IBTimes.ID – Dalam pidatonya pada 18/11/2020, Presiden Jokowi menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya atas kerja nyata Muhammadiyah untuk “mengatasi masalah kesehatan di masa pandemi ini, melalui tim khusus Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC), pelayanan di 82 rumah sakit di berbagai provinsi. Saya menyampaikan terima kasih kepada para dokter, tenaga medis, tenaga kesehatan, rumah sakit Muhamamdiyah dan Aisyiyah yang bekerja tanpa kenal lelah.”
Sukidi, seorang cendekiawan Muhammadiyah alumni Harvard University menyebut bahwa apresiasi Presiden ini memberikan kebanggaan pada warga persyarikatan dalam bermuhammadiyah. Di tengah krisis kesehatan publik, bermuhammadiyah secara benar menurutnya berarti berislam secara rasional, saintifik, dan berorientasi pada kesehatan publik (public health).
Yakni, Islam yang mengajarkan warga persyarikatan untuk berpikir rasional dalam beragama, bersikap positif terhadap sains, dan berorientasi pada terwujudnya kesehatan publik. Corak keislaman ini terefleksikan, di masa awal, pada sosok pendirinya, Ahmad Dahlan (1868-1923), dan, di masa sekarang, pada figur ketua umumnya, Haedar Nashir.
Berislam secara Rasional
“Berislam secara rasional dan modern berakar kuat dalam tradisi Muhammadiyah. Sejak awal, Ahmad Dahlan meletakkan fondasi rasionalisme dalam gerakan pembaharuan Islam. Ketika berada di Mekah pada tahun 1890 dan 1903, ia terinspirasi paham Islam rasional Muhammad ‘Abduh melalui karya-karyanya, terutama Risalah al-Tawhid, al-Islam wa al-Nasraniya, dan Tafsir al-Manar,” tulis Sukidi di Kompas, Sabtu (2/12).
Sukidi menyebut Ahmad Soorkatti, yang berkunjung ke Jakarta pada tahun 1911 mengekspresikan kekagumannya pada seorang pribumi—Ahmad Dahlan—yang mengisi waktu luangnya di gerbong kereta api dengan membaca Tafsir al-Manar karya ‘Abduh secara khusyuk. “A man is known by the books he reads,” kata Ralph W. Emerson.
Itulah Ahmad Dahlan, ‘Abduisme par excellence, yang pasti menyadari bahwa Tafsir al-Manar merupakan kecenderungan baru dalam tradisi interpretasi moderen yang menafsirkan al-Qur’an secara rasional dengan rujukan temuan-temuan terbaru di bidang sains dan kedokteran. Karya al-Islam wa al-Nasraniya menjadi bukti otentik bahwa ‘Abduh mendefinisikan Islam sebagai “the religion of reason and progress,” demikianlah kata Rotraud Wielandt dalam entrinya “Exegesis of the Qur’an: Early Modern and Contemporary” di Encyclopaedia of the Qur’an, E-I, (2002: 127). Spirit “Islam rasional dan kemajuan” ‘Abduh inilah yang terwariskan ke alam pikiran Ahmad Dahlan ketika menarik gerbong pembaharuan Islam.
Menurut Sukidi, sebagai pewaris tradisi pembaharuan ‘Abduh, Ahmad Dahlan melakukan kontekstualisasi “Islam rasional dan kemajuan” ke dalam gerakan pencerahan Islam dan karya nyata Muhammadiyah. Islam ditafsirkan sebagai agama rasional yang bersahabat dengan ilmu pengetahuan dan sesuai spirit kemajuan. “Akal itu,” dalam pidatonya di Kongres Muhammadiyah pada Desember 1922, “menerima segala pengetahuan dan memang pengetahuan itulah yang menjadi kebutuhan akal.”
Dahlan berbicara akal yang dikaitkan langsung dengan segala pengetahuan, agar umatnya mulai berani berpikir dan menggunakan akal pikirannya yang sehat untuk menimba segala ilmu pengetahuan. “Maka, teruslah bersekolah,” pesan Sang Pencerah, “menuntut ilmu pengetahuan di mana saja.” Ia pun dirikan sekolah, Hollands Inlandsche School met de Qur’an, yang pasti terinspirasi secara metodologis dari HIS met de Bible.
Dahlan sebagaimana dijelaskan oleh Sukidi, tak segan untuk belajar dari sistem pendidikan barat yang rasional dan modern. Pendidikan adalah instrumen pembelajaran untuk berpikir rasional dan menimba segala pengetahuan. Hal ini juga sebagai respon Ahmad Dahlan atas kondisi umat Islam yang malas berpikir dan hanya mengekor pendapat orang lain (taklid). Karena itulah, Ia serukan ijtihad, slogan pembaharuan Islam rasional yang tak kalah dahsyatnya dengan motto pencerahan “dare to think” dari filsuf Jerman Immanuel Kant, agar umatnya memiliki keberanian untuk berpikir secara independen, tanpa terpenjara pada otoritas yang mapan.
Akal dan ilmu pengetahun adalah instrumen untuk menggapai kemajuan. Untuk itu, Ahmad Dahlan menafsirkan Islam sebagai agama rasional yang selaras dengan spirit kemajuan. Spirit ini bukan sekadar menjadi nomenklatur standar dalam gerakan pencerahan Islam, tetapi telah menjadi bagian inheren dari ideologi gerakan Muhammadiyah. Yakni, gerakan pencerahan Islam yang bersendikan pada, menurutnya dalam ungkapan Jawa, “awit miturut paugeraning agama kito Islam sarta cocok kaliyan jaman kemajengan” (Soewara Moehammadijah, No. 2, 1915).
Sukidi menulis:
Dahlan menarik gerbong pembaharuan Islam—Muhammadiyah—dengan bersandarkan pada “kaidah agama Islam dan sesuai dengan jaman kemajuan.” Spirit Islam berkemajuan ini terwariskan pada pikiran kader terbaiknya, Fachrodin, ketika menegaskan bahwa “Islam ialah agama yang tunggal, bersetuju dengan akal, dan berjalan menyertai dengan kemajuan” (Soewara Moehammadijah, No. 4, 1922). Inilah corak Islam rasional yang menjadi spirit utama gerakan Muhammadiyah awal.
Muhammadiyah: Islam dan Sains
Menurut Sukidi, corak keislaman itu teraktualisasikan pada Haedar Nashir sebagai the true heir of Muhammadiyah’s reformism, dengan meneguhkan khittah Muhammadiyah sebagai pelopor gerakan pembaharuan Islam yang menyelaraskan spirit “Islam rasional dan kemajuan” dengan tuntutan protokol kesehatan publik. “Tegakkan aturan dan disiplin protokol kesehatan dengan sebaik-baiknya,” pesan Haedar dalam pidato virtualnya.
“Kenapa sejak awal Muhammadiyah konsisten,” katanya dalam sebuah wawancara pada 18/11/2020, “karena ini menyangkut urusan pandemi, menyangkut virus. Dan virus itu urusan ahli-ahli epidemiologi. Maka kita rujukannya ilmu pengetahuan.” Inilah sikap beragama yang rasional dan saintifik, karena Haedar meresapi apa yang diajarkan oleh Ahmad Dahlan sebagai perspektif “akal sehat” yang difungsikan, dalam konteks kekinian, untuk membedakan urusan virus yang murni sekuler dan urusan agama yang sakral.
Alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah ini menyebut bahwa di tengah kepongahan “pemimpin umat” yang berpikir tidak rasional, bersikap anti-sains, dan bahkan melibatkan diri pada arak-arakan massal di jalanan, Haedar justru tampil sebagai pemimpin gerakan modern Islam terbesar yang berpikir rasional dalam beragama, bersikap positif pada sains, dan menunjukkan ketaatan penuh pada protokol kesehatan publik.
Haedar berikhtiar untuk menggerakan Muhammadiyah sebagai instrumen pencerahan publik agar warga persyarikatan dapat memberikan teladan yang terbaik dalam ikhtiar bersama mengatasi penyebaran virus yang berbahaya ini, bukan justru menjadi bagian dari komunitas keagamaan yang memperkeruh krisis kesehatan publik.
Di tengah angka Covid-19 yang terus naik, Haedar mengingatkan umat Islam bahwa krisis kesehatan publik ini masih belum berakhir, meskipun vaksin sudah ditemukan, dan karena itu, “semua pihak harus tetap waspada. Jangan abai dan menanggap ringan wabah ini dengan bertindak tidak disiplin. Perbuatan orang tidak disiplin dapat berdampak luas bagi penularan virus dan keselamatan jiwa orang lain. Jika belum memberikan solusi, setidaknya jangan membikin masalah yang membuat mata rantai penularan [virus] makin menyebar” (Haedar, 2020:3). Pesan ini diartikulasikan secara santun sebagai kritik kepada mereka yang alih-alih memberikan solusi atas penyebaran virus, tetapi justru berpartisipasi aktif dalam penularan virus yang membahayakan jutaan nyawa manusia.
Menurut hemat Sukidi, sebagai pemimpin gerakan pencerahan Islam, Haedar berikhtiar untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai model kepemimpinan Islam yang mampu berkontribusi secara signifikan pada penanganan Covid-19. Sejak awal pandemi, Haedar memimpin terobosan kreatif, inovatif, dan solutif dengan mendirikan Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC), melibatkan dokter-dokter dan tenaga kesehatan Muhammadiyah di 82 rumah sakit, mewujudkan protokol kesehatan secara disiplin di institusi-institusi pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial Muhammadiyah, dan mentradisikan kultur wajib masker di lingkungan Persyarikatan.
Keterlibatan aktif dalam mengatasi pandemi ini merupakan konsekuensi logis dari paham Muhammadiyah yang menganut Islam rasional dan pro-sains. Muhammadiyah berhasil tampil sebagai gerakan pencerahan Islam yang menjadi teladan global dalam mengatasi pandemi ini, karena “it strongly supports science and rational approves to problem solving,” kata antropolog agama dari Amerika, Mark Woodward, dalam artikelnya, Religious Holidays in the Plague Year—Lessons from the Indonesian Muhamamdiyah Movement (2020).
“Pendekatan rasional dan saintifik Muhammadiyah inilah yang mengingatkan Mark Woodward pada teolog Protestan Jerman, Friedrich Schleiermacher, yang mengajukan “perjanjian abadi antara sains dan agama”,” papar Sukidi menutup tulisannya di Kompas.
Reporter: Yusuf