Kisah Nabi Adam masyhur untuk semua agama, meskipun pemahaman dan penafsirannya dapat berbeda. Malahan, karena perbedaan itulah menjadi cara pandang doktrin keagamaan tertentu yang berlainan dengan doktrin keagamaan lain. Cara pandang terhadap posisi Nabi Adam sebagai manusia pertama yang dipersiapkan sebagai khalifah (pengganti atau pemimpin) di muka bumi menjadi ajang rebutan tafsir dalam konteks kepemimpinan.
Dalam kisah yang bersumber dari al-Quran, malaikat agak mengkhawatirkan peran Adam sebagai khalifah. Dalam persepsi malaikat, peran khalifah di bumi dapat menyebabkan pengrusakan, pertumpahan darah atau peperangan. Sedangkan Iblis merasa dirinya paling pantas sebagai khalifah. Pasalnya, asal-usulnya dari api yang dianggap lebih mulia dibanding Adam yang terbuat dari tanah. Pertanyaan malaikat dijawab Tuhan dengan, “Tuhan lebih mengetahui apa yang tidak ketahui malaikat.” Sedangkan bagi Iblis, karena terus ngotot dengan pandangan arogansi dan rasialisnya, ia terusir dari surga.
Setelah mendengarkan penjelasan Adam terkait dengan nama-nama (pengertian, definisi, istilah, etimologi, terminologi, dan segala unsur benda), malaikat langsung sujud, hormat, atau turut melantik Adam sebagai khalifah di bumi. Kapasitas yang dimiliki manusia, belajar, mengajar berupa ilmu pengetahuan, membuat malaikat hormat saja kepadanya. Tentu saja di bidang ibadah secara mutlak, malaikat spontan mendengar dan mematuhi (sami’na wa atha’na). Karena memang malaikat makhluk suci yang patuh dan taat pada perintah Allah SWT.
Pada sisi lain, Iblis tetap memosisikan diri sebagai oposisi kemanusiaan. Iblis ingin menyesatkan manusia ke lembah neraka. Sebagai musuh kemanusiaan, Iblis telah mengikrarkan perseteruan itu hingga akhir zaman. Iblis atau setan sekalipun takabur dan angkuh sekaligus frustrasi tetap memohon kepada Allah agar diberi tenggat waktu. Usia yang panjang digunakan Iblis untuk menyesatkan manusia ke jalan yang salah.
Mungkin, ada orang bertanya, mengapa Tuhan masih membiarkan Iblis berkeliaran? Untuk menjawab keraguan itu, barangkali dapat dikatakan begini. Sesungguhnya, Tuhan telah mengingatkan manusia bahwa Iblis atau setan musuh yang nyata bagi manusia. Itu artinya, manusia perlu waspada terhadap gerak-gerik Iblis.
Allah SWT bahkan sudah menjelaskan itu kepada Adam dan istrinya. Ketika Adam dan istrinya tinggal di jannah, memberikan kesempatan makanan seluas—luasnya. Cuma, jangan mendekati satu pohon (syajarah), karena itu dapat menjadi zalim. Oleh, iblis sebagai musuh kemanusiaan memutar balik ayat Tuhan. Salah satunya, dengan memberi nama baru pada pohon yang terlarang: syajaratul khuldi, pohon kekekalan, keabadian. Perhatikan, tambahan: khuldi, abadi, kekal? Termasuk, di situ, Iblis bersumpah layaknya penasihat.
Singkat kata, Adam dan istrinya terpedaya. Siapakah yang duluan tergoda Iblis. Dalam doktrin agama lain, ada yang menyebut istrinya (Hawa, Eva) yang duluan terbujuk, baru Adam menyusul. Sedangkan dalam al-Quran, disebutkan dengan kata ganti huma (keduanya, Adam dan istrinya) sama-sama tergoda. Siapa yang lebih awal? Al-Quran tidak menjelaskannya, sehingga jenis lebih adil, tidak mendiskreditkan satu jenis kelamin tertentu.
Akibat kurang tekad Adam dan istrinya, sampai terpedaya Iblis. Adam dan istrinya akhirnya diturunkan dari jannah. Pada saat yang sama, dalam pelanggaran itu, Adam dan istrinya langsung menyadari dan menyesali kesalahan. Keduanya, terus bertaubat kepada Allah SWT agar mendapati ampunan dan kasih-Nya. Sebab kalau bukan karena ampunan dan rahmat Tuhan, Adam dan istrinya menjadi zalim.
Zalim secara bahasa sama dengan gelap. Karena lawan kata zalim adalah cahaya, nur. Artinya, dengan berlaku zalim yang dipengaruhi Iblis atau setan, pikiran, perasaan, pandangan, dan jalan hidup ini terasa gelap. Sedangkan dengan bimbingan Tuhan, maka pikiran, perasaan, dan tindakan menjadi jelas, ada cahaya atau arah hidup.
Syukurlah, Adam dan istrinya mendapati kalimah, taubat dari Allah SWT, sampai kemudian Adam menjadi nabi pertama yang diutus Tuhan di muka bumi. Peran dan pesan kenabian selanjutnya secara sinambung, dari Nabi Adam as hingga Nabi Muhammad SAW.
Ada juga yang perlu ditegaskan di sini, dalam ajaran tertentu, dianggap turun atau terusirnya Adam dan istrinya ke dunia membawa dosa atau setidaknya keburukan, sehingga timbullah berbagai kejahatan. Maka, perlulah dilakukan “penebusan” atau “pengurbanan” dalam berbagai jenisnya.
Dalam Islam, Adam dan istrinya tobat sehingga Tuhan mengampuni mereka, tidak ada namanya “penebusan.” Ada pun misalnya, “qurban” itu lebih sebagai ujian dan pada praktik ibadah Islam itu terkait dengan penilaian takwa, bukan pada daging dan darah kurban. Artinya, Adam dan istrinya tidak mewariskan dosa atau keburukan kepada Bani Adam (turunan Adam).
Ini perlu dipahami, sebagai Bani Adam, seandainya kita melakukan kesalahan, maka tobat kepada Allah menjadi jalan yang utama. Secara bahasa, tobat berarti kembali. Pada pengertian yang lebih lengkap, tobat dimaksudkan agar kembali kepada Allah, tidak mengulangi lagi kesalahan yang dilakukan, dengan penuh penyesalan. Itu juga berarti, manusia yang bertobat memahami hanya Tuhan yang dapat mengampuni dosa, bukan manusia. Sesama manusia hanya memaafkan, bukan mengampuni dosa.
Adam dan istrinya sebagai kakek dan nenek moyang manusia, kita sebagai bani Adam perlu mendalami ini agar kita tobat. Sebagaimana halnya Adam dan istrinya, tidak banyak lagi beralasan, tidak mencari alasan karena ini dan karena itu, karena Iblis atau setan… Tetapi, Adam dan istrinya langsung tobat kepada Allah SWT atas pelanggaran yang mereka buat.
Jadi, pelajaran paling penting dalam kisah Adam dan istrinya (menurut saya), kita bertobat saat salah. Jangan lagi banyak beralasan, mencari alasan, dan apalagi menyalahkan pihak lain atas perbuatan yang kita lakukan.
Namun, betapa jamak orang justru berbuat sebaliknya. Ketika berbuat salah malah mencari alasan pembenaran atau menyalahkan orang, lingkungan, situasi, keadaan, dan sebagainya yang bisa dikambinghitamkan atas pelanggaran yang dibuatnya.
Kalau kita terus ngotot atas kesalahan yang kita buat, itu tampaknya kita lebih menuruti Bani Iblis/setan sebagai anutan, bukan lagi Bani Adam. Iblis sebagai musuh yang nyata, tidak kasat mata, tetapi dapat menjelma nyata kepada manusia dalam bentuk ketakaburan, keangkuhan, kesombongan, keakuan, keegoisan, kerasialan, kedengkian, keujuban, dan kelicikan.
Iblis atau setan, tidak pernah bertanggung jawab dan bertobat, tetapi menghiasi pandangan atau cara pandang manusia, sehingga yang buruk itu tampak indah pada khayal, persepsi, pikiran, perasaan, dan tindakan manusia. Sebagaimana disebutkan di atas, salah satu trik Iblis menyesatkan Adam dan istrinya dengan “memutar balik ayat Tuhan serta bersumpah-sumpah.”
Pembaca jangan mengira orang lain telah “memutar balik ayat Tuhan.” Justru, yang perlu kita tanyakan adalah, jangan-jangan kitalah pembaca yang demikian, bukan orang lain.
Editor: Arif