Perspektif

Berislam Secara Kaffah dalam Negara Demokrasi

4 Mins read

“Islam” dan “berislam” merupakan dua hal yang tidak sepenuhnya sama. Memang keduanya sama-sama berkaitan dengan Islam. Akan tetapi, masing-masing dari kedunya memiliki titik fokusnya tersendiri. Islam adalah sebuah keyakian, dan keyakinan merupakan bagian privasi seseorang. Dengan bahasa yang sedikit “nakal”, Islam adalah urusan individual.

Jika dilihat dari sudut pandang teologis, Islam sebagai sebuah agama menuntut adanya pengakuan secara praktis yang dapat membedakannya dengan paraktik-praktik ritual agama yang lain. Akan tetapi, dalam tulisan ini—tanpa mengabaikan sudut pandang teologis tersebut—saya ingin menekankan dengan lebih sederhana bahwa Islam adalah sebuah keyakian, sedangkan ‘berislam’ adalah tentang bagaimana seseorang mempraktikkan keyakinan tersebut dalam konteks bersosial. Oleh karena itu, persoalan yang akan diulas di sini adalah tentang bagaimana berislam dengan kaffah dalam konteks negara demokrasi.

Makna Kaffah

Berbincang soal kaffah, maka hal tersebut tidak lepas dari firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 208 yang kurang lebih artinya: “Wahai orang beriman, masuklah kamu semua ke dalam Islam”. Memang, ada perbedaan penafsiran terkait kata fi al-silm dalam ayat tersebut. Pendapat yang pertama mengatakan bahwa al-silm pada ayat tersebut berarti agama Islam. Pendapat ini dianut oleh Ibn Abbas, Ikrimah, Qotadah, al-Dhahak, dan beberapa ulama salaf lainnya. Sedangkan Abul ‘Aliyya dan al-Rabi’ mengatakan bahwa maknanya adalah perdamaian.

Dari perbedaan tersebut, Mujahid dan Abdul Razak dalam Tafsîr Mujâhid mengatakan bahwa makna Islam dari lafaz al-silm merupakan makna yang paling kuat riwayatnya dibandingkan dengan maknanya yang lain. Akan tetapi, poin yang ingin saya tekankan di sini adalah lafaz kaffah yang terdapat pada ayat tersebut. Yang menjadi persoalan di sini bukan dari arti lafaznya, melainkan status lafaz tersebut dalam tatanan gramatikal bahasa Arab yang dapat menentukan makna dari ayat itu. 

Baca Juga  Ideologisasi Agama: Perselingkuhan Teologi dan Politik

Para ulama nahwu sepakat bahwa lafaz kaffah dalam gramatikal bahasa Arab diposisikan sebagai hal (suatu lafaz yang dapat menjelaskan keadaan). Hanya saja, perbedaan mereka terletak pada penentuan sohibul hal, apakah yang menjadi sohibul hal dalam ayat tersebut adalah lafaz fi al-silm ataukah lafaz udkhulu.

Jamaluddin Al-Qosimi dalam Mahâsin al-Ta’wîl memilih untuk menjadikan lafaz udkhulu sebagai sohibul hal. Sehingga makna yang didapat adalah “masuklah kalian semua ke dalam Islam tanpa terkecuali”. Sedangkan Ibn Taimiyyah dalam majmu’ fatawa-nya menyatakan bahwa yang menjadi sohibul hal adalah lafaz fi al-silm. Sehingga makna dari ayat tersebut menurut pendapat yang kedua ini menjadi: “masuklah kalian semua ke dalam Islam seutuhnya”.

Titik perbedaan di antara kedua pendapat tersebut terletak pada penekanannya dalam mempraktikkan ajaran-ajaran Islam yang saya bahasakan menjadi “berislam”. Pada penafsiran ini, pendapat Ibn Taimiyya di atas menuntut adanya ‘totalitas’ dalam mempraktikan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat.

Mungkinkah Berislam Secara Kaffah dalam Kehidupan Demokrasi?

Persoalan selanjutnya adalah mungkinkah kita dapat berislam sacara kaffah (totalitas) dalam konteks kehidupan berdemokrasi? Penafsiran Ibn Taimiyah di atas sangat rawan untuk dijadikan pijakan bagi “golongan kanan” untuk menerapkan apa yang disebut sebagai “negara/pemerintahan Islam”. Ini karena mereka menganggap bahwa hanya dengan negara Islamlah kaum muslim bisa ‘berislam’ secara kaffah.

Bagi saya, anggapan seperti itu adalah anggapan yang keliru. Karena anggapan tersebut hanya menilai dari sisi bentuknya saja. Beberapa fakta sejarah membuktikan adanya pemimpin negara (khalîfah) yang diktator di zaman pemerintahan Islam dulu. Dan kediktatoran tersebut tidak bisa dibenarkan baik secara etis atau pun secara Islam.

Selain itu, kiranya perlu untuk menyinggung inti dari konsep demokrasi untuk menakar kemungkian keberislaman secara kaffah. Memang, mendefinisikan konsep demokrasi secara konkrit merupakan sesuatu yang cukup kompleks. Maka dari itu, tulisan ini hanya akan merujuk pada nilai-nilai pokok yang terkandung dalam demokrasi saja.

Baca Juga  Membajak Demokrasi

Pada tahap ini, setidaknya ada empat nilai universal yang terkandung dalam demokrasi, yaitu musyawarah, kebebasan, konsensus, dan hak asasi yang sah. Menurut Ahmad Mousalli dalam bukunya The Islamic Quest for Democracy, nilai-nilai tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip universal yang diajarkan Al-Qur’an.

Sebut saja misalnya QS. Ali Imran: 159 dan QS. Asy-Syura: 38. Kedua ayat ini menjelaskan urgensi bermusyawarah dalam menentukan pemimpin untuk mewakili dan memerintah atas nama rakyat. Konsep ini sejalan dengan konsep demokrasi secara umum.

Oleh karenanya, pemerintahan yang berasaskan pada musyawarah rakyat tidak serta merta bertentangan dengan Islam. Dengan kata lain, cara ini merupakan salah satu bentuk keberislaman seorang muslim dalam berpolitik.

Dalam merespon sistem pemerintahan Islam yang dulu, Moussalli berpendapat bahwa pemerintahan Islam yang lalim telah menyalahgunakan konsep Al-Qur’an untuk tujuan mereka sendiri. Misalnya, syura, sebuah doktrin yang menuntut partisipasi masyarakat dalam menjalankan urusan pemerintahannya, pada kenyataannya menjadi sebuah doktrin yang dimanipulasi oleh para politikus dan elit agama untuk mengamankan kepentingan ekonomi, sosial, dan politik mereka dengan mengorbankan segmen masyarakat lainnya.

Contoh singkat lainnya adalah adanya pemilihan umum, kekuasaan mayoritas, multiplisitas partai politik, hal minoritas dalam oposisi, kebebasan pers, dan independensi peradilan. Apa yang telah disebutkan itu merupakan contoh dari beberapa prinsip utama demokrasi di mana umat muslim telah menemukan formula dan metode praktisnya dalam berislam.

***

Dari sini, saya melihat bahwa berislam secara kaffah justru lebih memungkinkan diterapkan dalam konteks demokrasi ketimbang sistem pemerintahan Islam dulu. Memang, keduanya sama-sama memiliki potensi penyelewengan terhadap ajaran dan etika Islam. Akan tetapi, setidaknya, nilai-nilai universal yang terkandung dalam demokrasi lebih sepadan ketimbang apa yang diistilahkan dengan “pemerintahan Islam”.

Baca Juga  Mengenang AE Priyono: Keteguhan, Dedikasi, dan Ketulusan

Keberislaman umat muslim sebagai warga negara mayoritas sangat bergantung pada identitas keyakinan agamanya. Itulah mengapa Yudi Latif dalam karyanya yang berjudul Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, Aktualitas Pancasila menyatakan bahwa para pendiri bangsa Indonesia tidak mampu memahami masyarakat Indonesia tanpa agama yang dianutnya.

Maka dari itu, dalam beragama dan bernegara, masyarakat muslim Indonesia sebenarnya selalu menghadapi tantangan perkembangan zaman dalam menjalankan sistem demokrasi yang dianutnya agar bisa terus menjadi performa yang paling ideal untuk bisa berislam secara kaffah tanpa memberontak sistem kenegaraan yang sudah disepakati bersama.

*Konten ini adalah hasil kolaborasi antara IBTimes.ID dan INFID

Editor: Yahya FR

Rizki Romdhoni
3 posts

About author
Alumni Teologi dan Filsafat Universitas Al Azhar I Mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Internasional Indonesia
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds