1945. Semoga.

7 posts

About author
Rudi Haryono adalah seorang akademisi dan dosen di STKIP Muhammadiyah Bogor. Saat ini sedang menyelesaikan disertasi di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta program studi Linguistik Terapan Bahasa Inggris. Adapun peminatan kajiannya adalah Ilmu Pragmatik (Pragmatics), Pragmatik Lintas Budaya (Intercultural Pragmatics), Bahasa dan Politik (Language and Politics), dan Isu terkait Kepemudaan (Youth Issues). Saat ini juga penulis aktif sebagai Ketua PD Pemuda Muhammadiyah Kabupaten Bogor serta merintis dan mengembangkan SMK Muhammadiyah 9 Nanggung (Muhammadiyah Boarding School/MBS) di Kabupaten Bogor.
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *