IBTimes.ID – Di sela-sela kunjungan ke Jakarta, Australia-Indonesia Institute (AII) menggelar diskusi bersama tokoh muda muslim Indonesia di Peacock Lounge, Fairmont Hotel Jakarta, Selasa (16/4).
Australia-Indonesia Institute (AII) adalah institusi yang didirikan oleh Pemerintah Australia pada tahun 1989 untuk berkontribusi dalam hubungan yang lebih luas dan bertahan lama antara Australia dan Indonesia dan untuk memproyeksikan citra positif Australia dan Indonesia di negara masing-masing.
Diskusi dipimpin oleh Emeritus Professor dari Australian National University, Greg Fealy yang juga Chairman Australia-Indonesia Institute. Greg menyampaikan bahwa interfaith dialogue antara Indonesia dan Australia sangat penting dalam mengukuhkan kerja sama antarkedua negara. Staf Khusus Menaker yang juga Alumni Australia-Indonesia Muslim Exchange Program (AIMEP), Hindun Anisah hadir dalam diskusi.
Greg Fealy hadir bersama rombongan Board Members Australia-Indonesia Institute, Professor Nick Anstey, Elena Williams, Lydia Santoso, dan Amanda Hodge, serta dari Kedubes Australia, Julian Bowen (Kepala Bidang Politik), Tom Coghlan (Sekretaris Satu Bidang Politik), Ashton Papazahariakis (Sekretaris Dua Bidang Politik), dan Staf Kedubes Australia Anindita Kusumawardhani.
Setelah sesi perkenalan, beberapa peserta menyampaikan pandangannya terkait dialog antar agama. Komisioner Komnas Perempuan 2015-2019, Riri Khariroh menceritakan tentang pentingnya peran perempuan dalam kehidupan publik Indonesia. Termasuk dalam hal ini interfaith dialogue.
“Perempuan dan anak-anak selalu menjadi kelompok yang paling rentan akibat aksi-aksi intoleransi selama ini. Namun di sisi lain perempuan juga berada di garda terdepan untuk membangun harmoni antar kelompok-kelompok yang berbeda,” kata Riri.
Senada dengan Riri, Dosen ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Yulianti Muthmainnah juga menyoroti hal yang sama dengan Riri, dan menambahkan peran penting perempuan di Indonesia, seperti dalam BPUPKI.
“Dalam BPUPKI, ada dua nama perempuan yang hampir tidak pernah di singgung dalam pembelajaran,” kata Yulianti.
Ia juga menyoroti pentingnya zakat untuk korban kekerasan seksual, KDRT, dan incest termasuk untuk pemberdayaan ekonomi para korban. Menurutnya, zakat dapat diberikan juga pada kelompok rentan lintas agama.
Rita Pranawati bercerita bagaimana pengalamannya di komunitas Ahmadiyah yang mayoritas di NTB. Walau pemeluk Ahmadiyah banyak di provinsi tersebut akan tetapi tidak banyak masyarakat NTB yang mengenal Ahmadiyah.
Alumni AIMEP, Irfan L. Sarhindi menyoroti bahwa problem interfaith dialogue disebabkan karena ada stereotype terhadap yang berbeda karena corak pergaulan yang homogen. Irfan yang sementara melanjutkan studi PhD di Universitas Oxford, juga bercerita inisiatif yang sudah dilakukannya seperti Ask Me Anything, Doa Lintas Agama, dan Chatbot Bhineka.
Yon Machmudi, Direktur Eksekutif Inisiatif Moderasi Indonesia (InMind Institute) menjelaskan pentingnya kesadaran bersama tentang perlunya interfaith dialogue baik di level grassroot maupun elit. Kondisi yang sudah membaik di masyarakat jangan sampai dirusak oleh perilaku elit yang intoleran.
“Di samping itu penting ditingkatkan pada level yang lebih praktis kesadaran saling menghormati dan sikap saling percaya dalam bentuk interfaith engagement baik dalam bentuk aksi bersama maupun kolaborasi secara nyata di masyarakat di antara penganut agama yang berbeda,” jelas lulusan PhD ANU tersebut.
Alumni AIMEP lainnya, Farinia Fianto menyoroti bahwa problem dalam interfaith dialogue adalah pada pendidikan yang seharusnya membangun kecakapan kritis, akal sehat dan empati. Pendidikan harus menjadi solusi yang taktis dalam mengatasi sejumlah masalah. Seperti radikalisme, kemiskinan, ketidakadilan sosial, dan sejumlah masalah lainnya yang dihadapi oleh bangsa dan negara.
“Negara harus memiliki sistem pendidikan yang merata, komprehensif dan berkesinambungan. Lintas sektoral harus duduk bersama dan melepaskan ego. Pendidikan sebagai amanah dan investasi kan sudah termaktub dengan jelas di UUD,” kata Farinia, lulusan Universitas Leiden, Negeri Belanda.
Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) dan Alumni Crawford School of Public Policy ANU, Saidiman Ahmad berbagi gagasan soal menurunnya kebebasan sipil atau civil liberties di Indonesia. Dia berharap agar kebebasan sipil dapat terus dirawat. Kesediaan menerima mereka yang berbeda, menurut Saidiman adalah unsur penting dalam membangun toleransi di masyarakat.
Mengutip Freedom House, Saidiman menjelaskan, demokrasi Indonesia mengalami penurunan 10 tahun terakhir. Aspek yang paling bermasalah adalah kebebasan sipil.
“Kelompok-kelompok minoritas belum mendapatkan haknya sebagai warga negara secara penuh, dan masih banyak yang didiskriminasi,” lanjut Saidiman.
Nurul Bahrul Ulum berpandangan bahwa strategi menghadapi persoalan intoleransi harus melalui kebijakan sekaligus pendekatan akar rumput. Karena cara pandang yang sudah dikonstruksi sejak lama tidak mudah untuk bisa berubah.
“Cara pandang ekslusif menurut saya dapat diubah perlahan-lahan. Salah satunya melalui dialog dan interaksi teman-teman lintas agama secara continue,” tegas Nurul, Sekjen Forum Alumni AIMEP.
Sementara itu, Ketua Forum Alumni AIMEP Yanuardi Syukur menyoroti pentingnya menjadikan perdamaian dan inisiatif interfaith dialogue sebagai nilai universal pada tiap bangsa. Inisiatif ini dampaknya akan melahirkan semangat untuk melakukan pertemuan, sinergi, kolaborasi pada hal-hal yang dapat mendatangkan manfaat bersama. Dia juga menyoroti masih kurangnya kalangan intelektual dan tokoh muda muslim yang fokus pada interfaith dialogue secara berkesinambungan.
Sebelum ditutup oleh Greg Fealy, Professor Jamhari Makruf berbagi info terkait peran kampus Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) yang berfokus menjadikan Indonesia sebagai pusat kajian Islam moderat dan menjadi rujukan peradaban Islam dunia.
“Saya berharap diskusi seperti ini dapat terus kita lakukan secara berkala agar dapat mempererat hubungan antara Indonesia dan Australia,” kata Jamhari.
Reporter: Yusuf