Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia bahkan dunia. NU menjadi salah satu representasi bentuk Islam tradisional yang ada di Indonesia. Dikatakan salah satu karena ada begitu banyak organisasi Islam di tanah air yang juga identik dengan Islam tradisional.
Islam Tradisional
Islam tradisional merupakan cara berkeislaman yang mengakomodasi budaya. Ciri khas NU yang bercorak tradisional ini juga bisa menjadi gambaran umum cara bagaimana umat Islam Indonesia mengamalkan ajaran agamanya. Karenanya, bicara tentang NU pasti juga sekaligus bicara tentang tradisi Islam di Indonesia.
Sebagai organisasi Islam, NU didirikan tahun 1926 oleh Kyai Hasyim Asy’ari beriringan dengan pendirianp Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Bila dibandingkan dengan Muhammadiyah yang merupakan organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, usia NU relatif lebih muda.
Salah satu ciri dasar NU adalah menganut paham Ahlusunnah wal Jam’ah (Aswaja), meskipun harus diakui bahwa umat Islam Indonesia secara mayoritas sesungguhnya juga menganut paham Aswaja (Sunni) seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Wathan, Darul Dakwah wal Iryad, dan masih banyak lagi.
Artinya, mayoritas organisasi Islam yang lahir dari perut Indonesia berpaham Sunni. Tak hanya itu, Sunni juga menjadi keyakinan mayoritas umat Islam di seluruh dunia.
Bila paham keagamaan NU tidak berbeda dengan organisasi Islam yang lain, lalu apa yang membedakan NU dengan organisasi Islam lainnya? Orang-orang yang berafiliasi dengan NU seringkali tidak mau disebut dirinya sebagai selain NU. Lalu apa yang menjadi dasar primordial orang-orang NU sehingga mereka seolah-olah memposisikan NU sebagai agama, alih-alih organisasi Islam semata?
Aswaja ala NU
Perbedaan yang paling mendasar antara cara NU beragama dengan ormas-ormas Islam lain adalah bahwa paham Aswaja versi NU ini umumnya bertitik tolak pada tiga prinsip dasar dalam beragama. Yakni mengikuti Imam Abu Hasan al-Asyari dalam bidang akidah, mengikuti empat madzhab dalam bidang fikih (yang kemudian lebih ditekankan lagi secara khusus pada madzhab Syafi’i), dan mengikuti Imam al-Ghazali dan Syech Abdul Qadir al-Jailani dalam bidang tasawuf (sufisme).
Ketiga prinsip di atas menjadi dasar seluruh cara pandang keagamaan yang ada di tubuh NU. Tidak peduli seberapa sempit dan seberapa luas cara orang-orang NU merepresentasikan agamanya, mereka semua pasti akan berpijak pada tiga prinsip ini.
Jadi, yang menjadi bangunan kokoh solidaritas keislaman di tubuh NU bukanlah tradisi dalam pengertian budaya lokal, tetapi melalui tiga prinsip keagamaan di atas. Ini sekaligus meluruskan kesalahpahaman bahwa yang dilakukan NU hanyalah memelihara tradisi lokal sehingga jauh dari nilai-nilai Islam.
Sebab, orang-orang NU meyakini bahwa budaya bukanlah bagian dari Islam, tetapi cara bagaimana mengamalkan ajaran Islam sama sekali tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsur budaya. Ini sangat mirip dengan apa yang diungkapkan oleh intelektual Muslim asal Mesir, Nasr Hamid Abu Zaid. Ia mengatakan bahwa Islam itu bukan budaya, tetapi Islam tidak bisa dilepaskan dari budaya. Pada titik inilah barangkali, cara berkeislaman orang-orang NU sangat relevan dengan apa yang diungkapkan oleh Nasr Hamid.
Persinggungan Aswaja NU dengan Kelompok Lain
Pertanyaannya, apakah ormas-ormas Islam yang mengaku dirinya sebagai Sunni tidak berpinsip pada tiga pilar dasar itu? Pertanyaan ini perlu diajukan untuk melihat apakah Sunni versi NU berbeda dengan versi Sunni yang lain? Bukankah Sunni itu hanya ada satu?
Seorang intelektual Muhammadiyah era 80-an, Buya Hamka, pernah menulis di Harian Kompas soal penolakannya terhadap paham Syi’ah. Ia mengatakan, “Islam kami berbeda dengan Syiah. Kami mengikuti Imam Abu Hasan al-Asyari dan empat mazhab fikih.” Apa yang disampaikan oleh Buya Hamka ini juga bisa dilihat sebagai representasi dari Sunni kendati beliau bukanlah NU.
Bisa dipastikan, sebagian besar – untuk tidak mengatakan semuanya – penganut Sunni di seluruh dunia mengakui tiga pilar dasar itu sebagai prinsip dasar dalam ajaran Sunni. Tetapi tiga pilar dasar itu tidak dinyatakan secara jelas dalam paham dan ajaran keagamaanya, sebagaimana apa yang dirumuskan oleh NU.
Sebab lainnya, tidak semua penganut Sunni mengakui tiga pilar itu. Misalnya, ada beberapa kelompok muslim yang menolak tasawuf sebagai bagian dari Islam, tetapi sekaligus mengamalkan produk-produk fikih dari imam mazhab. Jadi, dinamika keagamaan Islam di tubuh Sunni tidaklah monolitik kendati mereka sepakat tentang dasar sumber ajaran Islam.
Oleh karenanya, bila melihat pada aspek akidah dan syariat, yang merupakan dasar dari setiap ajaran agama, maka jelas Sunni atau Aswaja versi NU tidak ada bedanya dengan Sunni yang lain. Semuanya berdasar pada Alquran dan Sunnah. Tetapi bagaimana kedua sumber itu diamalkan jelas ada perbedaan antara satu komunitas Muslim dengan Muslim lainnya.
Yang perlu menjadi titik tekan di sini adalah tentang cara pandang terhadap Islam itu sendiri. Dalam kajian keislaman, kita perlu membedakan mana wilayah Islam dan mana wilayah pemahamaan Islam. Dua hal ini memiliki perbedaan yang sangat tajam.
Singkatnya, Islam sebagai agama jelas hanya satu. Semua umat Islam meyakini Alquran dan Sunnah sebagai pedoman beragama. Tetapi dalam pengamalannya, umat Islam bisa berbeda-beda dalam memahami kedua sumber itu.
Hal ini melahirkan tafsir terhadap agama. Pemahaman agama ini juga dipengaruhi oleh konteks sosial-historis masyarakat Muslim itu sendiri. Dari sinilah lahir apa yang dinamakan dinamika keagamaan, yakni corak beragama yang bisa berbeda antara satu komunitas dengan komunitas yang lain.
Dalam konteks dinamika paham keagamaan Islam di Indonesia, NU seringkali disebut sebagai representasi dari Islam tradisional. Istilah ‘tradisional’ ini bukan mengacu pada tradisi lokal, tetapi tradisi yang hidup sejak era Nabi Muhammad SAW dan diteruskan oleh generasi-generasi sesudahnya hingga sekarang. Ini sekaligus dapat menjadi gambaran bahwa NU memiliki khazanah tradisi yang sangat kaya, yakni terbentang sejak dari era Rasulullah hingga era sekarang.
Warisan tradisi yang menjadi pedoman NU ini juga sangat beragam. Di samping khazanah yang berasal dari Nabi dan para sahabat, juga ijtihad dan ijma’ para ulama di masa lalu yang kemudian didokumentasikan dalam bentuk kitab yang terkenal dengan sebutan kitab kuning. Tradisi yang berbasis pada kitab kuning inilah yang menjadi sumber pemikiran dan gerakan keislaman di tubuh NU.
Selain kitab kuning, NU juga memiliki basis pendidikan kultural yang sangat kuat, yakni melalui pesantren-pesantren. Meski pesantren sendiri tidak selalu identik dengan NU dan keberadaaan pesantren sudah ada jauh sebelum NU didirikan, tetapi umumnya pesantren yang ada pada masa sekarang dimiliki oleh kyai-kyai NU.
Peran pesantren bagi NU sangatlah penting. Di samping sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren juga berpesan sebagai penjaga tradisi, yakni meneruskan dan mentransmisikan paham Aswaja.
Dan yang tidak kalah pentingnya, pesantren juga melahirkan kader-kader ulama atau mereproduksi generasi ulama. Sangat sulit membayangkan bagaimana kaderisasi ulama ini dilakukan bukan di lingkungan pesantren. Menjaga pesantren sama halnya menjaga agama itu sendiri.
Salah satu kemampuan dan ciri khas yang tidak bisa diabaikan dari keberadaan pesantren ini adalah kemampuan pesantren dan para kyai dalam beradaptasi dan menyesuikan diri dengan gerak zaman. Secara evolusiner, pesantren bergembang bukan hanya memelihara tradisi, tetapi juga tumbuh sebagai lembaga keagamaan yang juga mengadopsi pendidikan modern.
Kemampuan beradaptasi ini bukan hanya pada aspek penyesuaian diri dengan semangat zaman, tetapi juga kemampuan untuk beradaptasi secara berkesinambungan dengan tradisi-tradisi lokal. Artinya, watak berislaman NU bukanlah memurnikan Islam dengan cara menolak tradisi lokal, tetapi justru memelihara tradisi yang sudah ada dan yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Bukankah itu yang diajarkan oleh Rasulullah? Ini sesuai dengan prinsip yang selalu dipegang oleh NU, “melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan menerapkan nilai-nilai baru yang lebih baik”.
Barangkali, sikap akomodatif terhadap budaya lokal inilah yang menjadikan NU sangat khas dan cukup berbeda dengan orgmas-ormas Islam lain seperti Muhammadiyah, atau barangkali juga berbeda dengan penganut Sunni di belahan dunia yang lain. Dalam keyakinan orang-orang NU, akomodatif terhadap budaya bukan hanya perlu, tetapi niscaya. Meski demikian, corak paham keagamaan Islam di tubuh NU tidaklah monolitik. Artinya, wajah NU di ranah sosial-keagamaan berkembang secara dinamis.
Dinamika paham keagamaan yang ada di tubuh NU bisa dilihat dari pergolakan pemikiran keislaman yang dilakukan oleh intelektual-intelektual NU itu sendiri. Misalnya, corak pemikiran warga NU yang hanya mengenyam pendidikan pesantren sangat berbeda dengan mereka yang juga sekaligus mengenyam pendidikan modern, lebih-lebih yang sekolah di kampus-kampus Barat.
Umumnya, corak keislaman yang murni dari pesantren bercorak kultural dan mengandalkan kitab kuning sebagai pandangan dunianya. Tetapi mereka yang berkesempatan mendapatkan pendidikan modern biasanya memiliki corak pemikiran yang lebih progresif.
Betapapun corak berkeislaman warga NU ini sangat kompleks, mereka tetap menjadi warga NU. Mereka disatukan oleh cara pandang dan keteguhan terhadap tradisi. Mereka adalah orang-orang yang tidak lupa terhadap asal-usulnya. Ibarat kacang yang tidak lupa akan kulitnya. Perbedaan cara pandang dan metode dalam memahami Islam, lebih-lebih perbedaan dalam sikap politik, adalah sesuatu yang wajar dan bisa terjadi di mana-mana.
Editor: Yusuf