Oleh: Brilliant Dwi Izzulhaq*
Dalam satu keluarga, bukan tidak mungkin terdapat seorang adik yang tidak tau-menau apa kegemaran kakaknya padahal saban hari ngobrol dan tinggal satu rumah. Di lain sisi, ada juga remaja yang sedang jatuh cinta sendirian, karena pasangannya gak kunjung peka. Padahal sering makan siang dan menghabiskan waktu berdua. Hal-hal ini sering terjadi dan bersentuhan dengan kita.
Lucunya, kita bisa jadi adalah bagian dari mereka yang terlena dan sulit menyadari beberapa hal tadi. Kita terlampau sering menganggap sesuatu yang menimpa kita adalah serangkaian peristiwa kebetulan yang Tuhan atur tanpa sepengetahuan kita. Detail-detail receh yang terpinggirkan justru malah kita perhatikan paska peristiwa tertentu bikin kita bingung. Bikin kita gagal paham.
Termasuk ketika kita bicara soal era disrupsi yang hari ini sedang digembar-gemborkan. Ia gak lebih membingungkan dari apa alasan yang bikin masih saja ada orang yang beranggapan bahwa pemerkosaan disebabkan oleh pakaian korban yang terlalu minim. Ia sering bikin kita gagal paham. Bikin otak kita mau gak mau menjawab pertanyaan ‘kenapa’ yang sebetulnya dilontarkan oleh kita sendiri.
Kegagalpahaman ini lagi-lagi harus saya katakan sebagai bentuk ketidakpandaian kita melihat dan membaca beberapa fenomena.
Dunia yang Berubah
Perusahaan-perusahaan senior banyak yang pada akhirnya harus gulung tikar karena pretending that everything is going fine. Komunitas kreatif juga harus mau tak mau mendadak tutup usia padahal baru saja dilahirkan. Sedikit banyak, fenomena ini sangat bergantung pada apa yang kita sebut sebagai era disrupsi.
Kegagalan kita mengenal era ini menyebabkan tidak sedikit dari kita pindah haluan. Kalau hidup adalah sebuah keruwetan yang teratur, maka era disrupsi ini adalah semacam teka-teki iseng berhadiah yang harus pintar-pintar diprediksi. Ia bukan sesuatu yang ujug-ujug terjadi. Era ini harusnya membawa kita pada sebuah kemudahan. Kalau tidak pandai membaca, bukannya semakin mudah, hidup ini malah semakin ruwet.
Pada akhirnya, kita akan dipertemukan di sebuah titik dimana kita akan sadar bahwa segala macam algoritma dunia sudah berubah. Upaya-upaya penyadaran dan pembebasan yang biasa dilakukan di bangku sekolah maupun majelis ilmu lain, kini juga tak sepenuhnya optimal dan efektif karena segala macam pertemuan dapat dilaksanakan melalui Whatsapp, misalnya.
Orang sudah gak perlu repot-repot belanja di Mall karena hari ini kebutuhan apapun bisa dibeli melalui Tokopedia, Shopee, dan sebagainya. Super Apps membuat dunia hari ini berubah. Adanya Internet of Things (IoT) juga menjadikan titik-titik yang kita kenal dengan crowd menjadi sebuah lingkaran besar tak berujung.
Ini artinya, realitas dunia sudah tak lagi sama dengan lima sampai sepuluh tahun lalu. Sialnya, hari ini masyarakat kita tidak banyak yang mengenal era ini. Jangankan mengenal, mendengarnya saja sudah syukur.
Gak semuanya serius melihat ini sebagai sebuah perubahan masif. Baik itu di sektor politik, ekonomi, militer, dan sektor-sektor penting lain. Ia cuma sebatas ‘yaudah’ yang dibalas ‘ok’. Masyarakat kita yang cuek dan apatis, cenderung melihat ini justru sebagai sebuah kemajuan yang konsumtif. Selamat, kita sudah tiba di era Hyper Connected World.
Kesadaran Kiai Dahlan
Penjabaran saya diatas tidak cukup untuk menjelaskan mengapa banyak perusahaan bangkrut. Itu pula bukan alasan yang konkret mengapa banyak komunitas kreatif mendadak bubar. Era ini memang mengharuskan kita banyak beradaptasi. Banyak menyesuaikan. Era ini memaksa kita untuk terus berpikir kreatif dan eksploratif. Sebelum lanjut lebih jauh, mari kita coba throwback sebentar untuk melihat revolusi industri Prancis.
Revolusi industri kala itu menghasilkan sebuah kelas baru yang kita kenal dengan kelas pekerja. Dunia terus berkembang, sudah berpuluh-puluh tahun berlalu, dan tibalah kita hari ini. Hari dimana robot dan teknologi adalah sesuatu yang hidup berdampingan dengan kita selain kopi yang nikmat di pagi hari.
Mereka yang tidak mampu untuk beradaptasi, pada akhirnya harus mau tak mau digantikan posisinya oleh robot dan kecerdasan buatan. Maka tak heran kalau di era ini timbul kelas baru: kelas tidak bekerja. Atau kalau boleh pinjam istilahnya mas Puthut, kita beri nama kelas ini kelas rebahan. Kelas bagi mereka yang tak mampu untuk beradaptasi.
Adaptif, kreatif, dan eksploratif sejatinya adalah kata kunci paling mutakhir bagi kita untuk bisa terus berkembang. Muhammadiyah punya semangat yang sama dan telah membuktikan itu sejak awal KH. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah pertamanya.
Orang-orang tertinggal, dahulu melarang penggunaan kursi dan meja karena mereka dibuat oleh orang yang non-muslim. Tapi, Kiai yang bernama asli Muhammad Darwis itu melihatnya sebagai sesuatu yang berbeda. Ia melihat itu sebagai sebuah terobosan dalam pembelajaran yang sampai hari ini kita gunakan di sekolah.
Pada zamannya, KH. Ahmad Dahlan sudah menyadari bahwa our main thing might be not our main thing anymore. Ahmad Dahlan sadar bahwa pendidikan kala itu gak bisa mengandalkan model pembelajaran yang ‘gitu-gitu aja’. Ia melawan sesuatu yang irrelevant dan melampaui lingkungannya saat itu. Ia kemudian menjadi pelopor model pendidikan modern di Indonesia.
Spirit yang sama harus tumbuh pada kita sehari-hari. Kita harus paham bahwa di era disrupsi ini, our main thing might be not our main thing anymore.
Muhammadiyah Melawan Irelevansi
Selama ini kita banyak berharap dan berjuang mati-matian mempertahankan sesuatu yang kita anggap main thing. Perusahaan-perusahaan, misalnya. Hari ini, perusahaan service mobil, gak bisa cuma mengandalkan jasa servicenya. Ia bisa tergerus dengan jasa service mobil lain yang gak mengharuskan penggunanya keluar rumah.
Komunitas kreatif gak bisa bertahan lama kalau cuma mengandalkan kumpul rutinnya. Ia harus merambah ke sesuatu yang lain. Pada tahap inilah kita harus adaptif. Menggunakan analisis kreatif dan eksploratif karena sekarang bisa jadi our main thing sudah gak relevan.
KH. Ahmad Dahlan adalah sosok yang adaptif, kreatif, dan eksploratif. Hari ini, kita sangat membutuhkan pemikiran itu. Muhammadiyah sebagai sebuah persyarikatan dan salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia tak boleh tergelincir dan terlena dengan zaman. Era disrupsi ini harus pandai-pandai dibaca oleh kader-kader persyarikatan.
Sekolah, rumah sakit, dan amal usaha- amal usaha yang lain adalah bukti bahwa hari ini Muhammadiyah masih tetap eksis dan relevan. Muhammadiyah tak cukup mencerahkan bangsa hanya dengan pengajian dari ranting ke ranting. Strategi dakwah kita pun tentu harus terus bertambah dan berkembang.
Medan yang kita hadapi ini sangat menantang, ia rentan dengan amilitansi, namun di lain sisi ia juga punya kemampuan mobilisasi yang luar biasa. Kita memerlukan sesuatu yang lebih menggerakkan, lebih mencerahkan. Muhammadiyah tidak boleh tergelincir. Agar sekalipun zaman ini berlari, ideologi kita sebagai Muhammadiyah tidak boleh tertinggal.
*) Sekretaris Bidang Media dan Komunikasi PK IMM Ilmu Tarbiyah UIN Jakarta. Sekretaris Umum PD IPM Kota Tangerang Selatan.
Editor: Nabhan