Beberapa hari terakhir, penulis sedang asyik membaca novel biografi Buya Hamka karya Haidar Musyafa. Ini bukan novel biografi pertama yang pernah penulis baca. Beberapa tahun silam, penulis sempat membaca beberapa novel biografi yang cukup menarik dan asyik dibaca.
Beberapa novel biografi yang pernah penulis baca di antaranya: Pertama, Kartosoewirjo Pahlawan atau Teroris? Karya Damien Dematra. Kedua, Muhammad S.A.W Lelaki Penggenggam Hujan, karya Tasaro GK. Ketiga, Muhammad S.A.W Para Pengeja Hujan, juga karya Tasaro GK.
Ada sebuah kebahagian di kala membaca novel-novel tersebut, setidaknya ada beberapa penulis yang rela menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran untuk menyampaikan sebuah misi dakwah bil kitabah dengan bahasa yang mudah dipahami orang umum, tanpa harus membuat kening mereka berkerut.
Buku-buku yang mereka tulis juga mampu menyajikan data-data, dibalut dengan keindahan sastra. Sehingga para pembaca awam bisa menikmati alur cerita dari awal hingga akhir tanpa kehilangan esensi dan pesan moral dari novel-novel tersebut.
Kesegaran Baru dalam Berdakwah di Era Modern
Menurut penulis, kehadiran novel-novel tersebut perlu diapresiasi. Mengapa? Di kala banyak novel-novel yang hanya menceritakan kisah percintaan antara laki-laki dan perempuan, novel-novel ini hadir dengan genre berbeda. Menceritakan sederet kisah sejarah, sekaligus menyinggung beberapa rentetan konflik pada masa itu.
Meski menentang selera pasar, setidaknya novel-novel anti mainstream tersebut mempunyai tempat tersendiri di hati para pembaca yang kebanyakan dari kalangan intelektual, pendidik, dan pelajar, karena dinilai mampu mengedukasi mereka dengan kata-kata sederhana, tanpa ada kesan rumit di dalamnya.
Terlepas dari itu semua, apa yang dilakukan oleh para penulis di atas adalah contoh baik untuk mengejewantahkan konsep dakwah kekinian di era modern. Apalagi media sekarang cenderung menampilkan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan.
Butuh kesegaran baru dalam nuansa dakwah untuk memfilter berbagai arus tantangan dalam dunia hiburan. Dimulai dari dakwah bil lisan (dakwah dengan perkataan), dakwah bil hal (dakwah dengan perbuatan/keteladanan), dan dakwah bil kitabah (dakwah dengan tulisan).
Contoh bagus sering kita dengar bagaimana Sunan Kalijaga berdakwah menggunakan wayang, dan alat-alat gamelan. Beliau mencoba mengkompromikan nilai-nilai agama dengan budaya masyarakat pada saat itu. Alhasil, banyak masyarakat yang tertarik dengan dakwah Sunan Kalijaga, mereka berbondong-bondong masuk ke dalam agama Islam.
Sunan Kalijaga berhasil mengislamkan masyarakat Jawa dengan model dakwah baru nan modern kala itu. Masyarakat Jawa yang tadinya menganut ajaran tertentu, kini beragama Islam bertebaran dan bertebaran di mana pun.
Dakwah model baru juga dilakukan oleh Sunan-Sunan lain, sehingga umat Islam di Nusantara bertambah dari segi jumlah. Maka, tugas bagi generasi penerus ialah meneruskan estafet dakwah para wali dengan baik, dan mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal.
Dakwah Baru dalam Dunia Stand Up Comedy
Islam adalah agama Rahmatan Lil ‘Alamin, hendaknya dakwah selalu tertuju pada pembinaan ukhuwah, perdamaian, toleransi, keadilan, kesetaraan, dan tolong-menolong. Oleh karena itu, hendaknya dakwah dilakukan pula dengan cara-cara yang santun.
Tidak perlu caci-maki sana sini untuk mendapatkan jumlah pengikut yang banyak. Tidak perlu pula sibuk mempermasalahkan hal-hal furu’iyah yang menyebabkan umat terbelah, bahkan cenderung mengalami konflik bernuansa fisik.
Dakwah harus berorientasi pada kemaslahatan umat, serta haruslah menjamah semua kalangan. Dari orang biasa sampai orang kaya, orang religius hingga orang tak beragama.
Kita sering kali melihat orang-orang berdakwah di mimbar masjid, namun pernahkah kita melihat dakwah dilakukan di tempat-tempat yang jauh dari kesan agamis, seperti tempat-tempat hiburan?
Mungkin ini masih jarang dilakukan kebanyakan orang, namun setidaknya seruan dakwah harus tetap dilaksanakan dengan menggunakan cara-cara arif dan kontekstual sesuai dengan situasi dan kondisi. Intinya adalah mengajak pada kebaikan.
***
Tahun 2014 salah satu stasiun televisi swasta mengadakan kompetisi Stand Up Comedy Indonesia season 4 (SUCI 4). Tentunya karena kompetisi lawakan, materi yang di bawa haruslah lucu dan bisa menghibur penonton.
Kebanyakan dari peserta saat itu fokus pada bagaimana caranya agar materi yang dibawakan pecah dan mendapat tawa dari penonton, namun ada satu komika dari Bogor yang bernama Dzawin. Ia mempunyai ciri khas, materi-materi yang di bawa seputar kehidupan religius di pesantren.
Tidak hanya itu, pernah sesekali dalil-dalil hadist Nabi tentang Riya ia sampaikan di panggung SUCI 4. Meski terkesan agamis, penampilan yang ia bawakan tetaplah spesial dan lucu. Semua penonton di tempat itu kagum sekaligus terpikat dengan dalil-dalil yang disampaikan olehnya.
Mungkin ada beberapa yang berpendapat bahwa seluruh kompetisi SUCI (dari season 1 hingga season 8) haram karena di dalamnya terdapat lawakan-lawakan dusta yang membuat penonton tertawa terbahak-bahak, sehingga dapat mematikan hati.
Ya silahkan saja berargumen seperti itu, namun di luar sana masih banyak orang Islam yang meyakini bahwa seluruh kompetisi, bahkan acara Stand Up Comedy itu boleh asal dengan koridor dan syarat-syarat tertentu.
Setidaknya dari Dzawin kita belajar bahwa di mana pun kita berada, kita tetap bisa berdakwah meski dengan metode yang berbeda dan menabrak arus keumuman yang berlaku. Dakwah melalui Stand Up Comedy tergolong efektif karena banyak dari penikmat lawakan tersebut adalah orang Islam.
Meski ada beberapa dari penonton yang tidak beragama Islam. Toh, tak ada salahnya mengenalkan konsep dan ajaran Islam melalui set up dan punch line dari komika. Minimal mereka paham dengan ajaran Islam, sehingga meminimalisir dan menafikan kesan negatif agama Islam.
Metode Dakwah dengan Konteks Kekinian
Dakwah kekinian di era milenial butuh inovasi baru. Tak hanya sekadar bermodal materi agama lalu disebar kepada orang lain secara konvensional. Butuh metode baru agar dakwah bisa lebih diterima masyarakat secara umum.
Di luar, ada banyak cara untuk berdakwah seperti yang telah dilakukan Sunan Kalijaga melalui wayang dan gamelan, serta Dzawin melalui set up dan punch line dengan predikat “kompor gas.”
Masih ada alat musik seperti gitar dan rebana yang bisa kita gunakan untuk menggaungkan ajaran Islam dari belahan barat hingga timur. Masih ada media, baik cetak maupun online untuk memberi kesegaran baru dalam berdakwah.
Menjadi tugas kita semua menjalankan dakwah Islam sesuai cara, konteks dan gaya kita masing-masing dengan melihat situasi dan kondisi di sekitar.
Wallahu a’lam.
Editor: Wulan